Home » » Taman Bungaku

Taman Bungaku

TAMAN BUNGAKU
Penulis:Ina Achmar

Ribut lagi! Ribut lagi! Tiada hari tanpa ribut-ribut di rumah ini. Tiada hari tanpa acara banting-bantingan piring. Salah satu alasan Mbak Rini membeli selusin piring kaleng barangkali agar dia bisa membanting-banting piring tanpa harus menyesal sesudahnya. Namanya piring kaleng, paling juga penyok di sana-sini, paling pol bocor, kalau bocor pun tinggal tambal dengan tambal panci. Lha kalau piring beling?

Kalau Mas dan Mbak iparku sedang ribut begini, aku selalu memilih untuk melarikan diri ke atap dak beton tempat jemuran. Paling tidak di tempat ini kemarahan mereka tidak terlalu terasa. Paling tidak ada pemandangan yang lebih bagus daripada pemandangan dua orang yang saling tuding dan tidak ada yang mau mengalah.

Beberapa ratus meter dari rumahku, maksudku rumah warisan orangtuaku yang sekarang kutinggali bersama keluarga Masku itu, ada sebuah hotel besar berbintang entah empat entah lima. Bagus, cantik, setiap kamar pun balkon sendiri. Di tiap balkon itu ditanam tanaman hias yang indah-indah.

Aku nggak ngerti kenapa orang mau membangun hotel di kawasan seperti ini. Meskipun belum sampai kumuh, tapi ndak elit. Kampung pinggir sungai, ledok yang penuh sesak dengan rumah-rumah kecil yang berdempet-dempet.

Katanya sih karena ini termasuk kawasan bisnis, jadi para bos atau karyawannya tidak perlu jauh-jauh berjalan antara tempat tidur dan tempat kerjanya. Kayak gitu, kali!

Kalau aku sih nggak bakalan mau nginep di hotel kayak gitu. Pemandangannya paling ya, kali Code. Apa bagusnya? Aku sih maunya nginep di hotel yang pemandangannya indah. Ada kolam ikan, ada bunga. Paling tidak kayak di Kaliurang atau Tawangmangu lah. Ning kok ngayawara, lah yang mau buat bayar itu apa? Jual kuburannya bapak sama emak?

Ngomong-ngomong soal Tawangmangu, aku jadi ingat bunga mawar yang dijual di Tawangmangu. Aku dulu beli satu pot, seminggu kemudian meninggal dunia. Pot bunga mawar itu masih teronggok di sudut dak beton, kosong tanpa tanaman apapun.

Aku juga jadi ingat kalau pas pernikahan putri juraganku, aku dapat souvenir kantong batik. Dalam kantong batik itu ada biji Cimplungan, Sanggatelik, Kembang Pacar Sore, dan entah biji apa lagi. Tadi pagi, pas nyuci baju jagong, kantong batik itu kukeluarkan dari saku, seluruh isinya kutuang dalam pot itu.

Jare Koes Plus ‘tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman,’ ee yo moga-moga wae…
***

Sekarang aku makin senang duduk-duduk di dak beton. Ada pertengkaran atau tidak, aku selalu menghabiskan malam di atas. Turun hanya kalau sudah benar-benar mengantuk dan siap tidur. Di dak beton hanya ada aku sendiri, satu-satunya penguasa dak beton. Di depan TV aku harus selalu mengalah dengan kemauan Mbak Iparku, di kamar tidur aku harus kalah dengan Rose, ponakanku, yang kecil-kecil sudah nyinyir persis ibunya. Pokoknya bagiku tidak ada tempat yang lebih indah di rumah ini selain dak beton.

Potku sudah beranak pinak sekarang. Bukan pot tanah liat, cuma bekas ember cat, kaleng kue, dan panci yang sudah tidak bisa ditambali lagi. Satu pot pohon Cimplung, satu pot bunga Pacar Sore, satu pot bunga Aster, satu pot pohon Pepaya, satu pot bunga Matahari, satu pot lagi pohon Srikaya. Biji Sanggatelik yang kumasukkan di pot Cimplungan belum juga berkecambah.

Kecuali pohon Cimplungan dan Srikaya, semua tanaman lain tingginya hampir selututku. Kembang Pacar Sorenya malah sudah menunjukkan tanda mau berbunga. Biarpun cuma kembang Pacar Sore, lumayanlah. Nantilah kalau aku ada uang lebih aku beli mawar lagi. Tapi kapan ya aku punya uang lebih? Upahku sebagai pelayan di toko peralatan jahit tidak pernah cukup sampai akhir bulan. Biarpun tinggal di rumah masku sendiri, aku kan ya mesti urun uang belanja, urun uang jajan ponakan.

“Eh, Bulik. Tak kira nggak ada orang.” Dalam kegelapan aku melihat keponakanku datang membawa bungkusan.

“Kamu, Van. Tumben naik ke sini. Bawa apa itu?”
“Kembang, Lik”
“Kembang?” Aku tertawa, “Sejak kapan kamu seneng kembang?”

“Anu kok, Lik, ini tugas sekolah. Pelajaran Biologi.” Ivan kresak-kresek membuka bungkusan, “Seminggu lagi dibawa. Diteliti.”

Aku cuma ber-ah-oh saja. Waktu aku sekolah dulu, tidak ada tugas membawa kembang ke sekolah. Tapi ya wajar kalau sudah berubah, wong SMP ku sudah hampir 15 tahun lalu.

“Kembang apa ta, Van?” tanyaku masih dari kegelapan.
“Kembang kenikir.”
“Yang mau diteliti itu apanya?”

Ivan menggaruk kepalanya. “Nggak tahu, wong aku cuma disuruh bawa kok. Wis, aku mau makan, Lik.”
***

Hari ke hari tanamanku makin besar. Kembang Pacar Soreku sudah lebat berbunga. Bijinya kukumpulkan, nyicil souvenir, hehehe. Ngimpi sedikit kan ya nggak apa-apa to? Asternya sudah berbunga, bunga Mataharinya juga. Daun Pepayanya sudah beberapa kali dijadikan sayur. Mau dibiarkan besar ya nggak mungkin, wong tanahnya cuma sa’uplik. Kembang Kenikir Ivan juga sudah besar. Malah sekarang ada beberapa pot.

“Ini titipan teman. Pada malas bawa pulang, ya sudah ta’ bawa pulang. Lumayan, to?
“Tapi Kenikir kok kayak gini? Kayak gambar daun ganja yang di slayermu itu lho. Slayer yang Rastafarian itu lho.”

“Bulik ngarang. Kenikir kan maca-macam, Lik. Ini Kenikir jenis baru.”
“Woi, gitu to? Tapi bener Kenikir to? Bukan ganja?”
“Ya bukan. Ngganja itu haram, nanem ganja juga haram hukumnya, Lik. Dosa!”
Meski masih sedikit ragu, aku tidak bertanya-tanya lagi, nanti malah jadi perkara lagi. Aku sudah belajar untuk tidak turut campur dalam urusan keluarga Masku. Lebih baik begitu.

Tapi akhirnya aku harus terlibat, atau terkena akibatnya.
Satu sore, sepulang kerja aku melihat gang menuju rumahku terasa begitu ribut. Sebenarnya setiap hari juga ribut, tapi aku merasa kalau ribut ini lain. Ini ribut yang panik. Ribut yang menakutkan, bukan menjengkelkan. Seolah baru saja ada bencana melintas.

“Ada apa, Yu?” tanyaku pada Yu Nani yang berjalan tergesa-gesa.
“Kamu cepat pulang sana, Mur! Mbakmu lagi kalap. Ivan ditangkap polisi.”
“Ivan ditangkap polisi? Kok bisa? Kena kasus apa?”
“Sudah, cepat pulang. Nanti kalau sampai rumah kamu ngerti.”
Tanpa babibu lagi aku berlari pulang, dan benar kata Yu Nani. Dari jarak jauh saja sudah terdengar suara jeritan Mbakku.

“Oalah, Le, Le. Kamu kok kebangetan banget, Le. Nasibmu trus nanti gimana? Wis kere, urusan sama polisi. Nasibmu trus piye?”

Dengan susah payah aku berhasil menembus kerumunan orang yang memadati rumahku. Di ruang tengah, Mbak Rini sedang kelojotan tidak karuan.
Beberapa tatangga berusaha menenangkan. Tapi usaha itu sepertinya malah membuat Mbak Rini makin kalap.

“Ini ada apa, toh Yu?”
“Ivan ditangkep polisi. Dia nanam ganja di tempat jemuran itu. Polisi datang ngambil Ivan sama pohon ganjanya itu. Masmu sekarang di kantor Polisi. Dimintai keterangan.”

“Lha trus?”
Plakk!
Rontok rasanya semua gigiku terkena tamparan itu. Aku terbengong-bengong tak yakin dengan apa yang terjadi. Mbak Rini masih berusaha menamparku sekali lagi.

“Sabar, Mbak. Murni itu nggak salah apa-apa.”
“Ngak salah apa-apa matamu!” Maki Mbak Rini. Gara-gara dia anakku kepikiran nanam ganja. Dasar pembawa sial. Minggat kamu, minggaat!”

Aku tidak tahu apakah tamparan barusan atau kata-kata makian yang membuat kepalaku berputar. Pusing sekali.

“Sudah, Rin. Mur, kamu pergi dulu beberapa hari ini. Tunggu sampai marah Mbakmu reda.”
“Tapi ini bukan salahku, Mbok Dhe! Aku nggak pernah ngajarin Ivan nanam ganja.”

Seseorang menarikku ke kamar.
“Aku percaya ini bukan salahmu. Tapi Mbakmu sedang kalap. Tidak ada gunanya membantah.”

Dalam sekejap bajuku yang tidak seberapa itu sudah berpindah dalam tas.
“Lha, saya trus pergi ke mana?”
“Ke mana saja. Ke rumah temanmu, saudaramu…”
Entah bagaimana caranya Mbak Rini berhasil membebaskan diri dari pitingan ibu-ibu tetangga. Dia menerjangku, menjambak rambutku, sambil terus memaki-maki. Dan entah bagaimana caranya aku bisa bebas dari cengkeraman Mbak Rini dan berlari keluar gang.
Kepalaku masih pusing luar biasa. Rasanya mau jatuh saja. Dan sebelum aku benar-benar sadar apa yang kulakukan, aku sudah berada di atas angkot.

Mau ke mana aku? Pikiranku mulai jernih saat angkot berhenti di perempatan Monjali. Sanak saudara tidak ada. Teman pun tidak ada yang rumahnya bisa kuinapi. Mau nginap di masjid? Sampai kapan? Dan apa ya pantes perempuan nginep di masjid?

Angkot terus melaju menembus jalan Tentara Pelajar. Hotel Hyatt sudah terlampaui. Gelap mulai membayang.

“Mbaknya ini mau turun di mana, toh?”
Aku menoleh kiri kanan. Ternyata hanya tinggal aku dan sopir.
“Nggak tahu, Mas.”
“Lho kok nggak tahu?”
“Saya ini baru diusir dari rumah.”
“Diusir? Lha trus sekarang mau ke mana?”
“Saya nggak tahu, Mas.”
“Saya ini sudah mau ngandang, Mbak. Belokan depan itu sudah rumah juragan saya. Kalau Mbaknya tujuannya jelas, saya anter. Tapi kalau tidak jelas, ya piye?”

Tiba-tiba terbetik satu gagasan di kepalaku.
“Saya ikut Mas saja.”
“We lha dalah! Bisa diamuk si Mbok nanti. Pulang kerja kok bawa-bawa perempuan.
“Bukan ikut ke rumah Mas. Saya ikut ke rumah juragan Mas.”
“Mau apa ke rumah juragan? Ini sudah Maghrib lho, Mbak. Saru nek namu.”

“Lha trus saya mesti ke mana? Saya tidak punya saudara lagi. Tolonglah Mas, saya mau jadi pembantu di rumah juragan.”

Mas sopir itu menoleh ke arahku.
“Gini saja. Pulang ke rumah saya dulu. Mandi, shalat. Habis itu saya antar kamu ke rumah juragan. Juragan pasti tahu bagaimana membantu perempuan macam kamu.”

Juragan pasti tahu bagaimana membantu perempuan seperti kamu? Apa maksudnya? Jangan-jangan…tapi masa iya? Ah sudahlah, pokoknya ada tempat nginep malam ini.
“Nah itu rumah juragan saya.”

Rumahnya rumah kampung biasa. Mangku masjid. Jadi barangkali orang baik-baik.
Dan ternyata mereka memang baik. Sangat baik barangkali. Meski didatangi orang asing yang masih sedikit linglung sepertiku, sambutan mereka tetap baik.

Tapi mereka tidak butuh pembantu!
“Saya tidak memerlukan pembantu rumah tangga. Tapi saya kebetulan sedang cari pekerja untuk kebun bunga saya. Kalau Dik Mur bersedia kerja kasar, berat, kotor, nggih monggo. Boleh tinggal di sini.”

Aku buru-buru mencium tangan juragan perempuan.
“Matur nuwun, matur sembah nuwun.”
“Iya, iya. Tapi kamu sudah harus mulai kerja malam ini, Dik Yan. Beresin kamar, kamu bantu, ya Yon?”
Sebelum terlelap, aku sempat bertanya-tanya dalam hati siapa teman bertengkar Rose malam ini.
***
Sebelumnya aku pikir bekerja di kebun bunga itu mudah saja, hanya menanam, menyiangi, memupuk, menyiram. Ternyata jauh lebih sulit dari itu. Banyak hal yang harus diperhatikan. Mulai dari jenis media tanam, perlakuan terhadap bibit, umur berapa bibit mesti dipindahkan, berapa dan pupuk jenis apa yang harus disediakan, kapan dan seberapa banyak mesti disiram, dan banyak lagi.
Aku tidak ingin mengecewakan orang yang sudah menyelamatkan hidupku. Semua petunjuk dari ibu kucatat baik-baik. Semua pengalaman yang kutemukan kucatat rapi. Begitu seringnya aku mencatat petunjuk ibu dan pengalamanku sendiri, ibu sampai menggodaku begini.
“Kalau kamu serius seperti ini, sepertinya tahun depan kamu sudah bisa usaha
sendiri, Mur?”

“Ah, Ibu. Ya mana mungkin ta, Bu? Jadi pembantu ibu saja sudah cukup.”
“Eh jangan begitu. Setiap orang hidup itu harus punya cita-cita. Apa ya kamu tidak ingin punya usaha sendiri, punya suami dan anak-anak?”
“Saya ini orang buangan, Bu. Siapa yang mau sama saya? Keponakan saya kena kasus narkoba.”
“Yang kena kan, keponakanmu, bukan kamu. Trus gimana kabar ponakanmu itu?”

“Kata koran sih, cuma dikenai wajib lapor seminggu dua kali. Dia cuma diperdaya tetangga kok.”
“Kok kata koran? Waktu ibu suruh kamu ke Kranggan kamu tidak mampir ke rumah?”
“Saya masih sakit hati, Bu.”
Bagaimana tidak sakit hati? Gara-gara tamparan Mbak Rini telinga kiriku rusak. Tidak bisa mendengar dengan jelas lagi. Aku juga sering pusing luar biasa. Kata dokter, kemungkinan besar akibat tamparan itu.

“Sudah tiga bulan lho, Mur. Masa masih sakit hati?”
Aku tak berani menjawab.
“Kalau dipikir sakitnya ya memang sakit. Tapi lihat sisi baiknya. Kamu dapat kerja, dapat ilmu, dan insya Allah dapat calon suami yang baik.
“Ibu ini lho.”

“Ibu serius. Kemarin Yono minta pertimbangan bapak ibu, bagaimana kalau dia memperistri kamu. Pada prinsipnya bapak ibu setuju. Yono baik, tanggung jawab, bisalah membimbing kamu. Tapi bukan hak kami menikahkan kamu. Masmu lebih berhak untuk itu.
Aku diam.

“Kalau kamu sudah siap, tengoklah keluargamu. Barangkali kemarahan Mbakmu sudah reda. Barangkali juga mereka mengkhawatirkan keadaanmu. Tidak baik memutus tali silaturahmi.”
Baru sebulan kemudian aku menuruti nasehat ibu. Aneh rasanya turun di mulut gang yang pernah sangat kukenal, yang masih saja riuh dengan anak-anak yang berkeliaran, teriakan kemarahan. Aneh juga rasanya dipandangi sedemikian rupa oleh para bekas tetanggaku.
Dan aku segera tahu kenapa tetanggaku memandangiku begitu rupa, setelah aku melihat rumahku.
Rumah ini dijual.
Berminat hubungi Pak Hanafi
0274511922

Jogjakarta, 20 Agustus 2004
Keterangan:
Ning kok ngayawara: tapi kok mustahil
Saru nek namu : tidak pantas kalau bertamu.

Share this article :

No comments:

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Selamat Datang - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger