Showing posts with label Cerpen Islami. Show all posts
Showing posts with label Cerpen Islami. Show all posts

Ketika Mas Gagah Pergi

Oleh : Helvi Tyana Rosa

Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"

"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?

"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!

"Assalaamu’alaikum!"seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.

"Matiin kasetnya!"kataku sewot.

"Lho memangnya kenapa?"

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"

"Bodo!"

"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"

"Pokoknya kedengaran!"

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"

"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.

Oala.

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.

"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"

"Lain gimana Ma?"

"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"

Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."

Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"

"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"

"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"

Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."

Mas Gagah tersenyum.

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.

"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

"Mau kemana Gita?"

"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."

"Ikut Mas aja yuk!"

"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.

"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!

"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.

"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.

"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.

"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.

"Mbak Ana?"

"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.

"Hidayah."

"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…

"Cuma lagi baca!"

"Buku apa?"

"Tumben kamu pingin tahu?"

"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.

"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.

"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.

"Maaas…"

"Apa Dik Manis?"

"Gita akhwat bukan sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Mas kok nangis?"

"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…

"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.

"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.

"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"

"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.

"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.

Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.

"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.

"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.

"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.

"Lho! " Mas Gagah bengong.

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.

"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.

"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.

"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "

"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.

"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

"Kriiiinggg!" telpon berdering.

Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"

"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.

"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.

"Mas Gagaaaaahhhh" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.

" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.

Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."

Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.

"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."

Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."

"Gita…" suaraku serak menahan tangis.

Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.

"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.

"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.

"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.

"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.


Epilog:

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.

Setitik air mataku jatuh lagi.

"Mas, Gita akhwat bukan sih?"

"Ya, insya Allah akhwat!"

"Yang bener?"

"Iya, dik manis!"

"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"

"Kok nanya gitu sih?"

"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"

"Ganteng kan?"

"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"

"Ya always dong, jihad itu…"

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!

Menanti Bangau Lewat

Source : Hokoriku-MOL

Teng !…jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut, tapi Anis masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Iqbal, suaminya, menelepon, "Nis, Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi..." suara ibu terdengar sumringah di ujung sana.

"Alhamdulillah…, laki-laki atau perempuan Bu ?" Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Iqbal memang sedang berdebar-debar menanti berita Dini, adik suaminya, yang akan melahirkan.

"Laki-laki, cakep lho Nis, mirip Mas mu waktu bayi…" Ibu tertawa bahagia. Dini memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas Iqbal.

"Selamat ya Bu nambah cucu lagi, salam buat Dini, insya Allah besok pulang kerja Anis dan Mas Iqbal akan jenguk ke rumah sakit" janji Anis sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di rumah sakit.

Setelah menutup telpon Anis termenung sesaat. Ia jadi teringat usia pernikahannya yang telah memasuki tahun ke lima, tapi belum juga ada tangis si kecil menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia tetap ikut merasa sangat bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Dini di usia pernikahan mereka yang baru tiga tahun.

"Koq melamun !…" Mas Iqbal yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang agak malam hari ini, ada rapat di kantor katanya. Air hangat untuk mandinya sempat Anis panaskan dua kali tadi.

"Mas, ibu tadi mengabari Dini sudah melahirkan, bayinya laki-laki" cerita Anis.

"Alhamdulillah...Dila sudah punya adik sekarang" senyum Mas Iqbal sambil mengeringkan rambutnya, tapi entah mengapa Anis menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Anis menepis perasaannya sambil segera menata meja menyiapkan makan malam.

Selepas Isya bersama, Mas Iqbal segera terlelap, seharian ini ia memang lelah sekali. Anis juga sebenarnya agak lelah hari ini. Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak nyaman bekerja di kantor, Anis memutuskan untuk membuat usaha sendiri saja. Dibantu temannya seorang notaris, akhirnya Anis mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang design interior. Anis memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat seni untuk merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak lupa disyukurinya. Keluarga dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya sekarang ia sudah memiliki kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.

Dan, seiring dengan kemajuan dan kepercayaan yang mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipercaya masyarakat. Tapi Anis merasa itu tidak terlalu melelahkannya, semua dilakukan semampunya saja, sama sekali tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan bakatnya merancang dan mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya. Beberapa karyawan cekatan sigap membantunya. Malah sekarang sudah ada beberapa designer interior lain yang bergabung di perusahaan mungilnya. Itu sebabnya sesekali saja Anis agak sibuk mengatur ketika ada pesanan mendesign yang datang, selebihnya teman-teman yang mengerjakan. Waktu Anis terbanyak tetap buat keluarga, mengurus rumah atau masak buat Mas Iqbal meski ada Siti yang membantunya di rumah, menurutnya itu tetap pekerjaan nomor satu. Anis juga bisa tetap rutin mengaji mengisi ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja. Berita dari ibu tadi membuat Anis teringat lagi. Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah hatinya sendiri.

Lima tahun pernikahan adalah bukan waktu yang sebentar. Awalnya Anis biasa saja ketika enam bulan pertama ia tak kunjung hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk suaminya dan merintis kariernya. Seiring dengan berjalannya waktu dan tak hentinya orang bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya, tentang kapan mereka menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Anis mulai khawatir. Fitrahnya sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya, atau kapan ia hamil seperti juga pasangan-pasangan lainnya… Atas saran dari banyak orang Anis mencoba konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih juga ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di sekitarnya datang dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar kehamilan mereka. Atau ketika salah seorang diantara mereka bertanya sudah berapa bulan kehamilannya.

"Saya tidak sedang hamil, hanya ingin konsultasi saja…" senyum Anis sabar meski dadanya berdebar, sementara Mas Iqbal semakin pura-pura asyik dengan korannya. Anis bernafas lega ketika dokter menyatakan ia sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.

Setahun berlalu. Ditengah kebahagiaan rumah tangganya ada cemas yang kian mengganggu Anis. Kerinduan menimang bayi semakin menghantuinya. Sering Anis gemas melihat tingkah polah anak-anak kecil disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah itu mulailah usaha Anis dan suaminya lebih gencar dan serius mengupayakan kehamilan. Satu demi satu saran yang diberikan orang lain mereka lakukan, sejauh itu baik dan tidak melanggar syariat Islam. Beberapa dokter wanita juga kadang mereka datangi bersama, meski lagi dan lagi sama saja hasilnya. Sementara hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.

Kadang Anis menangis ketika semakin gencar pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas yang kerap mengusik tidurnya. Mas Iqbal selalu sabar menghiburnya "Anis...apa yang harus disedihkan, dengan atau tanpa anak rumah tangga kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang berubah dalam rumah tangga kita…" goda Mas Iqbal suatu ketika seperti bisa membaca jalan pikirannya. Suaminya memang tahu kapan Anis sedang mendalam sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut dalam kesedihannya. Di saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa menghiburnya, tentu saja disamping do'a dan berserah dirinya pada Allah. Kadang Anis heran kenapa Mas Iqbal bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar menyembunyikan perasaan saja? Anis tidak tahu, yang pasti sikap Mas Iqbal banyak membantu melewati masa-masa sulitnya.

Sebenarnya Anis juga bukan selalu berada dalam kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak terhanyut oleh perasaannya, biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang mengingatkan ia akan mimpinya yang belum terwujud itu. Selebihnya Anis bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau prestasi yang diraihnya. Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi sempat, semua peluang dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang beberapa teman menyatakan kecemburuannya terhadap Anis yang bisa melakukan banyak hal tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Anis tersenyum saja.

Anis juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi tentang anak dan seputarnya. Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif. Jadi wajar saja kalau pembicaraan biasanya seputar pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-anak mereka yang memang semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu. Biar bagaimanapun Anis menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan perlu belajar atau bertukar pengalaman dengan yang lain. Tapi kadang-kadang, sesekali ketika Anis sedang sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Anis senang juga jika ada yang berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu banyak bercerita tentang hal tersebut, bertanya, atau malah menyemangati dengan do'a dan dukungan agar sabar dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan rumah tangganya.

Anis tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun malam tapi udara terasa pengap. Ditambah lagi berwudhu ditengah malam, melunturkan sebagian besar kemelut dalam dadanya. Setelah membangunkan suaminya, Anis shalat malam berdua. Di akhir shalat air mata Anis membasahi sajadahnya. "Rabbi..., ampunilah dosa-dosa kami, jangan beri kami cobaan yang tidak kuat kami menanggungnya. Beri kami kekuatan dalam menjalani semuanya. Perkenankan kami memiliki buah hati pewaris kami, penerus kami dalam menegakkan Dien-Mu. Hanya ridha-Mu yang kami cari. Sungguh tidak ada yang lain lagi...". Selesai shalat Anis terlelap. Dalam mimpinya ia bermain bersama beberapa gadis kecil. Senang sekali.

*****

Suatu siang di kantornya, Anis sedang merancang sebuah ruang pameran. Ada festival Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Anis, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, "Mbak Anis, ada tamu yang mau bertemu".

"Dari mana Fit ?" tanya Anis.

"Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, mau menawarkan kerja sama".

"Iya deh, saya kedepan sepuluh menit lagi" jawab Anis.

Setelah bincang-bincang dengan tamunya akhirnya Anis menyepakati kerja sama menyantuni beberapa anak-anak yatim yang diasuh yayasan tersebut. Anis memang selalu menyisihkan rezkinya untuk mereka yang membutuhkan. Perusahaan mungil yang dikelolanya selalu berusaha menjalankan syariat Islam.

Sejak itu Anis punya kegiatan baru, menyantuni dan mengasuh beberapa anak yatim bersama yayasan tersebut. Tidak banyak kegiatan sebenarnya, hanya laba perusahaan kecilnya yang tidak seberapa disisihkan sebagian untuk disalurkan sebagai beasiswa untuk beberapa anak-anak tersebut. Itupun setelah dimusyawarahkan dengan semua teman-teman dan disetujui bersama. Tapi banyak hikmah yang Anis dapatkan. Sesekali Anis jadi bertemu dan bersahabat dengan mereka. Anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya sehingga tidak seberuntung yang lain, yang mendapat curahan perhatian dan kasih sayang berlimpah dari orang tua. Mereka memang kurang beruntung, tapi kesabaran dan ketegaran mereka membuat Anis malu menyadari dirinya yang rapuh, mudah mengeluh dan sedih. Anis jadi menyadari betapa sebenarnya karunia yang diberikan Allah padanya begitu banyak dan berlimpah. Kalaupun ada satu atau dua hal yang luput, itu tidak seberapa dibandingkan dengan yang ia telah dapatkan. Anis jadi menata dirinya untuk lebih sabar dan banyak bersyukur. Dengan banyak bersyukur tentu Ia akan lebih banyak memberikan lagi nikmat-Nya.

*****

"Bu Anis, kuenya enak sekali..." puji Ina tulus. Mata polosnya bersinar senang. Ia memang anak yang manis, kelas 5 SD dan selalu ranking satu di kelasnya, ibunya hanya penjual gado-gado dengan tiga orang anak, sementara ayahnya sudah meninggal sejak Ina kelas satu. Minggu pagi cerah ini Anis memang mengundang beberapa anak asuhnya ke rumah beserta beberapa orang pengurus yayasan. Sejak kemarin ia dan Mas Iqbal pontang-panting menyiapkan semuanya. Sebenarnya bisa saja Anis pesan makanan, tapi entah kenapa ia ingin menyiapkan sendiri, untungnya Mas Iqbal setuju dan membantunya penuh.

"Bu Anis, sup nya Farouk tumpah...." jerit Atikah nyaring.

Anis sibuk melayani mereka, Mas Iqbal juga tak kalah repot. Sekarang Anis memang semakin dekat dengan mereka, ia berusaha memberikan kasih sayang dan perhatian atau bimbingan semampunya. Mereka banyak membuka mata dan hatinya. Anak-anak malang yang membutuhkan kasih sayang dan bimbingan.

Selesai acara Anis kecapekan luar biasa, anak-anak itu terkadang manja dan mencari perhatiannya saja, tapi Anis senang. Tamu-tamu kecil itu menyemarakkan rumahnya.

Keesokan paginya Anis bangun agak siang. Selesai shalat subuh dan menyiapkan keperluan Mas Iqbal, ia tertidur lagi. Suaminya berangkat kerja tanpa pamit, kasihan pada Anis yang sepertinya masih kelelahan. Anis sendiri tidak pergi kerja hari ini, ia sudah izin sebelumnya.

Jam setengah delapan pagi Anis terbangun oleh dering telepon dari ibunya.

"Anis, selamat ulang tahun ya…semoga semakin bertambah keimanannya, sehat, bahagia dan cepat mendapatkan momongan", ujar ibu mendo'akan.

"Terima kasih ya, Bu" Anis tersadar bahwa hari ini usianya bertambah lagi. Sebenarnya ia tak pernah menganggap istimewa, tapi kalau ada yang ingat ya senang juga.

"Masih sering sedih nggak?..." Ibu menggodanya. Selain Mas Iqbal memang ibu yang paling memahami perasaannya dan tentu saja yang paling sering menghibur dan mendo'akannya.

"Ingat lho Nis, apa saja yang kita dapatkan itu sudah hasil seleksi dari sana dan itu adalah yang terbaik untuk kita. Kita harus ikhlas, sabar, dan senang menerimanya. Istri-istri Rasululloh pun ada yang tidak diberi momongan dan itu bukan dosa. Yang penting kita tak putus usaha dan berdo'a, bagaimana hasilnya biar Allah saja yang menentukan", ibu menasehati.

"Iya Bu" jawab Anis hampir tak terdengar. Ia terharu ibu selalu memperhatikan dan menghiburnya.

Setelah menutup telpon dari ibu Anis dikejutkan lagi oleh selembar surat di meja, yang ini ucapan selamat dari Mas Iqbal rupanya. Anis tersenyum membacanya tapi matanya akhirnya basah juga. Suaminya memang selalu sabar dan penuh perhatian, tak pernah sekalipun ia menyakiti hati Anis, kalaupun ada perbedaan pendapat selalu ia selesaikan dengan bijak. Tiba-tiba Anis merasakan lagi betapa besar nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya. Rasanya tidak ada lagi alasan untuk bersedih, apalagi putus asa. Kalau memang sudah tiba waktunya dan baik untuknya, tentu harapan dan do'anya akan dikabulkan. Ia yakin tidak akan ada do'a dan usaha yang sia-sia. Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya, tidak mungkin Ia mendzholimi hamba-Nya dan Ia yang akan mengabulkan do'a. Insya Allah mungkin esok hari. Ya, siapa tahu… (er)

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui." (Al Ankabuut, 64)

Kasih Sepanjang Jalan

Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.

Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.

Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesalc

Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.

Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.

Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.

Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.

Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.

Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.

Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama inic" bisikku perlahan.

Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.

Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.

Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.

Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....

Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.

Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.

Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.

Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...

Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.

Menebar Kedamaian

Baru kali ini selama 5 tahun perkawinannya, Astiti benar-benar tidak mengerti dengan tindakan Iwan suaminya. Iwan, seorang lelaki yang alim dan sholeh membuat keputusan untuk mengontrak rumah di daerah yang lingkungannya benar-benar tidak "bersih". Sejak dipindah tugas oleh kantornya di daerah ini, maka mau tidak mau kami harus mencari kontrakan lagi di daerah yang dekat dengan kantor suaminya. Untuk bertahan tinggal di tempat dulu, rasa-rasanya tidak mungkin lagi karena gaji suaminya akan ludes hanya untuk transport dan lagi jaraknya cukup jauh.
Sebenarnya rumah yang akan mereka tempati nanti sangatlah ideal, dan lagi harga sewanya yang cukup murah untuk rumah se type ini, sepetak rumah ukuran 100 meter persegi ditambah pekarangan yang mengelilingi cukup luas. Tempat seperti ini tidak pernah dijumpainya pada "rumah-rumah" nya terdahulu.Tetapi hanya satu yang membuat Astiti tidak suka, yaitu lingkungan sekitarnya yang amat sangat tidak mendukung. Di ujung gang masuk terdapat warung temapt berkumpulnya pemuda-pemuda yang suka mabuk. Kalaulah sudah malam hari suara "genjrang-genjreng" irama musik sangat memekakkan telinga ditambah lagi lingkungan tetangga di daerah ini sangat tidak familiar menurut Astiti. Atau mungkin melihat penampilan Astiti yang lain dari kebanyakan wanita disini dengan menggunakan kerudung yang selalu menutup auratnya. Juga satu lagi yang membuat Astiti paling tidak suka adalah di gang sebelah terdapat sebuah rumah "bordil" sarang maksiyat. Kata orang-orang di sekitar sini rumah bordil tersebut tanpa ijin Pemda setempat alias beroperasi secara gelap tetapi tergolong besar. Tetapi Astiti tidak perduli, mau gelap kek terang benderang kek kalau yang namanya sarang maksiyat tetap saja berdosa, dan sampai saat ini Astiti tidak pernah dan tidak akan mau melihat atau melewati gang sebelah. Ihh Astiti bergidik... Naudzubillahi min dzalik.
"Ada apa dek..kok melamun terus sih...udah selesai belum membongkar kotaknya ?" Teguran mas Iwan membuyarkan lamunan Astiti. "Hhemmm...mana bisa beres sih mas dalam waktu singkat" jawab Astiti dengan ogah-ogahan. "Yaaa..mana bisa cepat selesai kalau sama ngelamun begitu...ada yang bisa di bantu dek..?" tanya Iwan ramah. "Banyak sih kalau mau bantu..... itu kotak-kotak di ruang tamu sama sekali belum aku bongkar, kotak yang sudah dibongkarpun belum sempat aku bereskan " Jawab Nastiti agak meninggi..entah karena letih atau hatinya kurang sreg tinggal di rumah baru ini. "Ya sudah sini biar mas bantu..pokoknya tanggung beres deh.." Iwan menyahut dengan sabarnya. Memang kalau Astiti sudah terlihat bersungut-sungut terus pertanda hatinya diliputi perasaan kesal dan kalau sudah begitu Iwan tidak akan menanggapi...percuma kalaupun ditanggapi pun nantinya akan meletuplah pertikaian-pertikaian kecil.
Walaupun sudah sepekan mereka boyongan ke rumah baru tersebut, tetapi Astiti masih malas membongkar kardus-kardus barang dan segera merapihkannya. Bahkan ada bebrapa kardus memang sengaja tidak di bongkar olehnya. Karena Astiti berharap kepindahan di rumah ini tidak akan lama. Dan ia berharap Iwan segera dipindah lagi tugas kantornya ataupun kalau tidak mereka menemukan rumah kontrakan lagi yang lebih indah lingkungannya.
Enggan pula Astiti untuk melakukan silaturahim dengan tetangga kanan kirinya. Pikirnya percuma saja diajak menuju kebajikanpun susah akan berhasil. Alhasil selama ini Astiti hanya mengurung diri dan anak-anaknya di dalam rumah saja. Pertama yang ia takutkan adalah banyaknya "virus-virus" yang akan menggerayangi anak-anaknya, apalagi Abdullah sudah berusia 3 tahun dan Ahmad 1 tahun akan mudah sekali meniru apa yang dilihat dan didengar Entah apa omongan para tetangga yang beredar Astiti tidak mau tahu. Bahkan Astiti pun melarang mbok Yem khadimat yang telah menemaninya semenjak ia anak-anak untuk tidak bergaul terlalu dekat dengan tetangga sekitar.
Semenjak Astiti kecil memang dilahirkan dalam lingkungan yang bersih, dan tidak pernah terlintas sedikitpun di dalam pikirannya tinggal di daerah seperti ini. Masa kanak-kanaknya dihabiskan di lingkungan pesantren, karena Ayahnya termasuk pengajar pesantren. Kemudian ketika menginjakkan kakinya di bangku perguruan tinggi, teman-temannya banyak sekali orang-orang yang aktif dalam kajian keislaman dan Astitipun meleburkan diri dalam aktifitas tersebut. Bahkan setelah menikah dengan Iwan tempat tinggalnya tak jauh dari pusat pendidikan Islam yang besar sehingga lingkungan sekitarnya banyak sekali para keluarga Islami yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut. Jadi selama ini Astiti selalu tinggal di daerah yang bersih dan terisolasi dari virus yang merusak iman.
*******
Siang itu Astiti pulang dari belanja dan seperti biasanya ia naik mikrolet. Ketika turun dari mikrolet tiba-tiba terdengar celetukan orang dari dalam. "Ehh..nggak nyangka pake jilbab turunnya di warung mang Dirun.." Deg...Asititi terhenyak mendengar celetukan salah seorang penumpang di mikrolet. Ternyata warung mang Dirun tempat berkumpulnya para pemuda berandalan itu terkenal akan kejelekannya. Perasaan Astiti jadi tak menentu.Sesampai dirumah ia menangis menjadi-jadi. Semakin tak betahlah Astiti tinggal di daerah ini. Kesal juga ia tujukan kepada Iwan suaminya, mengapa begitu teganya memilihkan tempat tinggal di lingkungan ini untuk keluarganya. Malam hari sepulang Iwan pulang dari kantor, Astiti menguraikan perasaan yang menggumpal di dadanya. "Mas...kok begitu tega memilihkan tempat tinggal di daerah ini buat kita" tanya Astiti "Emangnya..kenapa to dek..dek..bukannya dimanapun di Bumi Allah itu sama" timpal Iwan " Lho bagaimana sih Mas Iwan ini, lha dekat tempat maksiyat kok ya di jadikan alternatif tempat tinggal...emang nggak ada tempat kontrakan lagi yang lebih baik.." "Ada sih dek tapi itu di perumahan elite seberang jalan, kalau dek Asti mau tinggal di sana gaji Mas nggak cukup..maaf ya dek" canda Iwan. "Mas Iwan sih enak, pergi pagi ke kantor pulang sudah menjelang maghrib, sedangakan aku... mas yang disini sepanjang hari sudah tidak betah melihat berbagai kemaksiyatan di depan mata" Astiti semakin kesal saja dengan Iwan yang masih bisa bercanda padahal ia sudah gondok sekali. "Sebenarnya sebelum Mas putuskan untuk memilih tempat tinggal disini, sudah putar kesana kemari mencari kontrakan. Ada yang di gang samping kiri itu rumahnya kecil sekali hanya ada satu kamar tetapi kontrakannya 2 kali lipat di sini. mas juga heran dek mengapa harga kontrakan rumah ini begitu murah.. Menurut pak RT, karena yang menempati rumah sebelum kita ditemukan bunuh diri dengan gantung di pohon mangga di pekarangan. Hemm apa itu yang membuat dek Asti takut tinggal disini..."tukas mas Iwan "Masya Allah mas...biarpun ada seratus demit, jin dan sebangsanya mengganggu kita ..Insya Allah aku nggak takut mas.." "Bener nih.." selidik mas Iwan. "Rasulullah kan bersabda apabila hendak mencari tempat tinggal, kita juga harus melihat tetangga kiri kanan alias kita juga harus memperhatikan lingkungannya.." timpal Astiti. "Lalu de Asti mau apa...mau pindah, atau mau tinggal di rumah bapak ..." tanya Iwan dengan sabarnya. Astiti terdiam seribu bahasa. "ya..memang idealnya rumah yang akan ditempati memang seperti demikian. Tetapi kalau kondisinya seperti ini bagaimana dek...Lagian Mas sudah membayar uang kontrakan selama setahun, sayang khan kalau kita sudah keburu pindah.."Iwan menjelaskan. Astiti tetap berdiam saja. "Sabar dulu ya dek...Insya Alloh ini merupakan ujian bagi kita. Dimanapun juga kita tinggal yang namanya ujian itu pasti ada dari Alloh. Nah itu artinya kita sebagai orang beriman karena Alloh mendatangkan ujian buat hambanya..." jelas Iwan, "Tinggal bagaimana kita bisa melaksanakan ujian ini atau tidak, artinya kita dapat tinggal di daerah ini tanpa kita teracuni, dan yang terpenting bagaimana kita dapat ber'amar ma'ruf nahi munkar terhadap tetangga.."
Kalau sudah begini Astiti sudah tidak dapat mengelak lagi argumen Iwan, karena yang dikatakannya memang ada benarnya. Tinggal bagaimana Astiti menterjemahkan kata sabar dalam kehidupannya sekarang ini. memang benar-benar harus sabar karena tidak terdengar suara adzan Duhur , Asar serta isya', sebagai gantinya terdengar nyanyian musik dangdut. Hanya terdengar adzan Maghribdi surau yang amat sangat kecil dan jarang dipenuhi jamaah.
******
Siang ini terjadi sebuah insiden kecil di dapur Astiti. Rupanya mbok Yem terburu-buru memasukkan minyak di dalam kompor dan minyak berceceran kemana-mana, sehingga ketika akan dipakai kompor tersebut meledak dan menimbulkan suara keras. Astiti yang baru saja menyelesaikan shalat duhur di kamar menjadi panik. Ia langsung menyambar Ahmad dan Abdullah yang sedang tertidur lelap. Mereka berdua merupakan kekayaan yang paling berharga buatnya di dunia ini. Dan segera memerintahkan mbok Yem segera pergi. Terlihat tangan mbok Yem sebelah kiri agak melepuh. mungkin sedikit terkena jilatan api. Keluar rumah Astiti langsung berteriak minta tolong, segeralah berdatangan para tetangga untuk menolongnya. Sedangkan dari arah warung mak dirun, para pemuda yang biasanya berkongkouw-kongkouw langsung masuk ke rumah Astiti, sekitar lima belasan orang pemuda masuk dan segera membantu memdamkan api yang menjilat dapur Astiti. Tampak semangat sekali mereka. Ada yang mengambil air di sumur, ada yang menyemprotkan air dari keran, ada yang mengambil pasir untuk disebarkan ke arah api.
Sedangkan Astiti bersama dua anaknya dan mbok Yem berada di rumah mbak Marni tetangga sebelahnya. Mbak Marni mengambilkan air putih untuk Astiti, dan mbak Lastri tetangganya pula membantu meredakan tangis Ahmad yan kaget melihat kejadian di rumah nya. "Bu Iwan...sabar ya bu...ini air putih ayo diminum dulu, ayo mbok Yem di minum juga " suruh mbak Marni. "Terima kasih ya mbak Marni" ucap Astiti lirih. Pada saat genting seperti ini Ia hanya pasrah kepada Allah saja. "Bu..kalau api belum bisa padam nanti bisa tidur di rumah saya saja, kasihan anak-anak" ajak mbak Marni. Astiti hanya bisa mengiyakan, di dalam hatinya hanya berdoa agar api tidak menjalar kemana-mana.
Suasana jalan di rumahnya, siang ini benar-benar ramai sekali. Tetangga-tetangga Astiti bahu membahu memadamkan api yang ada di rumah Astiti. Alhamdulillah tidak sampai setengah jam api berhasil di padamkan, berkat kerja keras para warga dan juga bantuan pemuda-pemuda itu yang berani memadamkan api sehingga jilatannya hanya sampai dapur saja. Itupun hanya daerah di sekitar kompor saja yang terkena, barang-barang lain di dapur dapat diselamatkan.
******
Kejadian siang itu, telah membuka hati Astiti. Ternyata para pemuda yang selama ini amat dibencinya, telah membantu keluarganya untuk memadamkan api. Ternyata mbak Marni tetangga sebelah rumah, yang bekerja pada malam hari, dan sempat membuat Astiti menjadi tak suka telah banyak membantunya. Ternyata mbak Lastri, mbak Mur, mbak Rini yang sering berdandan menor juga membantu Astiti dengan suka rela. Ternyata bu Dedeh, bu Jali, bu Anom yang sering terlihat oleh Astiti ngerumpi di mana-mana mambantunya pula....
Dari kejadian ini Astiti segera tersadar bahw sebenarnya mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang baik, tetapi mungkin tidak ada yang mengarahkan jadilah masyarakat seperti ini. Selama ini ternyata ber amar ma'ruf nahi munkar yang Astiti terima hanya sebatas konsep-konsep belaka dan belum pernah dipratekkan dalan kehidupan sehari-harinya.
Kemudian segera Astiti mendiskusikan dengan Iwan suaminya bagaimana cara-cara berdakwah di lingkungan seperti ini. Tentu saja Iwan senang sekali mendengar penuturan dan semangat Astiti. Akhirnya mereka berdua membagi tugas, stiti mencoba mendekati para ibu dan anak-anak sedangakan Iwan mencoba mendekati para pemudanya. Di sela-sela kesibukan yang menumpuk, mereka berdua mencoba mengimplementasikan konsep dakwah yang pernah dipelajari.
Pertama-tama yang dilakukan Astiti adalah mencoba mendekati anak-anak kecil. Astiti mengundang sekitar 30an anak -anak seusia 4 tahun sampai 7 tahun dengan alasan syukuran.Dibuatkan kantng-kantong kecil berisi permen dan biskuit. Permainan anak-anak yang meriah di pekarangan rumahnya yang cukup luas dibuatnya. Kalau sudah begini Astiti bersyukur sekali mempunyai pekarangan rumah yang cukup luas.Setelah capai bermain, anak-anak diajaknya berkumpul untuk dicoba mengetahui hafalan surat dan sedikit pengetahuan tentang agama. Cukup shock juga Astiti terhadap anak-anak seusia tersebut ternyata tidak hafal dengan surat Al Fatihah. Tetapi lagu-lagu dangdut mereka cukup fasih melantunkannya.
Sekarang kalau sore hari, anak-anak banyak yang bermain di pekarangan rumah Astiti. Sekarang mereka tidak takut terhadap sosok Astiti, yang menurut mereka dahulu terlihat amat galak. Astiti tersenyum sendiri. Lama-lama anak-anak yang suka bermain di pekarangan rumah diajak untuk shalat Maghrib berjamaah dengannya, tentu saja hal ini merupakan sesuati yang baru bagi anak-anak itu. Tetapi mereka menyambut dengan senang. Kemudian dilanjutkan dengan belajar mengaji.
Semakin lama jumlah anak-anak yang sering menyemarakkan rumah Astiti bertambah. Kalau dulu hanya sekitar 10 orang, sekarang berjumlah sekitar 25an anak. Kadang Astiti semakin kewalahan karena banyaknya. Dan ia sekarang dipanggil ibu Haji oleh anak-anak itu, ia hanya meng amin kan mudah-mudahan terkabul cita-cita mulia ini.
Sambutan positif ternyata juga bergaung pada ibu anak-anak tadi. Ibu-ibu di lingkungan ini ada yang meminta tolong agar Astiti mengajarkan membaca Alquran. Tentu saja kesempatan emas ini tidak disia-siakan olehnya. Tersebutlah nama mbak Marni, mbak Lastri, mbak Mur, bu Dedeh, bu Anom dan ibu- ibu lainnya menyemarakkan rumah Astiti untuk belajar membaca Alqur'an dan juga di selingi oleh Astiti untuk mengajarkan Islam.
Iwanpun tak ketinggalan pula dalam mencoba beramar ma'ruf nahi munkar. Para pemuda yang sering berleha-leha di ujung jalan sering pula bertandang ke rumah.Mereka salut terhadap Iwan, karena Iwan yang berpendidikan tinggi mau bertutur sapa dengan mereka yang rata-rata pemuda putus sekolah dan pengangguran.
Sekarang pun jarang dijumpai para pemuda-pemuda itu ber mabuk-mabukan. Tetapi suara musik yang mereka nyanyikan kadang masih terdengar. Tetapi itupun pada hari Sabtu malam saja. Kini mereka dikoordinir oleh Iwan untuk mengerjakan suatu ketrampilan tertentu yang dapat menambah penghasilan. Jamaah di surau pun mulai ramai. Iwan berusaha menghidupkan aktifitas di surau tua itu. Sekarang suara adzan pun terdengar lima waktu berkumanadang.
Memang untuk merubah sesuatu secara frontal tidak semudah membalikkan tangan, tetapi butuh pengorbanan yang besar terutama kesabaran.Astiti dan Iwan berusaha untuk memutihkan daerah mereka yang dahulu hitam. Tentunya banyak juga halangan yang menimpa mereka. Tetapi mereka tetap optimis karena Allah lah yang menyertai mereka.
Ada lagi harapan dan cita-cita Astiti..yaitu mencoba memutihkan gang sebelah dengan lokalisasinya.Yaa tentunya cita-cita mulia ini Insya Allah akan ditegakkannya. Namun memang butuh waktu untuk itu semua. Allah akan bersama mereka...............
******

Menganyam Kesabaran

"Kriiinnnggg!" Jam wekker di samping kepalaku berbunyi nyaring. Reflek kugerakkan tanganku memencet tombolnya. Hmmm, jam 4.45. Kulihat Aa sudah tidak ada di sampingku, aku bergerak menyalakan heater dan bergerak menuju ruang sebelah. Di sana kulihat Aa tertidur dengan pulasnya. Dengan jaket tebal dan sarungnya. Posisinya melingkar membuat tubuh Aa yang jangkung tampak mengecil. Aku tersenyum. Rupanya Aa shalat malam tanpa membangunkan aku.Terlihat terjemahan Al quran yg masih terbuka di samping kepala Aa. Kututup perlahan terjemahan itu. Kuberjongkok di samping tubuh Aa, tersenyum memandangi wajah Aa yang terlihat damai sekali. "A..Aa..!" Kuguncang-guncang bahu Aa pelan. Aa menggeliat sebentar. Tapi seakan tidak peduli malah membalikkan posisi tubuhnya membelakangiku. Kuulang hal yang sama. Aa belum mau bangun juga. Kalau sudah begini, cuma ada satu cara yang ampuh. Usapan air! Aku bergegas menuju dapur dan memutar kran lalu mencuci tanganku. Siraman air dingin membuat sel-sel sarafku bereaksi seketika. Rasa kantuk yang masih tersisa lenyap dibuatnya. Kuusapkan tanganku yang dingin pada wajah Aa. Suamiku terbangun seketika dan menatapku dengan wajah bangun tidurnya yang lucu. "Assalamu'alaikum! Sudah mau jam 5..."kataku memandang Aa sambil menahan tawa. Aa bangkit dari tidurnya. "Hmm..,"gumamnya masih ogah-ogahan. "Dede wudhu dulu..awas jangan ketiduran lagi!"ancamku sambil beranjak ke kamar mandi.
Subuh itu seperti biasa kami selesai shalat berjamaah kami lewati dengan tilawah Al Quran dan doa Matsurat. Dan seperti biasanya tilawah Aa lebih panjang dari pada lama tilawahku. Aku beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian. Ketika aku memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci, ku dengar suara Aa. "De..! Sudah nggak papa perutnya..? Katanya mulas habis dari Rumah sakit kemarin.." "Nggak, udah nggak papa, kok, "sahutku.
Kemarin memang hari di mana aku harus pergi ke ahli kandungan untuk memeriksakan diri secara rutin tiap bulan. Sebelum memasukkan alat itu ke dalam tubuhku, dokter wanita yang ramah itu mengingatkanku, bahwa pengobatan seperti ini memang menyakitkan. Jadi aku bisa menolaknya kalau tidak tahan. Tapi kupikir-pikir toh sama saja sakit sekarang atau nanti. Maka kubilang pada dokter tersebut. "iie. Daijoubu desu. Yatte kudasai, onegaishimasu.(tidak apa-apa. Tolong laksanakan saja...)" Dokter Abe tertawa. "Gaman site, ne...(bersabar ya, kalau sakit..)" Dan benar saja. Perutku terasa diperas-peras, kepalaku gelap. Aku hampir terjatuh ketika bangkit dari tempat tidur. "Sebentar akan saya telfonkan taksi untuk mengantar anda pulang ke rumah!" Kata dokter Abe bergegas keluar. Aku berterimakasih padanya sambil menahan rasa mual yang tidak dapat kuceritakan rasanya. Sampai di rumah aku tak kuat bangun lagi. Sehabis Ashar aku tak sempat lagi membuat makan malam buat Aa. Ketika Aa pulang, dan mendapatkanku sedang tidur Aa sendiri yang memasak makan malam. Alhamdulillah, Aa memang mengerti keadaanku, walaupun sebenarnya tidak mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Tapi beliau tidak marah karena tidak ditemuinya makan malam di meja makan, malah beliau berinisiatif sendiri untuk memasaknya. Ya Allah terimakasih karena telah Kau berikan seorang suami seperti Aa, kataku bersyuku dalam hati. "Hei! Kok, bengong !" Aa mencolek bahuku. Aku terkejut, agak malu tertangkap basah dalam keadaan bengong. "Masak apa, De..? Mi goreng sajalah ya. Kan mi goreng buatan Aa jaminan mutu.." Aa bergerak menuju wastafel dapur dan mulai membuka-buka kulkas. Aku mengangguk saja. Mi goreng adalah masakan kebisaan Aa. Dan harus diakui kadang-kadang rasanya jauh lebih enak dari buatanku. Pagi itu kami sarapan pagi dengan mi goreng dan sup miso ala Aa. Sedap karena Aa menambah rasanya dengan keikhlasan... Dan seperti biasa kami berpisah di dekat stasiun. Aku ke kiri menuju kampusku yang telah berdiri di sana, sedang Aa ke kanan, ke arah stasiun karena Aa harus ke kampus dengan kereta listrik. "Nggak papa, De..? Kuat kuliah..?"tanya Aa lagi sebelum berpisah. "Insya Allah nggak papa...Lagian cuma sebentar hari ini, seminar saja. Kan giliran Dede yang harus presentasi.."jawabku berusaha menghilangkan kekhawatiran Aa. "Yah, sudah kalau nggak papa. Hati-hati, ya..Assalamu'alaikum!" Aku mencium tangan Aa dan membalas salamnya. Kutunggu sampai tubuh jangkung Aa hilang di pintu stasiun.
Aku dan Aa berselisih dua tahun. Kami menikah ketika aku tahun ketiga, dan Aa sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya. Kami berada di fakultas yang sama, FMIPA, walau berbeda jurusan. Aku kimia, sedang Aa fisika. Alhamdulillah, Allah menjawab doa-doa kami, dengan memberikan cinta dan kasih sayangNya pada hati-hati kami. Walau kami tidak berpacaran seperti yang biasa dilakukan orang-orang pada umunya, ternyata kami bisa cocok dan saling memahami hingga usia perkawinan kami menjelang tahun ke enam sekarang, tak ada percecokan yang sampai mengguncang bahtera yang kami layari. Kalaupun ada mungkin keinginan kami untuk mempunyai anak.Tidak, itu tak pernah mengguncangkan bahtera. Bahkan boleh dibilang memperkuat ikatan tali hati kami. Ketika setelah dua tahun menikah Allah belum juga mempercayakan amanah itu pada kami, aku sendiri masih tenang-tenang saja. Aku memang tidak mempunyai siklus bulanan yang teratur sebagaimana wanita normal. Tetapi melihat keturunan dari ibu dan bapak, keluargaku termasuk"subur". Demikian pula Aa. Sampai akhir nya Aa pergi belajar ke Jepang ditugaskan lembaga yang selama ini memberi Aa beasiswa, dan aku menyusulnya satu tahun kemudian untuk menemani Aa setelah skripsiku yang sedikit berlarut-larut karena aku harus membagi waktuku sebagai seorang istri dan mahasiswi, selesai disidangkan.
Atas keinginanku yang disetujui oleh Aa, akhirnya kami berdua berkonsultasi pada dokter ahli kandungan yangsekarang ini. Kebetulan dan alhamdulillah sekali beliau perempuan.. Dan setelah diteliti, ternyata benar dugaanku. Aa normal, akulah yang sakit. Sehingga sejak satu setengah tahun lalu aku berobat secara intensif. Walaupun belum tampak hasilnya hingga kini. Namun atas dorongan semangat Aa, aku bisa terus sabar berusaha hingga kini. Dan aku tahu, Aa juga menunjangnya dengan doa-doa di sujudnya yang lama setelah shalat, sebagaimana yang juga aku lakukan. ****
Kesepian menunggu datangnya amanah itu bukannya tak pernah kami rasakan, khususnya aku. Tanpa aku katakan pada Aa apa yang aku rasakan, Aa seakan mengerti. Sehingga ketika hari tahun ajaran baru universitas dimulai, Aa menyarankan agar aku melanjutkan sekolah saja. Di rumah sendiri bukannya tak ada pekerjaan. Pekerjaan menterjemahkan secara bebas artikel-artikel bahasa Inggris dan kukirim ke redaksi-redaksi majalah, adalah pekerjaan yang sudah kumulai sejak aku masuk universitas. Lalu kursus Bahasa Arab gratis dengan beberapa teman, ibu-ibu dari Mesir seminggu sekali. Dan pelajaran bahasa Jepang secara autodidak yang aku lakukan melalui TV dan majalah berbahasa Inggris-Jepang. Belum lagi pekerjaan rumah tangga, yang walaupun sebagian besar serba otomatis tetapi membutuhkan kesabaran untuk melawan kebosanan itu, juga menunggu. Tetapi waktuku yang banyak sendirian di rumah kadang-kadang membuat aku tak kuat melawan sepi. Dan Aa mengerti benar kecenderunganku tersebut.
Dan akhirnya aku memilih masuk fakultas pendidikan, dan mengambil spesialisai psikologi pendidikan. Karena aku melihat Jepang mapan dalam pendidikan dasarnya. Sedari dulu aku tergelitik untuk mengetahui "resep"nya. Tanpa pikir dua kali aku menyambut saran Aa. Dan jadilah setahun yang lalu aku mahasiswi graduate di universitas yang sama dengan tempat Aa sekarang. Walaupun satu universitas tempat kami berjauhan. Dan kami memutuskan untuk pindah ke tempat yang sekarang.
Hari-hari hanya berdua saja dengan Aa dari sisi lain kurasakan juga sebagai anugerah Allah pada kami. Karena belum disibukkan oleh anak, membuat aku lebih punya banyak waktu memperhatikan Aa, berdiskusi banyak hal dengan Aa, dan lain-lain yang kurasakan sangat mendekatkan aku dengan Aa. Jalan-jalan pagi atau sore sepanjang sungai kerap kami lakukan. Dan ketika kami bertemu dengan pasangan suami istri yang berjalan-jalan bersama buah hati mereka, tanpa sadar mata-mata kami memandang pada si kecil yang yang memandangiku dengan lucunya. Dan seperti biasa, kalau tidak aku atau Aa akan berguman. "lucunya.." "A, nanti anak kita lucu atau nggak, ya..?" Atau: "De, mudah-mudahan anak kita juga lucunya kayak gitu.."Yang kuaminkan dalam diam. Dan biasanya kami akan saling memandang dan tersenyum bersama. Walau bagaimanapun kami merindukan kehadiran amanah itu, ya Allah..
Dan tibalah keajaiban itu, tepat empat bulan setelah itu, hawa dingin sisa-sisa musim dingin masih tertinggal. Bulan Februari akhir, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku menemui Dokter Abe seperti biasa. Kali ini sambil membawa buku catatan suhuku yang kuukur setiap hari. Ada debar-debar harap karena kulihat grafik suhu tersebut tidak menurun. Tapi aku tak mau terlalu berharap. Karena takut kecewa yang berlebihan, jika bukan berita baik yang kudapat. Dan dengan perasaan sedikit tak tenang kutunggu hasil pemeriksaan urine. Dan kudengar namaku dipanggil. "Aya-san!" Kudapati dokter Abe dengan ekpresi ramah seperti biasa. "Duduklah,"katanya. Aku duduk dihadapannya sambil harap-harap cemas. Dan.."Omedetou gozaimasu..!(selamat..)" aku mendengar kata-kata itu dengan kelegaan yang luar biasa, tetapi juga diiringi dengan tangis haruku yang naik ke kerongkongan."Positif..,"kata dokter Abe melanjutkan. Alhamdulillah, Alhamdulillahrabbil'alamin..Subhanallah...Ya Allah, Maha Besar Engkau yang telah mengabulkan permintaan dan usaha hamba-hambaNya. Aku bertasbih dan bertahmid dalam hati, air mata bahagia yang kurasakan hangat keluar tanpa mampu kutahan lagi. Dokter Abe memandangku dengan senyumnya, dan aku tahu dimatanya yang tersembunyi oleh kacamata itu ku dapati juga kaca-kaca. "Domou arigatou gozaimasu.."kataku berterimakasih padaNya. Dia menggeleng. "Bukan saya yang membuatnya demikian, tetapi Kamisama(Tuhan) lah yang memberikannya. Bukan begitu Aya-san?" Aku mengangguk. Alhamdulillah, Segala puji bagi Engkau...
Sesampainya di rumah, aku seperti mempunyai tambahan energi baru. Aku masak soto ayam kesukaan Aa, kali ini tanpa pelit dengan daun sereh dan daun jeruk, biar sedikit istimewa. Juga acar, sambel kecap, serta perkedel jagung. Ketika dering telpon berbunyi, aku segera berlari mengangkatnya. Pasti itu Aa. Benar saja...Sehabis menjawab salam Aa, tanpa memberi kesempatan Aa berbicara aku berkata:"A, cepet pulang!..."
Dan hari-hari selanjutnya kurasakan lebih bergairah lagi. Walau janin di perutku baru dua bulan, tapi aku yakin dia sudah merasakan apa yang aku rasakan. Buku-buku tentang pendidikan janin dalam rahim, cara merawat bayi,sampai majalah tentang permasalahan bayi, yang dulu sempat kuletakkan jauh-jauh dari penglijatanku kupindahkan dekat rak buku-buku kuliahku. Uang tabungan yang kusisihkan dari uang belanja kubelikan walkman. Juga tak lupa aku rajin menggaris-garis buku pedoman pendidikan anak dalam Islam dan kuingat-ingat bagian yang pentingnya. Kini hari-hari ku tak pernah kulewatkan tanpa walkman yang memutar ayat-ayat Al-quran. Juga hari-hari di rumah aku lewatkan dengan "mengobrol" dengan janinku. Sampai Aa iri, karena aku bisa merasakan kehadiransi kecil lewat tubuhku, sedang Aa tidak. Alhamdulillah, aku tidak banyak mengidam dan merasakan mual. Padahal aku khawatir juga, karena sampai sekarang aku masih kuliah seperti biasa. Hanya saja waktu membacaku kuhabiskan sebagian besar di rumah, bukan di perpustakaan seperti biasanya. Karena di rumah aku lebih punya waktu dan lebih bebas "bicara" dengan si kecil.
Sampai saat itu...
Kali itu pemeriksaan kandunganku yang keenam. Menurut hitungan dia sudah 10 pekan usianya. Hari itu kuajak Aa juga. Karena kata Dokter Abe kandungan ku mungkin sudah bisa dideteksi oleh USG, maka beliau mengundang Aa juga untuk ikut menyaksikannya. Akan tetapi, takdir Allah menentukan lain... "Aya -san, terakhir memeriksakan kandungan tiga minggu yang lalu, ya..?" Dokter Abe bertanya memastikan setelah selesai memeriksaku. "Iya, sensei.."Aku mulai merasakan hal yang tidak enak menjalari hatiku. "Heemm, bisa tolong panggil suami anda..?"
Dan aku berusaha tabah ketika mendengar penjelasan itu. Janinku tidak berkembang! Penyebabnya sendiri belum diketahui secara persis. Karena pada pemeriksaan terakhir dia masih "hidup". Aku harus mengeluarkannya agar tidak meracuni rahimku.Aa menggegam tanganku erat. Kurasakan tubuhku bergetar menahan tangis. Ya Allah. Kutunggu kedatangannya selama 5 tahun lebih.Mengapa dia Kau panggil tanpa sempat kulihat wajah lucunya? Kenapa Kau panggil dia tanpa sempat aku rasakan lembut kulitnya, indah bening matanya, dan tangisan rewelnya. Aa menggegam tanganku lebih erat lagisambil berucap pelan, "Istighfar, Dede..Istighfar.."Ya, seakan mengerti apa yang bergalau di hatiku.
Aku beristighfar dalam hati mencoba menghilangkan rasa penyesalanku atas taqdir Allah. Tidak, aku tidak boleh menyalahkan Allah atas cobaanNya, seru sebuah bagian hatiku. Tetapi kenapa Dia panggil anakku yang sudah begitu lama kunantikan, tanpa memberiku kesempatan untuk jangankan membelainya, bahkan merasakannya untuk lebih lama berdiam dalam perutku? Seru bagian hatiku yang lain. Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, ampuni aku.Akhirnya bagian hatiku yang bersih menyapu bagian hatiku yang kotor. Dan kutemukan diriku dalam keadaan tenang kembali. Ku dengar Aa berucap pelan "Innalillaahi wa inna ilaihi Raaji'uun.." Dan dengan tenang menandatangani formulir operasi buatku.
Empat hari aku di rumah sakit. Aku tak merasakan perubahan yang berarti pada tubuhku. Tapi tidak demikian pada hatiku. Aku merasakan kesendirian ketika kusadari "anakku" tak ada lagi dalam diriku. Aa sendiri tak banyak berbicara tentang masalah itu. Aa tampak berusaha bersikap biasa. Namun aku tahu Aa menanggung kesedihan yang sama seperti yang kurasakan.
Maghrib itu kami berjamaah seperti biasa. Yang tidak biasa hanyalah itu pertama kali kami shalat berjamaahan sejak aku mengungsi di rumah sakit. Pada rakaat yang kedua Aa membaca surat Al Baqoroh dari ayat 153. Dan suara Aa bergetar ketika mencapai: .... Walanabluwannakum bisyayi im minal khaufi wal juu'i wanaqshim minal amwaali wal anfusi watstsamaraat. Wabasyiri shabiriin Alladziina idzaa ashabathum mushibah, qoluu inna lillaahi wa inna ilaihi raji'uun.Ulaika alaihim shalawaatum mir rabbihim warahmah. Wa ulaaika humul muhtadun... ...
(... Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepada mu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa mushibah mereka berucap: Innalillaahi wainna ilaihi raaji'unn. mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari RabbNya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ...)
Aku terisak di belakang Aa, mendengar teguran Allah yang lembut itu. Betapaku rasakan Allah langsung menegur sekaligus menghiburku lewat ayat-ayat tersebut. Selesai shalat, seperti biasanya Aa shalat rawatib ba'da maghrib , lalu berdzikir sebentar. Tak lama kemudian membalikkan badannya ke arahku. Aku menatap Aa. Kutemui mata yang cekung dan kurang tidur, karena beberapa hari ini Aa harus menjalani hidup antara rumah, rumah sakit, dan kampus. Kucium punggung tangan Aa seperti biasanya. Aa tersenyum bijak dan mengelus kepalaku dengan tangan kirinya. "Innallaaha ma'ashshabiriin, De.."katanya serak. Aa bukanlah tipe orang yang mudah mengekspresikan emosinya lewat titik air mata. Tapi kali ini, kulihat mata cekung Aa dipenuhi oleh kaca-kaca. Aku mengangguk pelan. Kurasakan mataku memanas lagi, dan kurasakan pandanganku kabur karena genangan air mata. Aa tak melepaskan genggaman tanganku, digenggamnya erat-erat seolah ingin berbagi kekuatan dengan ku.
Ya Allah, jika Engkau masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau berkati dan rahmati karena kesabaran kami menanggung cobaan, cobaan yang tidak seberat yang dialami saudara-saudara seiman kami yang harus hidup dalam ketakutan, kehilangan harta, bahkan nyawa dalam mempertahankan tanah air Islam, maka bimbinglah kami terus untuk dapat terus menganyam benang-benang kesabaran kami, agar menjadi kuat dan kokh sehingga mampu menanggung cobaan yang lebih berat lagi.(is95)
************
Keterangan: Aa * bahasa sunda artinya sama dengan panggilan Mas(untuk orang Jawa), atau Abang (untuk orang Betawi) Dede * bahasa Sunda, artinya sama dengan adi, jeng (atau apalah panggilan sayang buat istri) Miso * semacam tauco Indonesia terbuat dari beras, kedelai, dan garam Domou arigatou gozaimasu: terimakasih banyak .....san: cara orang Jepang memanggil lawan bicaranya

Seindah Mentari Pagi

Pagi itu di dapur....
" Bu,.. awas itu ikannya hampir gosong loh... ", seru khadimatku, Asih, membuyarkan lamunanku.
" Masya Allah...", seruku seraya mematikan kompor.
" Nah loh ibu lagi ngelamun ya... ?", goda Asih lagi.
" Ah, kamu ini... ayo mana belanjaannya ? ", tanyaku.
" Asih, hari ini kita bikin bali ikan, sayurnya kita bikin lodeh saja terus goreng tahu, tempe dan kerupuk". Asih, khadimatku sudah lama ikut aku dan keluarga. Sejak dia baru lulus SD sampai sekarang dia sudah lulus SMEA. Kami sekeluarga sudah menganggap Asih sebagai anggota keluarga sendiri.

Selesai masak bareng Asih sambil menunggu adzan dzuhur aku berniat meneruskan tulisanku semalam, tapi aku hanya termenung di depan layar monitor tanpa dapat memusatkan pikiranku. Aku kembali meneruskan lamunanku yang tadi sempat terputus gara-gara Asih mengejutkanku. Semalam selepas kami sholat Isya' berjamaah, Sarah putri tunggalku menghampiriku di kamar.
" Ummi,... ummi lagi repot ? ", tanya Sarah.
" Nggak kog sayang, ada apa ? ".
" Malam ini ummi nggak nulis ?, biasanya ba'da isya ummi khan langsung asyik sama komputer ".
" He.. he.. Sarah,...Sarah....nggak kog, memang sih ummi mau nulis tapi nanti-nanti saja. Ada apa sholihah... ? ".
" Eng.. eng... ada yang mau Sarah diskusikan sama ummi ".
" Ya,... tentang apa nak ? ".
" Tapi ummi harus janji dulu sama Sarah loh.. ".
" Janji.. ? ada apa memangnya ? ".
" Ya ummi, janji dulu ya mi yah... ? ", Sarah mulai dengan rengekan manjanya
" Iya deh insya Allah.... ".
" Ummi musti janji pertama ummi jangan motong dulu sebelum Sarah selesai, terus yang kedua ummi jangan bicarakan ini dulu sama siapapun kecuali sama Abi. Sarah nggak mau kalau mas Fadhil, mas Yazid dan Zakly tahu sebelum waktunya ", kata Sarah seraya menatapku.
" Hhhmm.... iya insya Allah ".
" Nah,... sekarang ummi dengarkan baik-baik yah...? ", pinta Sarah dengan kerlingan manjanya.
" Iya.... ini dari tadi juga ummi sudah dengerin kog...", kataku mulai tak sabar.
" Mmhhhh... begini ummi,.... akhir-akhir ini Sarah mulai berpikir kalau... mmhhh...mmhhh.. kalau Sarah pingin menyempurnakan setengah dari dien Sarah ", kata Sarah perlahan lantas Sarah tertunduk dan diam.
Aku masih terdiam, rasanya otakku saat itu bekerja dengan sangat lambat untuk mencerna kata-kata Sarah. Sarah ingin menyempurnakan setengah dari diennya itu artinya Sarah hendak menikah....Subhanallah... Alhamdulillah... putri tunggalku sudah berpikir ke arah sana.

" Sarah,...subhanallah nak...", aku tak dapat meneruskan kata-kataku.
" Ummi kaget Sarah,... tapi sekaligus juga bangga ", kataku seraya memeluk Sarah yang masih tertunduk di hadapanku. " Alhamdulillah nak.... Insya Allah kalau nanti abi sudah pulang akan ummi diskusikan dengan abi. Nah,...mau ngomong begitu aja kog dari tadi pakai takut-takut segala sih sayang.. ? ", godaku.
Sarah masih menunduk sambil tersenyum.
" Sekarang masalahnya Sarah mau nikah sama siapa ?", tanyaku. "Atau Sarah pingin abi dan ummi yang carikan calonnya ? ".
" Mmhh... sebenarnya Sarah sudah punya calon ummi.... ", katanya perlahan.
" Heh... ?? Sarah sudah punya calon... kog abi dan ummi nggak tahu ? ".

Terus terang aku terkejut. Aku kenal betul siapa Sarah, ia sangat hati- hati dalam menjaga pergaulan dengan lawan jenisnya. Tapi kog tahu-tahu sekarang sudah ada calon.
" Ummi masih janji kalau nggak memotong sebelum Sarah selesai khan,...sekarang Sarah mau cerita yang lengkap ". Sarah menarik nafas.
" Begini ummi,... ada temen pengajian Sarah di kampus, akhwat itu punya mas. Nah, masnya itu insyaAllah akhlaq dan diennya baik ".
" Hhmm.... lantas.. ", kataku tak sabar.
" Temen Sarah itu mengusulkan agar Sarah menikah dengan masnya. Nah,.. sekarang Sarah mau minta tolong ummi dan abi atau mas Fadhil atau mas Yazid untuk menyelidiki apa memang betul ikhwan itu diennya baik dan insya Allah bisa cocok sama Sarah ".
" Hhhmmm... begitu ? ".
" Sarah belum pernah ketemu sama ikhwan itu, Sarah baru lihat fotonya saja dan Yasmin, teman Sarah itu cerita kalau ikhwan itu insya Allah shalih. Sarah percaya sama Yasmin, ummi masih ingat Yasmin khan yang pernah kesini itu lho... ".
" Ummi lupa abis khan banyak akhwat temen Sarah yang main kesini ".
" Ummi,... abi dan ummi khan selalu bilang kalau apapun yang kita kerjakan harus lillaahita'ala khan ? ", tanya Sarah. Aku hanya mengangguk....
" Ummi,....insya Allah Sarah ingin pernikahan ini juga menjadi ibadah karena Sarah pingin mencari ridho Allah ummi. Sarah ingin nikah dengan ikhwan itu karena Sarah ingin menolong ia dan keluarganya mi... Ummi,.. sebenarnya ia sudah menikah, sudah punya isteri ".
" Heh....", seruku dengan terkejut.

Tanpa memperdulikan keterkejutanku Sarah kembali meneruskan kata-katanya.
" Ummi, ikhwan itu sudah nikah hampir 6 tahun, tapi sampai sekarang belum dikasih amanah oleh Allah, isterinya punya fisik yang lemah, sering sakit-sakitan. Sarah berpikir ummi,.... Sarah ingin bisa menolong keluarga itu untuk sama-sama berjihad di jalan Allah. Sarah bisa bantu-bantu pekerjaan rumah tangga dan insya Allah nanti Sarah bisa melahirkan jundi-jundi yang bisa dididik sama-sama. Ummi ingat ya ummi,... Sarah insyaAllah mau melakukan ini semua hanya karena Allah, Sarah cuma mau mencari ridho Allah saja ummi.... Sarah sudah istikharoh berkali-kali dan Sarah makin hari makin mantap aja ".

Aku hanya terdiam,... tak tahu harus berkata apa. Terus terang aku sangat ingin suamiku ada disampingku saat ini. Kenapa Sarah harus membicarakan hal itu di saat suamiku ke luar kota. Aku bingung tak tahu harus berkata apa....

" Ummi,.... ", panggil Sarah perlahan.
" Sarah,...sekarang ummi mau tanya ya nak... ".
" Bagaimana awal mulanya kog tiba-tiba Sarah ingin menikah dengan ikhwan itu ? ".
" Begini ummi,...Yasmin bilang kalau mbak Asma, nama isteri masnya itu, pernah bilang ke Yasmin bahwa mbak Asma ingin suaminya menikah lagi ".
" Hhmmm.... terus.... ".
" Soalnya mbak Asma tahu benar kalau suaminya sudah ingin punya jundi sementara mbak Asma sendiri sampai sekarang belum juga dikasih kesempatan oleh Allah untuk hamil. Kasihan mbak Asma ummi,...sudah fisiknya lemah, kesepian lagi. Sehabis Yasmin cerita begitu Sarah jadi kepikiran, Sarah ingin membantu keluarga itu ummi.... Sarah pingin bisa bantu-bantu mbak Asma, nemenin mbak Asma, insyaAllah nanti Sarah juga bisa melahirkan jundi yang bisa dididik sama-sama. Khan Ummi sendiri yang bilang kalau untuk menuju kebangkitan Islam memerlukan generasi yang berkualitas, insya Allah nanti akan lahir generasi-generasi robbani ."

Setelah sholat dzuhur berdua dengan Asih aku kemudian makan sendirian. Kalau siang seperti ini rumah selalu sepi, hanya aku berdua dengan Asih saja. Mereka biasanya makan di kampus masing-masing dan Yazid makan di cafetaria kantornya. Terus terang aku kesepian, ingin rasanya aku segera mendapatkan cucu-cucu dari mereka. Dan kini salah seorang dari mereka mengajukan keinginannya untuk menikah, tapi...kenapa Sarah hendak nikah dengan seseorang yang telah beristri?.... Rasanya sejak semalam aku sulit berpikir secara jernih, aku terlalu terbawa alam perasaanku. Diantara mereka berempat aku tidak membeda-bedakan kasih sayangku. Aku selalu berusaha adil terhadap mereka. Tapi tak dapat kupungkiri kalau Sarah menempati posisi yang lebih istimewa. Perhatianku lebih tercurah ekstra pada Sarah. Karena Sarah hanya satu-satunya putri tunggalku. Aku lebih melindungi Sarah dibandingkan dengan putra-putraku yang lain. Timbul rasa was-was dalam hatiku, bagaimana kalau seandainya suaminya nanti tak dapat berlaku adil, bagaimana kalau seandainya madu Sarah tidak memperlakukannya dengan baik karena merasa mendapat saingan dan bagaimana kalau nanti Sarah tidak bahagia. Semua itu menjadi beban pikiranku. Aku menyayangi Sarah, dan wajar bila sebagai seorang ibu aku ingin melihat anak-anakku bahagia. Aku menjadi tidak berselera makan. Tiba-tiba...

" Assalamu'alaikum,...", suara Zakly kudengar dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam,... loh kog sudah pulang ? ", tanyaku.
" Iya mi, dosennya nggak ada... lagi pula siang ini sudah nggak ada kuliah lagi kog ", jawab Zakly seraya mencium tanganku.
" Ayo makan sekalian,...ummi baru saja mulai ".
" Sebentar mi, cuci tangan dulu... ".

Seperti kebiasaan mereka sejak kecil, setiap pulang sekolah waktu makan siang mereka akan bercerita tentang kejadian mereka di sekolah hari itu. Dan hingga kini meskipun mereka telah beranjak dewasa kebiasaan itu tetap terbawa. Zakly sedang bercerita tentang susahnya mencari dosen pembimbingnya untuk skripsi. Tapi aku hanya menanggapi setengah hati, konsentrasiku tidak terpusat seutuhnya pada apa yang dibicarakannya.

" Ummi,.... ummi kenapa sih...? ", tanya Zakly.
" Oohh...nggak,... Zakly bilang apa tadi temen Zakly kenapa ? ".
" Nah khan... ketahuan deh kalo ummi nggak dengerin Zakly ngomong ".
" Nggak,.. kenapa tadi.... ? ".
" Sejak tadi pagi Zakly perhatikan ummi hari ini agak lain deh... ".
" Ah masa sih,... itu khan perasaan Zakly saja.. ".
" Bener kog... tadi pagi di garasi mas Yazid saja tanya sama Zakly, kog ummi pagi ini agak diam ya... nggak secerewet biasanya ".
" Eh,...ghibah ih,...ngomongin umminya ", sahutku sambil tersenyum.
" Bener kog... ummi nggak sakit khan ?? ".
" Nggak ummi nggak apa-apa kog... ".
" Kalo nggak apa-apa kog ummi jadi agak lain ayo !", desak Zakly masih dengan ngototnya.
Sifat Zakly ini menurun dari abinya, yang nggak akan berhenti bertanya kalo belum mendapatkan jawaban yang dapat memuaskan hatinya.
" Ummi...ummi cuma pingin abi cepet pulang, gitu aja.." sahutku perlahan.
" Ha.... ha.... ", meledak tawa Zakly.
" Lho kog ketawa sih ? ",tanyaku.
" Abis ummi lucu, kaya pengantin baru aja deh.... dikit-dikit kangen pingin ketemu abi ".
" Yah wajar dong.... namanya juga suami isteri ".
" Tapi ummi lucu deh... kita khan pura-pura nggak tahu aja, kalau sebenarnya di belakang kita ummi tuh kolokan banget sama abi... ", goda Zakly lagi.
" Hhhmmm.... kata siapa ? ", tanyaku tak mau kalah.
" Yah ummi...ngaku aja deh,...kalau ummi khan masih manja banget sama abi, ummi kita khan udah pada gede-gede, sudah ngerti ", kata Zakly masih sambil ketawa.
" Udah ah,... ketawa aja tersedak lho nanti maemnya.. ",sahutku.
" Mmmhh...ummi nggak mau ngakuin tuh..., sabar dong ummi insya Allah besok abi khan sudah pulang ", goda Zakly lagi.
" Udah,... cepat dihabisin maemnya Zakly... ".
" Iya nyonya besar.... ", kata Zakly sambil tersenyum-senyum menggoda.
" Ummi,...", panggil Zakly lagi.
" Apa lagi sholeh ?? ".
" Mmhh... Zakly nanti ingin kalau punya rumah tangga seperti rumah tangga abi dan ummi.... ".
" Kenapa memangnya... ? ".
" Sepertinya abi sama ummi tuh seneenng terus, nggak pernah Zakly lihat abi sama ummi ribut, meskipun sudah tua-tua tapi masih seperti pengantin baru saja ".
" Hhmmm... kalian khan nggak tau saja, pernah juga abi dan ummi berselisih, karena beda pendapat, itu wajar dalam rumah tangga ".
" Oya... kog Zakly nggak tahu.. ".
" Aduh anakku sholeh.... masa sih kalau abi sama ummi lagi nggak enakan harus lapor sama kalian, nggak khan ?".
" Iya.. ya.... ".
" Itu rahasia abi dan ummi, kita selesaikan berdua, diskusi, dibahas, saling menghargai pendapat lawan, cari jalan tengahnya ".
" Terus mi.... ".
" Ya sudah,...berusaha menyelesaikannya secepat mungkin, dan saling mengalah. InsyaAllah keadaan cepat normal lagi, baikan lagi. Kunci yang penting Zakly,... kalau nanti Zakly sudah berkeluarga, jangan pernah kalian ribut di depan anak-anak, karena nggak baik buat perkembangan jiwa mereka. Selesaikan berdua ketika sudah sama-sama tenang sehabis sholat misalnya ".
" Hhmmm... itu makanya abi sama ummi tetap awet sampai sekarang yah ? ".
" Yah... alhamdulillah nak, abi dan ummi saling cinta meskipun dulu kita nggak pakai istilah pacaran ".
" Iya mi,... Zakly tahu itu....subhanallah....
"Iya,... Islam sudah bikin aturan yang benar dan baik tinggal tergantung kita mau ikut atau nggak ", kataku lebih lanjut. Sudah sekarang cepat habisin maemnya... ".
" Jazakillah ya ummi buat materinya siang ini.... ".
" Hhmm... waiyakallahu.. ".

Dan tiba-tiba.... kring... dering suara telfon.
" Hallo,... ", angkat Yazid.
" 'Alaikumussalam,... oh abi nih... Iya bi,... bener nih nggak usah dijemput ?. Iya-iya....insya Allah.... 'alaikumussalam... ".
" Dari abi, Yazid ?? ", tanyaku.
" Iya,... seminar abi ternyata selesai hari ini, abi sekarang ada di airport sebentar lagi pulang ".
" Lho,... abi nggak minta dijemput ? ", tanyaku.
" Kata abi, abi mau naik taksi saja biar cepat, kalau nunggu dijemput kelamaan ".
" Insya Allah sebentar lagi abi pulang ". harapku.

Selesai sholat isya'....

" Kalian sudah pada lapar ya ?, mau makan sekarang atau nunggu abi saja sekalian ? ", tanyaku.
" Nanti aja mi,... enakan bareng-bareng abi aja.. ".
" Kalau kalian mau maem dulu nggak apa-apa, biar nanti ummi saja yang nemenin abi ".
" Nggak usah mi,... khan sebentar lagi insya Allah abi juga datang ", jawab Fadhil lagi.
Dan benar, tak berapa lama kemudian....
" Assalamu'alaikum,...", suara suamiku dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam... ", jawab kami berbarengan.
Kelakuan mereka masih persis anak-anak langsung berebut membuka pintu buat abinya dan mencium tangan abinya. Kalau melihat mereka seperti itu tak percaya rasanya kalau mereka sudah pada besar-besar dan sudah waktunya untuk nikah. Ah,...nikah lagi... kenapa itu yang ada dipikiranku selalu.

" Ummi,..ini nih pacar ummi udah datang...", seru Zakly.
" Zakly,...apa-apa an sih ya...", kataku sambil melotot.
" Alah.. ummi, tadi siang bilang kangen, pingin abi cepet pulang, sekarang malah berdiri disitu aja... ", goda Zakly lagi.
" He.. he.... memang tadi siang ummi kenapa Zakly ", tanya suamiku.
" Tadi siang nih bi.... ".
" Udah Zakly,... abi baru aja dateng,... cuci tangan dulu deh bi,.. terus kita maem ", potongku langsung.
" Iya bi,.. kita tadi udah laper nungguin ", kata Sarah.

Seperti biasa waktu makan malam adalah saat dimana kami dapat makan bersama. Kalau pagi, anak-anak biasa sarapan lebih dulu sedangkan aku dan suamiku hanya sarapan berdua, karena suami ke kantor agak siang dibanding mereka pergi. Kalau siang mereka tak pernah makan di rumah, biasanya aku makan sendiri. Jadi baru makan malamlah kami dapat berkumpul bersama. Dan seperti biasa mereka saling tak mau kalah kalau sudah cerita, jadi bisa dibayangkan bagaimana semaraknya suasana.

" Oya,...tadi Zakly bilang apa tentang ummi ", tanya sumiku mendadak.
" Oh,... he.. he.. ini ummi,... ".
" Kenapa Zakly ? ", tanya Yazid.
" Tadi siang khan Zakly makan di rumah , terus pas Zakly ajak ngobrol ummi tuh kayanya nggak bener-bener ngedengerin deh,... Zakly pikir kenapa gitu.... ".
" Trus.... ", potong Fadhil.
" Waktu Zakly desak-desak ummi bilang nggak apa-apa,.. tapi akhirnya ngaku juga... ".
" Ummi bilang apa... ? ", tanya suamiku.
" Ummi bilang kangen sama abi, pingin abi cepat-cepat pulang, waktu ngomongnya kaya anak remaja yang umur 17 tahun, sambil malu-malu gimanaaa.. gitu ".
Langsung, tawa mereka memecah...
" Ih,... ummi perasaan biasa aja bilangnya, ngapain juga pakai malu-malu segala, orang abi sama ummi udah 28 tahun nikah ", sahutku.
" Alah ummi,..Zakly tadi khan liat muka ummi merah-merah gimana gitu ".
" Oooohh.... pantesan tadi pagi Yazid juga perhatikan ummi agak aneh, nggak seperti biasanya ", sambung Yazid.
" Iya,..ummi tadi pagi agak diam, hhmm baru ketauan ternyata sebabnya kenapa ", kata Fadhil

Mereka masih tertawa-tawa, kulirik Sarah hanya tersenyum tak ikut menggodaku seperti yang lain. Tentu Sarah tahu dialah yang menjadi penyebab kenapa seharian ini aku agak aneh.
" Iya mi,...bener ya apa yang Zakly bilang ", tanya suamiku sambil menatapku dalam-dalam.
" Hhmm.... ", aku hanya tersenyum, jengah juga rasanya ditatap seperti itu di depan anak-anak meskipun mereka udah dewasa.
Mendadak tawa mereka memecah lagi....
" Lho,... kenapa sih... ?? ".
" Coba deh ummi ngaca, muka ummi tuh lucu banget tersipu-sipu gimana gitu, kaya remaja 17 tahunan ", kata Zakly.
" Ummi... ummi...,mau bilang iya aja kog pake malu-malu segala sih... ", kata suamiku.
" Padahal abi khan baru pergi 3 hari yang lalu, ya khan ? ", tanya suamiku ke mereka.
" Tunggu aja bi,.. nanti kalau kita sudah nggak ada, ummi bakal ngaku juga sama abi,... ", kata Zakly.
" Udah ah,... nggak selesai-selesai maemnya nanti, ingat abi belum sholat lho..", kataku mengalihkan pembicaraan.

Setelah suamiku sholat, seperti biasa kami berkumpul di ruang tengah. Dan juga seperti biasa mereka tak pernah habis-habis akan topik bahasan. Mulai dari kerusuhan tentang adanya isyu pembunuhan dukun santet yang menyebabkan sebagian ulama juga ikut terbunuh, tentang harga sembako yang masih saja sulit dijangkau, dan juga tentang keanekaragaman visi dari bermacam-macam partai Islam yang ada. Sampai pada masalah banyaknya anak-anak yang putus sekolah karena tak ada biaya serta kondisi gizi anak-anak balita yang memprihatinkan. Dan seperti biasa, mereka ingin agar segera terbentuk khalifah Islam dimana segala macam bentuk perundang-undangan bersumber pada Al Qur'an dan sunnah Rasul yang insya Allah apabila semuanya itu dilakukan dapat menjamin pola kehidupan masyarakat akan menjadi baik.

Dari balik layar monitor kuperhatikan Sarah tidak selincah biasanya dalam berdiskusi dengan mas-masnya, Sarah hanya sesekali menimpali itu pun dengan nada bicara yang tanpa semangat, sedangkan aku dari tadi duduk di depan komputer, tapi hanya satu paragraf yang berhasil kutulis. Karena perhatianku lebih tercurah pada apa yang mereka bahas dibanding dengan susunan cerita yang sedang kukerjakan. Ingin rasanya aku cepat-cepat menarik suamiku ke kamar untuk membahas keinginan Sarah. Tapi kulihat mereka masih asyik, dan sekarang`mereka sedang nonton Dunia Dalam Berita. Biasanya sehabis acara itu mereka masih duduk di situ untuk membahas berita yang baru saja mereka lihat, sebelum akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Setelah dunia dalam berita....
" Abi nggak capek,... khan tadi baru pulang, besok harus ke kantor khan ? ", kataku.
" Besok saja diterusin obrolannya,... atau kalian ngobrol berempat saja... ", sambil kutatap mereka.
" Kasian abi dong.... ", sambungku lagi.
" Hhhmm.... hhmm.... ", Zakly pura-pura batuk, yang aku tahu itu hanya untuk menggodaku saja.
" Iya deh,...lagian masa abi ngobrol sama kalian aja, abi khan juga pingin ngobrol sama ummi ", kata suamiku.
Tawa mereka memecah lagi...
" Bukan,... bukan gitu, abi khan baru pulang, dan besok harus kerja ", bantahku.
" Iya..iya...udah yok mi,.. kita bobo...", ajak suamiku.
" Jangan lupa lho, periksa lagi pintu jendela sebelum kalian masuk kamar ", perintahku pada mereka.

Kulirik jam, sudah pukul 10 kurang seperempat. Tak mungkin rasanya aku bercerita malam ini. Suamiku tentu lelah, biar besok saja setelah sholat shubuh pikirku. Dan kulihat suamiku sudah merebah di tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur. Iya,... nggak mungkin malam ini, besok saja putusku. Tapi aku masih belum dapat memejamkan mata, ingin rasanya hari segera berganti. Aku tidak biasa memendam sesuatu terhadap suamiku. Aku ingin segera menumpahkan apa yang menjadi beban pikiranku. Yah,... insya Allah nanti selepas shubuh...

Setelah qiyamul lail, sambil menunggu shubuh aku bergantian membaca qur'an dengan suamiku. Seperti biasa suamiku dan anak-anak sholat shubuh di mesjid. Tinggal aku, Sarah dan Asih sholat berjama'ah di rumah. Pada halaman terakhir aku membaca Al Matsurat, suamiku pun tiba. Akhirnya setelah kulipat mukena dan kurapikan sajadah aku berdiri di hadapan suamiku yang sedang duduk di tepi tempat tidur....

" Mas,... mas masih ngantuk ? mau tidur lagi ? ".
" Nggak kog,... mas nggak ngantuk, kenapa de' ? ".
" Mmhhh... ada yang mau ade' omongin sama mas... ".
" Iya,.. tentang apa de' ? ", tanya suamiku seraya menarikku untuk duduk di hadapannya.
" Mmhh.. ini tentang Sarah mas,... ".
" Iya,.. ada apa memangnya sama Sarah ? ".

Akhirnya kuceritakan semua apa yang menjadi keinginan Sarah. Rasa banggaku terhadap Sarah yang memiliki niat seperti itu. Persetujuanku terhadap keinginannya, tapi juga sekaligus rasa khawatirku, rasa cemasku akan putri tunggalku. Betapa aku amat mengasihinya dan aku tidak ingin ada sesuatu hal buruk yang akan dialaminya kelak. Di satu pihak apa yang menjadi keinginan Sarah patut untuk aku dukung, karena yang dilakukan Sarah hanyalah untuk mencari ridhoNya semata, tak boleh aku menghalanginya dari jalan Allah. Tapi di pihak yang lain aku khawatir bila nanti suaminya tidak bisa berlaku adil atau rasa cemburu dari madunya akan menyakiti hatinya. Aku rasa kekhawatiranku adalah hal yang wajar, karena waktu Fatimah mengadu kepada Rasulullah SAW akan niat Ali ra yang hendak nikah lagi, Rasulullah pun berkata bahwa apabila menyakiti hati Fatimah, itu sama halnya dengan menyakiti hati beliau, karena rasa kasih sayang Rasulullah sangat besar terhadap Fatimah. Tapi aku sungguh tersentuh dengan niat Sarah yang subhanallah sangat mulia. Kutumpahkan semua uneg-uneg di hatiku pada suamiku.

" De',... mas tahu,...ade' sayang sekali pada Sarah, begitu juga mas ", kata suamiku perlahan.
" Tapi de',... ade' tahu khan kalau Sarah itu bukan milik kita, Allah cuma menitipkan Sarah ke kita. Alhamdulillah Allah mau memberikan amanahNya pada kita, bukan cuma Sarah, tapi juga Fadhil, Yazid dan Zakly ".
" Mas bangga pada anak-anak, begitu juga mas bangga pada ade' yang sudah berperan buat mentarbiyah mereka. Karena mereka semua nantinya harus kita pertanggung-jawabkan kepada Allah. Nah,...sekarang misalnya ade' ada di posisi Asma, sudah fisiknya lemah, sakit-sakitan, kesepian..., padahal dia menginginkan untuk dapat berperan menjadi pendidik generasi yang dapat menggantikan perjuangan generasi sebelumnya, dia juga menginginkan akan adanya panggilan 'ummi' dari seorang anak yang lucu. Gimana coba ? ", tanya suamiku dengan lembut.
" Dari cerita ade' tadi,...Asma sendiri yang usul supaya suaminya nikah lagi, rasanya apa yang ade' khawatirkan insya Allah nggak akan terjadi deh...Dia sudah rela suaminya menikah lagi, dia sudah ridho dan insya Allah diapun akan memperlakukan Sarah dengan baik.. . Ade' juga tau khan kalau Allah pasti memberikan yang terbaik, belum tentu apa yang menurut kita nggak baik tapi sebenarnya itu justru baik menurut Allah, cuma Allah yang tahu ade '...., kita tidak tahu apa-apa... ".

Sampai sini air mataku mulai menetes...Astaghfirullah...Ampuni aku ya Allah,... aku terlalu melibatkan perasaan dan emosiku. Sarah hanyalah milik-Mu, dan Engkau yang akan menjaganya... " Ade',..ade' inget khan kalau rasa cinta kita terhadap keluarga, harta dan sebagainya tidak boleh melebihi rasa cinta kita terhadap Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya ? ",tanya suamiku.
Aku hanya mengangguk....
" Jadi insyaAllah kitapun akan mendapat ridho Allah, dari apa yang dilakukan Sarah nanti...., karena kita dengan ikhlas menyetujui Sarah menikah hanya karena kita juga sama-sama mencintai-Nya ".

Kami sama-sama terdiam sesaat. Kutarik nafas panjang...
" Mas,...", panggilku lirih.
" Ya sayang... gimana ? ", tanya suamiku,
" Iya mas...ade' sudah tenang sekarang,...kalau tadi meskipun ade' setuju tapi tetap ada yang ganjal rasanya ".
" Kalau sekarang.. ? ", tanya suamiku.
" Ade' sekarang sudah ikhlas mas,... hati ade' sudah plong rasanya, ade' sadar ada Allah yang akan menjaga Sarah, Sarah kan cuma milik Allah ya mas ?? ".
" Nah,... gitu dong... insya Allah Sarah, Asma dan Farid bisa membentuk keluarga sakinah, yang bisa mencetak generasi rabbani, kita tinggal mendo'akan mereka saja de'...".
" Tapi mas,... ", kataku tertahan.
" Tapi kenapa lagi ? masih belum sreg juga ?
" Bukan begitu,... cuma mas kog kayanya begitu gampang memutuskan masalah ini, kayanya mas sudah tau tentang ini sebelumnya ", kataku penuh curiga.
" Mmmhhh... sebenernya sebelum ade' cerita tadi mas udah tau kog de'... ", kata suamiku.
" Hah.... ?? ", tanyaku heran.
" Mmmhh.. sebelum mas ke Jakarta Farid dateng ke kantor mas, sudah diskusi dengan mas... ".
" Lho.. ??? ".
" Iya,... Mas juga tahu siapa Farid itu, juga isterinya, tapi waktu itu mas sorenya udah buru-buru mau berangkat mas pikir nanti saja pulang dari Jakarta cerita ama ade', terus pas ade' lagi belanja sama Asih mas interlokal dari Jakarta, yang ada di rumah Sarah, mas tanya sama Sarah. Ternyata Sarah juga sudah tahu dari Yasmin, mungkin Asma sudah minta Yasmin bilang ke Sarah, begitu de' ", penjelasan suamiku.
" Lho,.. Sarah kog nggak bilang kemaren sama ade' kalo mas sebenarnya sudah ngomong sama Sarah duluan ?", tanyaku masih kebingungan.
" Iya,... mas bilang sama Sarah, supaya Sarah bilang sama ade' saja, tanya pendapat ade' gimana gitu... . Khan nggak enak kalau tahu-tahu mas udah langsung ngasih persetujuan duluan padahal ade' masih belum tahu apa-apa", kata suamiku lagi.

Subhanallah....betapa suamiku sangat menghargai aku, dari dulu suamiku tidak pernah mengambil keputusan sendiri dalam masalah rumah tangga, selalu mengajakku untuk berunding terlebih dahulu.
" Tapi mas,...ade' masih mau tanya lagi nih.. ", kataku.
" Iya sayang,... kenapa lagi ? ".
" Tadi mas bilang kalau mas tahu bener siapa Farid itu, memang mas sudah kenal sebelumnya sama Farid ? ".
" Mmmhh....mmmhh....", suamiku tidak menjawab hanya tersenyum saja.
Dan aku tahu apa itu artinya...suamiku tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu. Tapi akupun tahu sebesar apa kasih sayang suamiku terhadap Sarah. Tidak mungkin rasanya suamiku membuat keputusan besar seperti ini tanpa lebih dahulu menyelidiki bagaimana keluarga Farid dan Asma.
" Yang penting de',... kita berdo'a aja untuk kebahagiaan mereka ", ujar suamiku.
" Hhhmm... iya deh,... yang penting kita tinggal berdoa saja buat mereka ", kataku.
" Terus mas ada lagi,.. berarti mas tahu dong kemarin pas ade' gelisah soalnya ada yang mau ade' omongin sama mas, ya khan ?", tanyaku.
" Iya doonngg...., masa mas nggak tahu, khan ade paling nggak bisa menyembunyikan sesuatu dari mas, meskipun sebenarnya ade' berusaha nutup-nutupin juga... ".
" Berarti mas tau dong sebenarnya ade' pingin ngomong kemaren ? ", tanyaku lebih gencar.
" Iya dong...tau dong....", kata suamiku sambil tertawa.
" Ih,... mas jahat,... nggak mau dibahas dari kemarin saja... mas tau nggak, ade' tuh semalam nggak nyenyak bobonya,... pingin cepat-cepat pagi biar cepat cerita sama mas... ", jelasku.
" Iya.... mas juga tahu, mas iseng saja... sekalian melatih kesabaran ade'...", sambung suamiku masih tertawa.
" Mas jahat ih.... sudah tua masih suka iseng ngerjain isterinya... ", kataku berusaha untuk tidak ikut tersenyum.
" He.. he.... alaah de'.... mau ketawa aja pakai gengsi segala sih.... ", kata suamiku sambil mengacak-ngacak rambutku. " Hhmmmm.... si mas....", aku sudah kehabisan kata-kata.

Tiba-tiba suara pintu kamar diketuk dengan agak keras, aku sudah hafal siapa lagi kalau bukan Zakly yang berani mengetuk seperti itu...
" Abi,... Ummi,.... pada mau pamitan nih.... ", teriak Zakly dari luar.
" Hhmm....Zakly ya, ngomong agak pelanan khan bisa ", kataku sambil membuka pintu kamar.
" He.. he.... abis tadi Sarah udah ngetuk tapi nggak dibukain sih,..ya udah Zakly aja yang ngetuk lagi, katanya membela diri.
" Lho bi,... kog belum siap ?? nggak ke kantor hari ini ya.. ? ", tanya Fadhil.
" Iya,... nanti agak siangan... ", jawab suamiku.
" Udah pada sarapan ? ", tanyaku.
" Udah dong.... khan kita sarapan sendirian.... ummi sama abi khan masih di dalam kamar ", kata Zakly sambil sedikit memonyongkan bibirnya.
" Khan udah pada gede juga.... ", kataku sambil tertawa.
" Ya udah mi,... berangkat dulu nih.... ", kata Yazid sambil mereka bergantian mencium tangan kami satu-persatu.
" Sarah,...berangkat ya mi... ", katanya sambil berbisik di telingaku sambil mencium pipiku.
" Iya nak,... hati-hati ", lantas kupeluk Sarah agak erat. Sarah pun membalas pelukanku dan sambil mengusap kerudungnya aku seraya berbisik bahwa aku ikhlas menyetujuinya. Kulihat mata Sarah berkaca-kaca....
" Woow... Sarah pamit ke ummi aja sampai kaya gitu, kaya di film-film telenovela aja ", goda Zakly.
" Udah ah,... kamu khan nggak tahu ", balas Sarah.
" Lho memangnya ada apa sih mi... ? ", tanya Fadhil.
" Udah,... sekarang berangkat saja kalian, udah siang lho nanti malam saja kita bahas... ", kata suamiku.
" Lho... emang ada apa... ?? ", tanya Zakly lagi.
" Udah.... berangkat sana.... ingat Zakly kalau naik motor jangan ngebut....terus kalian kalau jajan jangan sembarangan, sekarang lagi musim macam-macam penyakit ", kataku mulai lagi dengan segala pesan-pesan.
" Yah,.... ummi balik lagi dah... padahal kemarin udah anteng, udah diem ya mas Yazid ? ", kata Zakly.
" Iya nih ummi... habis abi sudah pulang sih...", timpal Yazid.
" Iya,... balik lagi deh berisiknya ", tambah Zakly.
" Zakly,... kog ngomong gitu sama umminya.. ", kataku.
" Afwan mi,.. becanda mi.... ", kata Zakly sambil memeluk bahuku.
" Hhmmm... udah ah,..pada terlambat lho nanti... ".
" Assalamu'alaikum....", kata mereka berbarengan.
" Wa'alaikumussalam...".

Aku antar mereka sampai depan rumah. Sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi di teras depan, aku termenung,....alhamdulillah aku bahagia ya Allah atas segala nikmat-Mu. Lindungilah mereka Ya Allah, tuntunlah selalu langkah-langkah mereka, penuhilah hati dan cinta mereka hanya dengan iman dan takwa kepada-Mu semata....

Rabbanaa hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrota
'ayun waj'alnaa lil muttaqiina imaama...
Amiin Ya Rabbal 'aalamiin....


24 DZULHIJJAH 1416 H
--by US--
( buat AS,... Jazakallahu khoiron katsiro
untuk dry cleaning-nya tiap hari :-) )

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Selamat Datang - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger