Showing posts with label Journey To islam. Show all posts
Showing posts with label Journey To islam. Show all posts

Ketika Pelatih Sepakbola Asal Prancis Memilih Masuk Islam

Untuk sebagian orang yang menjadi Mualaf, kadang butuh waktu untuk membuka jati dirinya sebagai seorang Muslim yang baru saja mengucapakan dua kalimat syahadat. Begitulah yang dialami pasangan suami isteri Phillipe dan Dominique Troussier.

Di Maroko keislaman Phillipe Troussier menjadi berita yang menarik bagi banyak orang, karena Phillipe termasuk salah satu tokoh yang dikenal luas masyarakat Maroko, terutama pecinta olahraga sepakbola. Karena Phillipe adalah seorang pelatih tim sepakbola level internasional dan pernah melatih tim sepakbola nasional Maroko.

Karena merasa tidak nyaman dengan pemberitaan yang luas tentang keislamannya, Phillipe dan isterinya memberikan keterangan resmi bahwa mereka berdua memang sudang masuk Islam, seperti dilansir kantor berita MAP. Phillipe memilih nama Islam, Omar sedangkan Dominique, istrinya memilih nama Islam Amina.

Phillipe yang kini berusia 53 tahun, masuk Islam pada tahun 2006. Ketika itu ia mengatakan,"Saya masuk Islam, untuk mengharmonikan keyakinan saya dengan negara dimana saya tinggal sekarang. Saya mencintai negara Maroko dan Maroko juga mencintai saya. Ini merupakan keputusan tentang cinta dan rasa hormat."

Sebelum melatih tim nasional Maroko, Phillipe pernah melatih tim sepakbola nasional Afrika Selatan untuk menghadi World Cup tahun 1998 dan tim sepakbola nasional Jepan menjelang World Cups tahun 2002.

Acara syukuran kecil-kecilan setelah pasangan asal Prancis itu mengucapkan syahadat di gelar di kota Rabat, kota tempat mereka tinggal. Phillipe dan Dominique mengikrarkan diri masuk Islam dengan disaksi dua orang saksi.

Bagi teman-teman dekat Phillip dan Dominique berita masuk Islam kedua pasangan itu bukan hal yang mengejutkan. Mereka tahu, selama ini Phillipe punya perhatian khusus terhadap agama Islam. Meski Phillipe merasa harus menyembunyikan dulu jati dirinya sebagai Muslim.

Dalam keterangan pers, Phillipe mengaku tidak nyaman dengan pemberitaan yang beredar, tentang keputusannya masuk Islam. "Informasi itu menyebar seperti desas-desus, saya pikir salah satu sahabat saya yang telah membocorkan informasi ini," kata Phillipe.

Namun Phillipe dan Domonique dalam wawancara dengan surat kabar berbahasa Prancis L'Opnion mengungkapkan, peristiwa ketika mereka mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan momen yang istimewa dan menggetarkan.

Kedua pasangan mualaf itu mengangkat dua anak Maroko, yang mereka asuh dan mereka didik. Sebuah surat kabar Maroko menulis laporannya tentang keislaman Phillipe dengan kalimat,"Sebagai Muslim, kami bahagia melihat seorang tokoh terkenal dan memiliki pribadi kuat seperti Phillipe Troussier menjadi bagian dari agama yang mengajarkan toleransi dan perdamaian.

"Selamat datang Omar dan Amina, di Kerajaan Yang Maha Kuat, Kerajaan Kebanaran," tulis harian itu. (ln/iol)

Yahudi AS, Pindah ke Israel dan Masuk Islam

Pada tahun 1998, Joseph Cohen seorang Yahudi Ortodoks kelahiran AS hijrah ke Israel karena keyakinannya yang sangat kuat pada ajaran Yudaisme. Ia kemudian tinggal di pemukiman Yahudi Gush Qatif di Gaza (Israel mundur dari wilayah Jalur Gaza pada tahun 2005).
Cohen tak pernah mengira bahwa kepindahannya ke Israel justru membawanya pada cahaya Islam. Setelah tiga tahun menetap di Gaza, Cohen memutuskan untuk menjadi seorang Muslim setelah ia bertemu dengan seorang syaikh asal Uni Emirat Arab dan berdiskusi tentang teologi dengan syaikh tersebut lewat internet. Setelah masuk Islam, Cohen mengganti namanya dengan nama Islam Yousef al-Khattab.

Tak lama setelah ia mengucapkan syahadat, istri dan empat anak Yousef mengikuti jejaknya menjadi Muslim. Sekarang, Yousef al-Khattab aktif berdakwah di kalangan orang-orang Yahudi, meski ia sendiri tidak diakui lagi oleh keluarganya yang tidak suka melihatnya masuk Islam.

"Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan keluarga saya. Kita tidak boleh memutuskan hubungan kekeluargaan, tapi pihak keluarga saya adalah Yahudi dengan entitas ke-Yahudi-annya. Kami tidak punya pilihan lain, selain memutuskan kontak untuk saat ini. Kata-kata terakhir yang mereka lontarkan pada saya, mereka bilang saya barbar," tutur Yousef tentang hubungan dengan keluarganya sekarang.

Ia mengakui, berdakwah tentang Islam di kalangan orang-orang Yahudi bukan pekerjaan yang mudah. Menurutnya, yang pertama kali harus dilakukan dalam mengenalkan Islam adalah, bahwa hanya ada satu manhaj dalam Islam yaitu manhaj yang dibawa oleh Rasululullah saw yang kemudian diteruskan oleh para sahabat-sahabat dan penerusnya hingga sekarang.

"Cara yang paling baik untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama untuk semua umat manusia adalah dengan memberikan penjelasan berdasarkan ayat-ayat al-Quran dan yang membedakan antara umat manusia adalah ketaqwaannya pada Allah semata," ujar Yousef.

"Islam bukan agama yang rasis. Kita punya bukti-bukti yang sangat kuat, firman Allah dan perkataan Rasulullah saw. Kita berjuang bukan untuk membenci kaum kafir. Kita berjuang hanya demi Allah semata, untuk melawan mereka yang ingin membunuh kita, yang menjajah tanah air kita, yang menyebarkan kemungkaran dan menyebarkan ideologi Barat di negara kita, misalnya ideologi demokrasi," sambung Yousef.

Ia mengatakan bahwa dasar ajaran agama Yahudi sangat berbeda dengan Islam. Perbedaan utamanya dalam masalah tauhid. Agama Yahudi, kata Yousef percaya pada perantara dan perantara mereka adalah para rabbi. Orang-orang Yahudi berdoa lewat perantaraan rabbi-rabbi mereka.

"Yudaisme adalah kepercayaan yang berbasiskan pada manusia. Berbeda dengan Islam, agama yang berbasis pada al-Quran dan Sunnah. Dan keyakinan pada Islam tidak akan pernah berubah, di semua masjid di seluruh dunia al-Quran yang kita dengarkan adalah al-Quran yang sama," ujar Yousef.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Yahudisme di sisi lain berpatokan pada "tradisi oral" misalnya kitab Talmud yang disusun berdasarkan informasi dari mulut ke mulut yang kemudian dibukukan. Para rabbi sendiri, kata Yousef mengakui, bisa saja banyak hal yang sudah orang lupa sehingga keabsahan kitab tersebut bisa dipertanyakan.

Yousef mengungkapkan, kitab Taurat yang diyakini kaum Yahudi sekarang memiliki sebelas versi yang berbeda dan naskah-naskah Taurat itu bukan lagi naskah asli. "Alhamdulillah, Allah memberikan rahmat pada kita semua dengan agama yang mudah, di mana banyak orang yang bisa menghapal al-Quran dari generasi ke generasi. Allah memberkati kita semua dengan al-Quran," tukas Yousef. Meski demikian, ia meyakini dialog adalah cara terbaik dalam berdakwah terutama di kalangan Yahudi.

Ditanya tentang kelompok-kelompok Yahudi yang mengklaim anti-Zionis. Yousef menjawab bahwa secara pribadi maupun dari sisi religius, ia tidak percaya dengan Yahudi-Yahudi yang mengklaim anti-Zionis. "Dari sejarahnya saja, mereka adalah orang-orang yang selalu melanggar kesepakatan. Mereka membunuh para nabi, oleh sebab itu saya tidak pernah percaya pada mereka, meski Islam selalu menunjukkan sikap yang baik pada mereka," paparnya.

Yousef menegaskan bahwa pernyataannya itu bukan untuk membela orang-orang Palestina ataupun atas nama seorang Muslim. Pernyataan itu merupakan pendapat pribadinya. "Allah Maha Tahu," tandasnya.

Sebagai orang yang pernah tinggal di pemukiman Yahudi di wilayah Palestina, Yousef mengakui adanya diskriminasi yang dilakukan pemerintah Israel terhadap Muslim Palestina. Yousef sendiri pernah dipukul oleh tentara-tentara Israel meski tidak seburuk perlakuan tentara-tentara Zionis itu pada warga Palestina.

"Saya masih beruntung, penderitaan yang saya alami tidak seberat penderitaan saudara-saudara kita di Afghanistan yang berada dibawah penjajahan AS atau saudara-saudara kita yang berada di kamp penjara AS di Kuba (Guantanamo)," imbuhnya dengan rasa syukur.

Allah memberikan hidayah pada umatnya, kadang dengan cara yang tak terduga. Seperti yang dialami Cohen atau Yousef yang justru masuk Islam setelah pindah ke wilayah pendudukan Israel di Gaza. (ln/readingislam)

Michael Jackson Memeluk Islam

Bintang pop ternama dunia, Michael Jackson dikabarkan telah memeluk Islam dan berganti nama menjadi Mikaeel (Mikail), salah satu nama Malaikat yang dikenal dalam Islam

Hidayatullah.com—Bintang pop ternama Michael Jackson (50) telah menjadi seorang Muslim - dan berubah nama-nya menjadi Mikaeel (Mikail), salah satu nama malaika yang dikenal dalam Islam.

Jacko, demikian ia akrab disapa dikabarkan telah mengucapkan dua kalimat syahadat di sebuah rumah karibnya di Los Angeles. Sebagaimana dikutip The Sun, kakak penyanyi Janet Jackson ini beralih menjadi Muslim dalam sebuah acara kecil yang dihadiri seorang imam.

Sebuah sumber menyebut, Jacko mengucapkan syahadat di sebuah studio kecil di rumah sahabat karibnya dalam reekaman album baru.

“Mereka mulai membicarakan mengenai kepercayaan yang dianutnya (Islam), dan mengatakan bagaimana kehidupan mereka menjadi baik setelah menganut agama barunya itu. Setelah itu Michael merasa tersentuh dengan ide masuk Islam,” kata seorang sumber Jumat (21/11).

Sebagaimana diberitakan, Jacho sebelumnya menolak menggunakan nama baru Mustafa. Ia justru lebih memilih nama Mikaeel (Mikail).

Michael Jackson telah mengalami pengembaraan ruhani yang cukup lama setelah kehidupannya banyak didera masalah. Sebelum ini, ia bahkan dikabarkan telah akrab dan dekat dengan jamaah Nation of Islam pimpinan Louis Farrakhan.

Banyaknya permasalahan berat yang dialami Jacko, membuat saudara Jermaine Jackson, pernah meminta agar artis yang selalu kontroversial ini memilih Islam sebagai pelindung. Jermaine pernah mengusulkan agar Jacko pergi ke negeri Islam di mana orang shalat 5 kali sehari. Nampaknya, Michael Jackson memikirkan masalah itu. [thesun/ntpost/cha/www.hidayatullah.com]

Terpikat Suara Azan, Tatiana Pilih Islam

Gadis asal Slowakia itu terbuka hatinya kepada Islam selepas mendengar suara azan kala berkunjung ke Kairo, Mesir. “Ketika mendengar suara azan, jujur saja, saya merasakan getaran-getaran aneh dalam hati. Ketika itu saya seakan terhipnotis dan tak mendengar suara lain kecuali suara yang berkumandang melalui menara mesjid itu,” akunya. Sekembalinya ke Slowakia dia memperdalam Islam dengan dibantu Muslimah di sana . Bahkan internet juga sangat membantunya dalam mengenal Islam. Alhasil, dia pun memeluk Islam dan kini menjalani hari-hari yang dikatakannya sebagai begitu indah dan nikmat terasa. Itulah Tatiana Fatimah, yang kami rangkum dari beberapa situs.

“Sejuta kata-kata tak cukup untuk mengekspresikan bagaimana kecintaan saya kepada Allah. Inilah yang saya rasakan saat ini. Islam ibarat darah yang mengalir di sekujur tubuh hingga ke ujung jari saya. Ketika bercakap-cakap dengan Allah di dalam shalat, sangat indah,” kata Tatiana.(watch the miracle of Adzan )

“Saya berterima kasih kepada Allah SWT atas hadiah yang sangat berharga ini, yakni menjadikan saya sebagai seorang Muslim. Sepanjang hidup kini hanya untuk memuji dan mensyukuri nikmat-Nya,” kata dia lagi.

Suka traveling
Sebelum seperti sekarang, perjalanan Tatiana menuju Islam cukup sederhana dan tidak melewati jalan yang rumit. Kadang dia mengaku sering tersenyum sendiri jika ingat perkenalan pertamanya dengan Islam. “Traveling adalah kesukaan saya. Kami sering bepergian sekeluarga dengan berkunjung ke berbagai negara. Negara-negara Muslim telah banyak pula jadi tempat liburan kami,“ akunya.

“Mesir merupakan negara terakhir yang pernah kami kunjungi. Budaya dan segala rupa keunikan masyarakatnya sangat berkesan di hati,“ kenangnya. Di sana pula pertama kali Tatiana bersentuhan secara dekat dengan mesjid. Namun waktu ke sana dia belum sempat masuk ke dalamnya. “Waktu itu saya mengira, karena bukan Muslim, dilarang masuk ke dalam mesjid,“ katanya.

“Tapi jujur saya katakan, ketika mendengar suara azan, saya merasakan getaran-getaran aneh dalam hati,“ aku dia. Ketika itu Tatiana seakan terhipnotis dan tak mendengar suara lain kecuali suara yang berkumandang melalui menara mesjid. Dia benar-benar terpikat dengan suara azan. “Yang lebih berkesan lagi adalah tatkala melihat orang-orang yang berkumpul di dalam mesjid, penuh dengan kesan kesatuan dan kasih sayang dikala mendirikan shalat. Hal itu hingga kini masih sangat berbekas dalam ingatan saya,“ katanya lagi.

Tertarik bahasa Arab
“Oya saat itu saya tidak banyak tahu tentang Islam. Sama sekali nol. Berbanding terbalik dengan apa yang telah saya ketahui hari ini,“ kata dia. Tatiana masih ingat, waktu ketika kembali dari Kairo, dia sangat tertarik sekali belajar bahasa Arab. “Secara tiba-tiba bahasa Arab menjadi salah satu bahasa yang paling indah di dunia,“ tukasnya. Sayangnya di kota tempat Tatiana tinggal tidak ada kursus yang menyelenggarakan bahasa Arab. Kala itu cuma ada bahasa Inggris dan Jerman.

Pernah pihak sekolah berencana membuka kelas bahasa Arab. Tapi dibatalkan. “Waktu itu mau masuk puasa Ramadhan. Rupanya sang guru yang berasal dari Arab, mau pulang liburan ke kampung halamannya. Makanya dibatalkan. Tentu saja saya kecewa berat,“ sambung Tatiana.

Beberapa lama dia vakum dari mempelajari bahasa Arab. Namun dia mengaku memang sangat “haus” untuk mempelajari Islam dan bahasa Arab secara lebih mendalam. “Tak lama saya mulai belajar Islam lagi, secara perlahan. Mulai dari awal sekali. Belajar melalui internet. Berbagai website tentang Islam saya telusuri. Begitu juga semua chanel di TV yang menyajikan acara tentang Islam dan Muslim tak pernah saya lewati,” tuturnya. Dia juga ikut sebuah forum khusus untuk wanita via internet. Ya melalui internet Tatiana banyak belajar Islam.

Ikut kelas Al-Quran
Ada juga beberapa warga Muslim Slowakia yang membantunya dalam memahami Islam. Pernah satu ketika seorang Muslimah asal Kosice memberitahukan akan ada kelas bahasa Arab dan Alquran. Kosice merupakan sebuah region di Slowakia yang memiliki luas wilayah 6.753 km² dan populasi penduduk 766.012 jiwa. “Muslimah itu cukup saya kenal wajahnya sebab sering tampil di acara talk show menceritakan tentang Islam dan Muslim,” kenangnya.

“Saya tentu saja tak menyia-nyiakan kesempatan itu dan segera mengirim email kepadanya memberitahukan keikutsertaan saya. Kami ketemu sepekan kemudian. Bukan main. Orangnya sangat ramah dan santun sekali. Wajahnya memancarkan kedamaian,” aku Tatiana lagi.

Satu sifat Tatiana, yakni dia selalu berprasangka baik terhadap orang lain. Jadi tak sulit baginya untuk belajar sesuatu yang baru. Tak ada rasa takut tentang die\sebut teroris, misalnya. “Saya belajar dari siapa saja. Saya hadir bersama rekan Muslimah tersebut ke kelas bahasa Arab. Tak berapa lama saya punya banyak kenalan baru. Saya hadir secara rutin dan sangat menikmati kelas Alquran,” katanya. Ketika itu dia belum masuk Islam lagi, namun tak menghalanginya untuk belajar Quran. Semua yang ada di kelas sangat respek dan membantu setiap kesulitan yang dihadapinya.

Selepas beberapa bulan kemudian kelas bahasa Arab berakhir. Tapi keakraban di antara mereka telah terjalin begitu kental. “Kami sering bertemu. Bahkan sering kami diskusi berjam-jam lamanya. Bagi saya hal itu sangat membantu untuk mengenal kehidupan Islam lebih dalam,” imbuh dia.

Waktu itu Tatiana masih ragu-ragu, antara masuk Islam dan tidak. “Saya masih menghadapi dilema soal itu. Tapi batin saya mengatakan itu bukan hal krusial. Yang paling penting sekarang adalah belajar mengenal dan mencintai Tuhan (Allah).

Saya bertanya kepada kawan-kawan Muslimah lainnya, kapan waktu yang tepat (untuk masuk Islam). Mereka secara diplomatis menjawab bahwa tanda itu nanti akan datang dengan sendirinya. Mereka menyebutnya dengan hidayah Allah.”

Keluarga Tatiana berlatar belakang Kristen Katolik. Namun dia mengaku tak ada seorang pun yang membimbingnya belajar agama. Praktis sejak kecil dia tak menganut agama apapun. “Ibu memberikan kebebasan bagi saya untuk memilih keyakinan. Dia tak memaksa. Semua terserah saya. Keluarga saya bahkan tak pernah pergi ke gereja,” katanya berterus terang Namun Tatiana mengaku, di antara anggota keluarga yang lain dialah yang lebih “alim”. “Saya merasa Tuhan itu ada dan dekat sekali.”

Waktu berlalu dan semuanya berjalan biasa saja, tak ada kejutan yang berarti. Saban hari Tatiana berdoa supaya Tuhan beri petunjuk kepadanya untuk jadi seorang Muslim.

Debar aneh
Pas musim panas Tatiana menghabiskan waktu liburannya di rumah nenek. Selepas liburan dan kembali ke rumah dia merasakan sesuatu yang lain dalam hati. Sesuatu yang amat “spesial“ itu hadir secara tiba-tiba. Spontan Tatiana teringat dengan kata-kata teman Muslimahnya:”Satu saat kamu akan dapatkan petunjuk dari-Nya.“

“Entah mengapa saya persis seorang anak kecil yang baru mendapatkan sesuatu. Mendadak saya merasakan gairah yang hebat untuk segera menjadi seorang Muslim. Tuhan serasa membimbing saya,” aku dia. Tatiana benar-benar ingin segera dekat dengan Yang Kuasa.

Dia percaya kebenaran telah datang. Allah telah kirimkan kepadanya. Tekad Tatiana sudah bulat. Dia tidak ragu-ragu lagi untuk memeluk Islam. “Saya yakin pilihan saya benar adanya. Jika Anda tanya kenapa, saya tak mampu menjawabnya. Tapi saya yakin dengan sinyal ini,” tukas Tatiana.

Bersyahadah
Tatiana memberitahukan rekan Muslimah yang pertama kali membimbingnya. “Tak berapa lama saya pun bersyahadah. Rekan-rekan memeluk saya dengan penuh kasih sayang. Saya merasa seperti “orang baru” di dunia ini. Seperti dilahirkan kembali. Menurut Alquran semua dosa-dosa masa lalu dihapuskan. Bak kain putih, tak ada noda lagi. Saya sudah siap untuk menjalani kehidupan baru ini,” kenangnya.

Pada awal keislaman, dia semakin banyak bertanya terutama hal-hal yang prinsipil dalam Islam. “Saya ingin tahu apa saja, dari nol. Jujur saja, keinginan untuk belajar sangat menggelegak ketika itu. Islam benar-benar telah “membangunkan” kehidupan baru bagi saya. Saya inginnya mendapat semua informasi, dari hukum-hukum hingga sejarah Islam dan bermaksud meneruskannya ke koleganya yang lain,” kata dia penuh obsesi.

“Contekan” shalat
“Oya usaha pertama saya untuk shalat sangat amatiran sekali. Tapi semuanya benar-benar keluar dari hati, bukan paksaan,” kenang dia. Ketika baru pertamakali belajar, dia menulis semua tatacara shalat di secarik kertas. Begitu juga dengan ayat Alquran, ditulisnya di secarik kertas. Jadi dia membaca “contekan“ di kertas tersebut sembari shalat. Bukan main. “Tahu tidak, sekitar tiga minggu kemudian saya sudah bisa mengerjakan shalat tanpa bantuan kertas itu lagi,” ujarnya senang.

“Saya selalu berdoa kepada Allah agar dimudahkan dalam belajar Islam,” tukasnya. “Islam agama yang sangat indah, “ kata dia lagi.

Di akhir penuturannya, dia berharap dapat terus dekat dengan Allah dan melakukan segala hal semata-mata karena perintah-Nya. “Menghindari larangannya, lalu memperlihatkan dan memberi contoh budi pekerti yang baik kepada orang lain. Hanya dengan cara itu kita bisa tunjukkan Islam yang sebenarnya,” tutupnya. [Zulkarnain Jalil/hidayatullah.com]

Islam pilihan terakhir Aquil

Oleh : Al Shahida
Tatkala kecil ia dimasukkan ke 'Sunday School'. Tapi ia berhenti karena bosan. Mencoba menjadi pengunjung gereja Anglikan, lagi-lagi ia kecewa. Lalu mencoba dengan Kristen spiritual, di situ ia tadak menemukan apa apa. Aquil mencoba mengikuti ritual Budha, secara fisik ia merasakan goncangan namun jiwanya masih merasa kosong. Lewat kebaikan Ibraim teman sekerjanya, serta melalui research dan dari bacaan literatur ISLAM, akhirnya Aquil menemukan Islam sebagai pilihan terakhir.

"Bulan Suci Ramadhan adalah sesuatu yang ingin saya alami sebelum saya memutuskan memeluk agama Islam” ujarnya. Ia mengatakannya di acara buka bersama.

"Sis ini titipan dari Lina, lumayan buat buka puasa," Aquil menyerahkan satu baki penganan manis. "Istri saya mengalah, tinggal di rumah, nemani anak kami berbuka puasa," begitu Aquil mengatakan.

Saya tanyakan bagaimana rasanya menjalankan ibadah shaum. "Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan yang kelima, insya Allah," ujarnya dengan rasa bangga dan bahagia. Aquil, adalah bule Inggris yang hadir pada acara buka bersama di pengajian di Islington London Timur.

Sambil menunggu teman-teman pengajian lainnya, ia lanjut bercerita bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang selalu ia nantikan dan ia ingin melakukan shaum, dan ia sangat menikmatinya, tambahnya lagi. Ternyata ia telah melakukan 2 kali puasa pada 2 ramadhan walau ia belum memeluk agama Islam.

"Saya melakukan shaum dua kali sebelum saya mengikarkan syahadat pada tanggal 2 Juli 2003. Jadi saya sudah melakukan shaum dan saya merasakan dan tahu seperti apa indahnya berpuasa," tambahnya.

"Bagaimana kamu bisa melakukan puasa sedang kamu engga biasa melakukannya?"

"Bila seseorang ingin mengerjakan sesuatu dengan keyakinan dan penuh semangat, maka apapun bisa terjadi. Saya sangat menanti bulan suci ramadhan. “If one wants to do something with conviction and true spirit, then anything is possible and I look forward to the Holy month each year," jawabnya.

"Saya telah mendapatkan banyak pelajaran dari bulan ini. Ramadhan telah banyak memberi barakah berupa kabahagiaan yang sukar digambarkan," tambahnya.

Aquil mengatakan bahwa baginya Islam telah membuatnya bisa memaknai dan arti hidup yang sesungguhnya. "KeIslaman saya bertambah meningkat dan telah banyak memberi manfaat buat diri saya baik secara fisik dan mental' tambahnya begitu yakin."

Hingga hari ini Aquil masih meyembunyikan nama aslinya. Pria yang bekerja di perusahaan kereta bawah tanah atau London Underground sering meminta tak menertawakan perihal pekerjaannya.

"Please don't lough sister…" pintanya.

Padahal sering saya tersenyum mendengar permintaannya. Apa salahnya bekerja di London Underground?

Perbincangan kian menarik dengannya kala itu.

"Tapi memang repot dan berat ya sis, di saat kita memutuskan untuk pindah agama. Saya betul betul dihantui oleh perasaan takut. Takut kehilangan keluarga dan saudara, teman dekat.

Apa yang bakal terjadi kalau saya pindah agama, apa kata teman-temanku..? Hal ini terus menggelayut dikepala saya, sis. Ada rasa bingung dan ragu. Tapi lantas saya menyadari…kenapa kita sibuk dan repot memikirkan apa kata orang ? Seakan kita cuma mau menyenangkan dan mencari ridho manusia, kalau begitu saya belum yakin. Ah, saya kira itu wajar karena kehidupan kita berada dilingkungan manusia."

Itulah hal-hal sekelumit keluhannya. Namun, sampai hari ini, brother Aquil, begitu saya sering memanggilnya terus mempelajari Islam baik lewat bacaan, diskusi dengan teman Muslimnya sampai suatu hari ia memutuskan untuk bersyahadat.

Dan memang benar. Setelah ia memeluk Islam, banyak teman-teman dekatnya menjauhkan diri.

"Saya memang kehilangan teman dan sahabat setelah saya nyatakan bahwa saya masuk Islam. Saya sempat bersedih, namun tidak lama. Ada pepatah mengatakan "Yang pergi dan datang silih berganti". Teman dan sahabatku memang pergi meninggalkan saya. Namun Allah maha Adil dan Pengasih yang pergi tergantikan oleh yang terbaik. Ini terbuktikan. Ternyata teman dan sahabat Muslim saya jauh lebih baik. Persahabatan dan kebaikan mereka murni karena Allah, bukan karena kepentingan lainnya," ujarnya.

Percakapan kami terputus karena teman-teman pengajian mulai berdatangan dan pengajianpun dimulai. Mereka semua duduk bersimpuh, di ruang yang begitu sempit. Duduk berdesakan. Kadang antar kaki beradu, saat mereka ingin meregangkan kaki mereka. Maklum mereka belum terbiasa duduk berlama-lama dilantai . Aquil berjanji untuk melanjutkan cerita dan perjalanannya menuju Islam.

Pra Islam
Aquil dulunya bekerja di Angkatan Udara Britania atau Royal Air Force. Salah satu koleganya kala itu adalah Muslim. Ia cukup dekat dan akrab. Mereke sering terlibat banyak diskusi dan perdebatan politik atau kejadian-kejadian terkini. Bahkan terlibat diskusi tentang agama.

"Di sinilah saya berkenalan dengan agama Islam, saya tidak tahu dan berfikir kalau agama ini akan memberikan banyak pengaruh besar pada kehidupan saya, " kenangnya.

Kala itu, ia sedang mengambil diploma kursus councelling di mana diantara peserta adalah dua Muslimah. Salah satu diantara mereka mengenakan jilbab dan satunya lagi tidak. Saat itu Aquil begitu sinis dan tidak suka melihat perempuan berjilbab.

Aquil dibesarkan dengan tradisi Kristen yang kental. Sejak kecil ia diwajibkan sekolah mingguan pada hari Minggu (semacam Madrasah untuk Islam) oleh bapak dan ibunya.

Tapi itu hanya berjalan sebentar. Ia mengaku tidak mendapatkan manfaat apa-apa dan merasa bosan. Sejak itu ia behenti.

Kondisi ini terus berjalan sampai besar. Di saat sudah bekerja di Angkatan Udara ia merasa tak pernah nyaman datang ke gereja.

"Kunjungan saya yang terakhir ke gereja adalah saaat saya ditempatkan di RAF Beson di Oxfordshire."

Pastur yang kebetulan berkulit putih kala itu, membuat sebuah selorohan (gurau) kepada para jemaah yang kebetulan sudah jelas tidak berkulit putih. Ia merasa betul-betul menjijikan. Sejak itu saya tidak pernah lagi kesana. Kapok!.

Sampai suatu hari, sang pastur bertanya kepadanya kenapa ia jarang terlihat ke gereja. "Saya pergi ke gereja lainnya, jawabnya. Ia berkesimpulan bahwa gereja itu bukan rumah Tuhan yang menghidupkan hati atau ruh dimana dirinya berharap bisa mendapatkan kedamaian dan ketenangan. Sejak insiden itu, ia malah datang ke gereja hanya untuk upacara perkawinan atau acara penguburan (funeral).

Dari gereja satu ke gereja lain. Itulah pekerjaannya. Ia akhirnya terlibat kelompok Kristen spiritual. Kunjungan pertamanya ke gereja itu dirasa sangat menakutkan.

"Saya ingat merasakan ketakutan yang luar biasa. Bayangkan saya sudah bisa jadi perantara, tukang tenung dan bahkan sudah bisa menyembuhkan orang sakit. Satu hal yang menarik pada kelompok ini adalah anggotanya boleh dari berbagai latar belakang, warna dan bahkan agama. Kira-kira begitu asumsi saya saat itu."

"Saya ingat betapa campur aduknya antara lagu-lagu pujian dan doa-doa Tuhan Kristus dan lainnya, bahkan ritual-ritual yang seakan kita berbicara dengan roh… saya bertambah frustrasi dengan acara-acara ritual yang mereka lakukan dibanding dengan gereja yang sebelumnya saya kunjungi."

Akhirnya ia keluar juga atas ketidaknyamanan itu. Sampailah suatu ketika ia aktif masuk Budha.

"Saya sempat duduk bersama mereka dan melakukan secara keseluruhan kegiatan ritual agama ini. Sangat menarik! Ritual-ritual itu telah menghadirkan getaran-getaran yang indah pada seluruh fisik saya namun hal ini tidak memberikan pengaruh apa-apa. Betul-betul tidak ada apa-apanya. Jujur saja hal itu betul- betul nonsen untuk pribadi saya."

Bulan Oktober 2000, ketika ia berkerja di London Underground di sanalah Aquil berjumpa dengan Ibrahim, yang kemudian menjadi mentornya. Ibrahim pula yang membimbingnya memulai dalam perjalanan Islam.

"Ah, terkadang saya senyum sendiri. Penuh penyesalan di kala saya mengenang masa lalu. Betapa jahiliyah nya saya dan rasa-rasanya tak ada satupun mahluk yang bisa menghentikan saya untuk menghentiakan kebiasaan minum alkohol yang membuat kita sangat tergantung dan kecanduan dengannya," katanya mengenang masa lalunya sebelum beralih pada Islam.

"Padahal saya tahu besoknya saya bakalan hangover (sakit kepala & mual karena minum alkohol berlebihan), tidak bisa bangun, makan dan mengerjakan sesuatu, tapi mengapa tidak pernah kapok dan saya lakukan kembali.

"Entahlah.. ternyata Allah bisa menghentikan semua ini. Dengan pelan pelan saya menghentikan kebiasan minum alkohol. Dimulai dengan mengurangi jumlah yang saya minum. Misalnya dari empat 4 pints (kurang dari ½ lt/1 gelas besar) saya kurangi menjadi 2 pints semalamnya dan akhirny saya berhenti secara total.

"Sebuah perubahan besar terjadi pada diri saya. Luar bisa memang dan saya merasakan perbedaannya. Saya sekarang jauh lebih fit baik secara fisik dan mental. Soal babi dan bacon, kebetulan saya sendiri dari dulunya tidak pernah suka dengan makanan jenis ini. Saya merasa mual setelah memakan makanan ini. Kalau saja saya tahu akan kebenaran pada waktu itu, maka tangan Allah-lah yang telah menunjukan jalan yang sangat penuh misteri untuk saya.

"Saya bersyukur ke khadirat Allah SWT .. kini saya telah resmi memeluk agama Islam setelah melewati jalan yang cukup berliku dan cukup lama.. begitulah Allah telah menakdirkan saya," ujar Aquil menyampaikan rasa syukurnya.

Dengan kebesaran Allah pula, ia kini diberi seorang istri, seorang muallaf, Lin, yang sebelumnya penganut Hindu.

"Kami berdua sama-sama baru dalam menjalankan agama Islam dan sama-sama diselimut oleh semangat yang menggelora serta gairah yang cukup tinggi dalam menjalani Islam sepenuhnya".

Lewat pengajian yang sangat saya cintai dari teman-teman Melayu baik yang Singpaore, Malaysia dan Indonesia dan lainnya, terasa sekali ukhuwah yang mendalam, rasa kebersamaan dan persaudaraan (brotherhood) yang ikhlas yang tidak pernah saya dapatkan dulu kini bisa saya dapatkan disini. Semua ini saya dapatkan hanya dalam Islam ini. Allah Maha Besar.

‘Saya, tak hentinya menyampaikan rasa syukur ke khadirat Ilahi yang telah menuntun dan memberikan jalan yang akhirnya saya temukan yakni Islam. Semoga Allah mengampuni semua dosa-dosa saya dimasa lalu. Entahlah, nikmat mana lagi yang hendak kami ingkari’. [hidayatullah.com]

Kisah Pemadat Bule Masuk Islam

Oleh Ihsan Tandjung
imageSeorang pemuda Kanada lahir dari sepasang suami isteri Kanada yang peduli dengan agama. Ketika menginjak usia sebelas tahun ia serius membandingkan berbagai agama yang ada karena ia merasa tidak puas dengan agama asalnya, yaitu Kristen. Semua agama ia pertanyakan, kecuali Islam. Ia samasekali tidak tertarik mempelajari Islam karena opininya begitudalam terformat bahwa Islam merupakan agama kegelapan. Menurutnya Islam merupakan agama para teroris sebagaimana yang selama ini dikesankan oleh media Barat pada umumnya.

Namun sayang, belum sampai ke penghujung perjalanan ruhaninya, keburu sebuah tragedi menimpa keluarganya. Ayah dan ibunya bercerai. Ayahnya pergi meninggalkan anak-isterinya. Sedangkan ibunya terperosok ke dalam lembah hitam narkoba. Dalam keadaan seperti itu si anak muda inipun terbawa menjadi seorang pemadat.

Awalnya ia hanya menjadi seorang pengguna. Namun dengan berjalannya waktu ia naik pangkat dan akhirnya menjadi pengedar di samping pengguna. Dan tidak lama kemudian ia bahkan menjadi salah seorang pimpinan jaringan narkoba papan atas di Kanada.

Saat ia mencapai karir tertingginya di dunia gelap jaringan narkoba, iapun tertangkap dan akhinya berurusan dengan polisi. Ia sempat masuk penjara selama empat tahun.

Setelah menjalani masa tahanannya, begitu keluar iapun segera mengunjungi salah satu pangkalan favorit tempat para pemadat biasa berkumpul. Maka mulailah iapun menikmati suasana ”fly” dengan narkobanya. Saat ia sedang sakau itulah ia duduk di samping seorang pemuda keturunan Maroko yang dilihatnya agak berbeda saat melinting rokoknya. Iapun bertanya: ”Anda berasal dari mana? Kok anda melinting rokok berbeda dengan kebanyakan orang di sini?” Pemuda itu menjawab: ”Inilah kebiasaan orang di negeri saya ketika melinting rokok.”
”Anda berasal dari mana?”
”Saya berasal dari Afrika Utara, dari Maroko. Itulah negeri nenek-moyang saya.”
”Kalau begitu anda seorang muslim ya?”
” Iya benar, saya seorang muslim dari Maroko.”

Maka sambil keduanya tenggelam dalam narkobanya masing-masing, mulailah keduanya terlibat dalam sebuah dialog panjang-lebar seputar agama Islam. Si pemuda Kanada menanyakan berbagai hal mengenai agama Islam, sementara si pemuda keturunan Maroko menjawab sebatas pengetahuannya. Ternyata dialog mereka berlangsung terus sampai keduanya kehabisan narkoba. Tanpa disadari keduanya telah ngobrol seputar Islam selama tidak kurang dua jam di tempat mangkalnya para pemadat.

imageTapi si pemuda Kanada masih belum puas. Masih banyak pertanyaan yang mengganjal. Sedangkan si pemuda Maroko sudah kehabisan pengetahuan yang ia miliki seputar Islam. Tiba-tiba datang pemuda ketiga yang ternyata berasal dari keturunan Aljazair ikut terlibat dalam perbincangan seputar Islam itu. Maka perbincangan seputar Islam dilanjutkan dengan narasumbernya beralih kepada si pemuda Aljazair. Namun pada saat-saat tertentu kadang terjadi perselisihan pendapat antara si pemuda Aljazair dengan si pemuda Maroko. Ini wajar. Karena dalam sejarah Islam bahkan perpedaan pendapat antara para ulama saja sering dijumpai, apalagi antara sesama orang awam ilmu agama. Sesi kedua ”seminar” berakhir dua jam berikutnya.

Ternyata bermula dari perbincangan soal Islam di pangkalan para pemadat, si pemuda Kanada alhasil memperoleh hidayah iman dan Islam. Iapun mengikrarkan dua kalimat syahadat.

Setelah beberapa tahun semenjak ia masuk Islam; dalam suatu kesempatan Muslim Youth Gathering si pemuda Kanada tadi menceritakan riwayat hidupnya kepada sesama peserta. Termasuk ia menceritakan soal pengalaman awalnya mendapat hidayah di pangkalan pemadat. Sewaktu ia sedang menceritakan pengalamannya salah seorang peserta berkomentar: ”Jelek sekali pemuda muslim Maroko dan Aljazair itu berada di tempat para pemadat yang terkutuk!”

Maka dengan suara tinggi si pemuda Kanada tersebut berkata: ”Saya tidak tahu di mana keberadaan dan bagaimana nasib kedua pemuda yang ngobrol dengan saya di pangkalan pemadat itu. Tapi suatu hal yang perlu Anda ketahui bahwa jika saat ini saya beramal sholeh atau beribadah; entah itu sholat atau puasa atau yang lainnya, maka kedua pemuda Maroko dan Aljazair tadi mendapat bagian dari pahala kebaikan yang saya kerjakan. Sebab merekalah yang telah berjasa pertama kali memberi hidayah iman dan Islam kepada saya.”

Demikianlah, betapa besarnya ganjaran berda’wah mengajak manusia ke jalan hidayah iman dan Islam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengajak kepada petunjuk maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang mengikutinya. Dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang yang mengikutinya.” (HR Muslim 13/164)

Itulah di antara rahasia mengapa dalam ajaran Islam kita diperintahkan untuk mendoakan sholawat dan salam bagi Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam sebab beliau adalah orang paling pertama yang berjasa menyebarkan hidayah iman-Islam ke tengah ummat manusia. Allahumma sholli wa sallim wa baarik ’ala Muhammadin wa ’ala aalihi wa ashabihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid-diin... (eramuslim)

Sarah Joseph, “Berjihad” Melalui Media Massa

Awalnya, Sarah Joseph adalah penganut Katolik Roma kuat. Gara-gara shalat, ia memeluk Islam. Kini, ia “berjihad’ membela “Islam” melalui media massa.

Sarah Joseph (36) adalah muallaf asli Inggris yang masuk Islam di usia 16 tahun. Jurnalis produktif ini selepas memeluk Islam rajin memberikan kuliah tentang Islam di Inggris dan mancanegara. Kini, di tengah imej negatif Islam di dunia Barat, dia berjuang membangun citra positif Islam melalui media. Salah satunya dengan menerbitkan majalah Emel, sebuah majalah khas yang mengupas seputar gaya hidup Islam. Emel bisa disebut satu-satunya majalah berwarna Islam yang terbit di dataran Britania Raya. Dalam sebuah wawancara dengan harian The Guardian yang terbit di London, Sarah yang dulunya menganut paham Katolik, memprediksi Islam akan punya peran besar ke depan dalam memecahkan berbagai permasalahan dunia. Dia juga banyak bertutur bagaimana seharusnya seorang Muslim yang bermukim di negara Barat berperilaku.

Berikut penuturan ibu tiga anak yang pernah mendapat OBE Awards tahun 2004 (untuk aktifitasnya dalam membangun dialog antar umat beragama) disadur dari beberapa wawancaranya dengan media Inggris.

“Saya hidup selama 16 tahun tanpa Islam. Jadi manusia biasa, menjadi seorang wanita, seorang ibu, dan editor di London. Semua hal itu telah membentuk saya menjadi seorang pribadi yang luwes. Akan tetapi peran saya sebagai seorang ibu terbentuk saat menjadi Muslim,” kata Sarah Joseph. Dikatakannya, seorang Muslim punya hak-hak individu sendiri, ada persyaratan-persyaratan tertentu. Sebagaimana individu lain juga punya hal yang sama tanpa memperhatikan apakah dia Islam atau bukan. Namun dengan menjadi seorang Muslim, seseorang itu akan terbentuk menjadi pribadi yang menghargai hak individu orang lain.

“Saya orang Inggris dan berpikir seperti kebanyakan orang Barat lainnya. Saat saya berkunjung ke negara Islam saya jadi paham aspek-aspek orang Islam, namun saya tidak mau turut campur dengan adat kebiasaan setempat,” imbuhnya. Sarah mengatakan menjadi anggota di dua komunitas berbeda (Inggris dan Islam) memang sulit. Namun dia punya kewajiban untuk menjelaskan tentang Islam sebenarnya. “Saya punya perasaan yang maha dahsyat kala berbicara dengan mereka. Berbicara dari hati ke hati satu sama lain. Saya berikan hidup ini hanya untuk menjadi jembatan diantara dua komunitas ini,” katanya.


emel’s staff, from left: Sarah Joseph, editor; Ruh al-Alam, designer; Mahmud al-Rashid, publisher; Omair Barkatulla, senior designer; Rajul Islam Ali, art director.
EMEL, the muslim lifestyle magazine

Menerbitkan majalah Islam

Emel: A Muslim Lifestyle Magazine
"Jadi, saya kira, Muslim Inggris dan di Barat umumnya, harus menemukan jawaban atas apa yang terjadi saat ini. Harus jadi jembatan antara dua dunia itu. Kita-kita yang lahir disini dan besar dalam masyarakat Inggris, memiliki tanggungjawab untuk menjelaskan Islam pada kalangan Barat. Saya melihat Islam punya kapasitas memberikan yang terbaik. Syaratnya mereka (Barat-red) harus memulainya dengan melihat Islam sebagai bagian dari solusi dan bukan bagian dari masalah yang harus dijauhi,” kata dia.

Wanita London itu menempuh pintu lain dalam menerjemahkan Islam untuk dunia Barat. Dia meluncurkan sebuah majalah gaya hidup Islam dan salah satu targetnya adalah pembaca non Muslim. Majalah itu, awalnya, dibiayai dari tabungannya sendiri. Kini mulai dikenal khalayak dan bersanding dengan majalah-majalah terkenal lainnya di toko-toko buku.


"Islamophobia is a growing phenomenon in society but we are looking to redress the balance."
Emel, nama majalah itu. Berasal dari dua huruf M dan L sebagai singkatan dari Muslim Life. Rubrik-rubriknya menampilkan gaya hidup Islam menyangkut fashion, desain interior, finance, entrepreneur, kesehatan, makanan, hingga kisah perjalanan. Lalu ada juga rubrik berkebun dan feature tentang penemuan-penemuan ilmuwan Muslim di masa lampau. Semuanya dikemas secara populer dengan menampilkan sisi Islam yang selama ini terlupakan ditengah arus islamofobia dan isu terorisme.

Emel pertama kali diterbitkan tahun 2003 dan hanya ada di toko-toko buku yang khusus menjual buku-buku Islam saja. Namun dalam perkembangannya ternyata non Muslim pun menyukai majalah itu. Sehingga sejak September 2005 distribusinya mulai diperluas untuk umum. Catatan Wikipedia, kini Emel memiliki sirkulasi di 30 negara. Majalah ini juga bisa diakses di internet ( www.emelmagazine.com )

“Hari ini berita-berita tentang Islam identik dengan pembunuhan, penganiayaan, dan sejenisnya. Kami ingin tampilkan sesuatu yang lain. Hal-hal normal yang berlaku dalam Islam, yang tak banyak diangkat. Kami tujukan majalah ini utamanya bagi kalangan muda,” kata Sarah bersemangat. Sarah berupaya mempresentasikan Islam yang sebenarnya, dengan menonjolkan kontribusi yang telah mereka buat, terutama untuk membangun opini masyarakat Inggris. Dengan sentuhan layout yang menarik, pesan-pesan Islam dapat dipahami secara luas tanpa dogma-dogma agama atau bumbu politik.

“Dalam majalah ini seorang Muslim digambarkan, misalnya, mengenakan pakaian seperti ini, lalu makan makanan yang seperti itu. Kami menawarkan jendela masuk ke komunitas Islam, jauh dari sekadar ungkapan-ungkapan berbau klise,” tambahnya.

Mulai dengan modal kecil
“Seorang wartawan BBC mengira kami punya modal hingga 5 juta Poundsterling. Saya tertawa. Kami mulai dengan modal awal 20 ribu Poundsterling,” jelas Sarah.

“Ada yang tanya, dengan meningkatnya perasaan takut akan Islam, inikah saatnya untuk pembaca non Muslim? Kami musti bilang, “mari turunkan kepala kita.” Jika masing-masing kita masih tetap membuat kubu sendiri, maka permusuhan itu tak akan pernah hilang,” katanya.

Sarah yang pernah mendapat undangan Toni Blair (mantan PM Inggris) itu ingin menunjukkan sesuatu yang lain. Bahwa Islam bukan hanya ibadah shalat atau politik. Tapi Islam juga mengatur gaya hidup.

Dulu banyak yang tidak tahu bagaimana konsep hidup seorang Muslim. Namun kini perlahan mulai jelas setelah majalah ini diluncurkan. Emel berhasil merebut pasar yang belum banyak dimanfaatkan media lain dan meruntuhkan imej buruk sebagian kalangan yang benci Islam. Oplahnya kini lebih dari 20.000 eksemplar dan memiliki 3000 pelanggan tetap. Sarah giat membantu pengembangan ide dengan meramu Islam masa kini dan masa lalu serta mengajak pembaca Muslim memberikan kontribusi mereka. Majalah yang bermarkas di Whitechapel, timur London itu memiliki enam orang staf dan beberapa relawan.

Imej Islam di Barat
"Muslim people do normal things, live normal lives." —Sarah JosephSarah sedikit risau melihat beberapa media yang dalam melaporkan hal ektrimis terlalu banyak menambah-nambahkan isi berita. "Jika kehidupan Islam diisolasi, ditakut-takuti, dikatakan tidak seorangpun mau berteman dengan mereka, maka ini tidak sehat bagi masyarakat kami.," kata dia.

“Anda tidak boleh memberi label “Islam Fundamentalis.” Cukup disebutkan saja mereka itu telah melenceng dari ajaran agamanya. Saya sangat tidak setuju sebagian kalangan yang menyebut Al-Quran secara aktif telah mendorong terjadinya serangan teror. Jika mereka katakan seperti itu, maka mereka itu sama saja dengan Al-Qaidah. Mereka menyanyikan lagu yang sama,” tandas Sarah lagi. Dalam pandangannya, Al-Qaidah dan yang sejenisnya menggunakan Islam dan Al-Quran untuk melegitimasi kekerasan secara cerdik.

Perilaku orang Islam

Sarah Joseph dalam protes bersama Inminds di London 17 Jan 04
“Jujur saja, perilaku sebagian Muslim kadang-kadang sangat tidak membantu merubah imej Islam di Barat. Kita perlu lebih sadar akan hal ini. Orang-orang memantau perilaku kita dan memberi penilaian tertentu. Ada sebuah survei tahun 2002 silam. Disebutkan 70 persen masyarakat Inggris tidak tahu apa-apa atau bahkan tidak peduli sama sekali apa itu Islam. Islam mereka pahami hanya berdasarkan informasi dari media saja. Celakanya media tidak menunjukkan Islam secara proporsional. Jadi, ini benar-benar tugas kita dan sekali lagi tergantung pada kita untuk mengubah opini tersebut. Tentunya dengan sikap dan perilaku Islami. Orang Islam musti proaktif menunjukkan hal-hal positif dalam Islam. Sangat banyak jalan untuk menunjukkan hal itu,” pintanya.

Dalam sebuah percakapan live di situs Islamonline, Sarah sempat ditanya apakah Barat tempat yang cocok bagi seorang Muslim untuk mempraktekkan keyakinannya di tengah kampanye sekuler. Dalam pandangannya, Allah SWT telah menciptakan dunia ini. Jadi, bagi Muslim, hidup dimana saja bisa dan mungkin.

”Barat punya isu sekularime, memang benar. Hal itu bisa menyerang agama dan moralitas kita. Benar. Tapi haruskah kita membiarkan kapal pergi menuju pulau yang damai sentosa (tanpa kita di dalamnya)? Para Nabi tidak pernah menyerah meskipun dicerca dan dihina. Kita tidak boleh menyerah. Patut kita tunjukkan bahwa Islam relevan dengan dunia ini. Karena itu kita perlu terus meningkatkan kualitas dakwah sehingga Islam mudah dipahami,” tegasnya.

Masuk Islam di usia muda
Sebelum kenal Islam Sarah adalah penganut paham Katolik Roma. Dia termasuk remaja yang aktif dalam berbagai kegiatan agama, sosial, dan politik. Agama waktu itu benar-benar muncul dari dalam hatinya hingga berpengaruh dalam aktifitas sosial kemasyarakatan. Keluarganya menganut paham liberal. Mereka justru tak peduli agama. Ibu Sarah sering berujar anaknya itu sangat agamis, meski masih sangat kecil.

Pada usia 13 tahun, abang kandung Sarah masuk Islam. Waktu itu karena alasan perkawinan. “Terang saja saya sangat benci dengan keputusannya. Waktu itu dia saya tuduh menjual keyakinan hanya karena wanita. Saya masih takut kala itu. Sebab Islam sangat asing, dan saya banyak membaca sisi negatif tentang Islam,” kisah Sarah.

“Prasangka buruk tentang Islam sulit hilang. Tapi saya tahu, perasaan takut itu karena saya belum tahu Islam yang sesungguhnya. Akhirnya saya putuskan untuk mencari informasi lebih jauh tentang Islam. Sungguh, saya benar-benar ingin tahu. Tak berapa lama setelah itu saya meninggalkan ajaran Katolik. Bukan karena saya tertarik dengan Islam. Namun lebih karena kecewa aturan Paus. Saya tidak dapat menerima aturan sentralistik yang berpusat di Roma,” lanjutnya.

”Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari Kristen. Namun belum memilih Islam. Waktu itu saya “kosong”. Saya masih berusaha mencari Tuhan. Dalam pencarian itu, Islamlah yang kemudian lebih dulu mengalir dalam hati saya. Islam menjawab semua pertanyaan saya. Terutama tentang Trinitas. Satu hal lagi, Al-Quran tidak mengalami perubahan sama sekali, lain dengan Bibel. Perlahan, saya menemukan jawaban tentang Islam yang telah mengendap sekian lama,” aku Sarah. Sarah masuk Islam di usia sangat belia yakni pada usia16 tahun.

Terkesan shalat
“Jujur saja, satu hal lagi yang membuat saya menerima Islam adalah saat melihat orang shalat. Kala mereka bersimpuh dalam sujud dengan penuh kerendahan diri. Saya kira inilah yang disebut “kepatuhan” atau ketundukan sebagai seorang hamba,” kenang Sarah.

Awalnya memang berat bagi Sarah. Perlu beberapa waktu untuk merealisasikan Islam dalam diri dan kehidupannya. Terutama membawanya ke dalam keluarga dan lingkungan sosial.

“Tapi lama-kelamaan, keluarga melihat saya tetap dapat berkontribusi untuk masyarakat kendati sebagai seorang Muslim. Hal itu bikin mereka gembira dan dapat menerima saya kembali,” sebutnya.

Pada kali pertama orangtuanya memang menolak rencana anaknya masuk Islam. Bahkan mereka mengucapkan kata “belangsungkawa” kala Sarah mulai mengenakan jilbab. Tapi dalam pandangan Sarah mengenakan jilbab merupakan sebuah pilihan.

“Keluarga saya menganut paham liberal. Begitupun mendengar saya masuk Islam mereka sangat menentang. Mereka menyangka saya akan jadi seseorang yang lain. Konon lagi saya mengenakan jilbab persis di awal-awal masuk Islam, mereka makin menentang. Jika saja saya tidak mengenakannya maka semuanya akan mudah. Tapi saya memang sangat ingin pakai jilbab. Saya benar-benar ingin jadi seorang Muslim. Perlu waktu beberapa tahun bagi keluarga saya untuk bisa paham hal ini. Tapi kini mereka sangat bahagia. Mereka senang dengan jalan hidup yang saya pilih dan ternyata itu bagus. Begitupun, sayangnya mereka belum menunjukkan sinyal untuk memeluk Islam,” ujar Sarah.

Menikah dengan pria Bangladesh
Mahmud al-RashidSarah JosephTahun 1992 Sarah menikah dengan Mahmud, seorang pria Inggris keturunan Bangladesh Mahmud bekerja sebagai pengacara. Orangtua Mahmud datang ke Inggris sekitar tahun 1960. Keluarga Sarah mulai menerimanya, karena penampilan Mahmud yang moderat. Kini pasangan itu telah dianugerahi tiga orang anak, Hasan (11), Sumayah (8), dan Amirah (5).

"Identitas saya sebagai seorang Muslim sangat jelas. Memiliki identitas seperti ini tidak berlawanan dengan kaedah umum dan saya dapat hidup secara plural dalam masyarakat yang toleran,” katanya tegas.

”Jika kita bilang Islam hanya tentang shalat dan politik, maka kita telah membuatnya jadi kering, cuma berisi aturan-aturan teologis. Tapi jika kita bisa tunjukkan, misalnya pada kawula muda (Islam) bahwa kebudayaan Islam juga telah ikut membangun Eropa, maka kita telah beritahukan bahwa mereka itu adalah pemegang amanah masa depan. Anak-anak muda Islam perlu tahu tentang itu.

“Hidup ini adalah ujian, arena untuk mensucikan jiwa dan sarana untuk menerima kasih sayang Allah. Islam bagi saya merupakan jalan termudah untuk berhubungan dengan Tuhan. Saya berpikir kita musti fokus kepada tujuan hidup daripada hanya sekedar menjalankan perintah atau ajaran agama saja,” katanya.

“Lihatlah Islam sebagai bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah yang harus dijauhi,” tambah Sarah. [Zulkarnain Jalil, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Kekaguman Katherine Wesley

Awalnya, ia hanya ingin meneliti Islam, khususnya fikih dan perbandingan hukum Islam. Tapi, ia mengaku “jatuh cinta” pada Islam

Oleh: Syamsi Ali *

Sejak dua bulan terakhir ini, the Forum for non/new Muslims membahas tafsir S. Al-Hujurat Al-Quran. Rupanya metode pembahasan dengan menjelaskan kata per kata cukup menarik bagi banyak peserta. Memang di antara peserta itu sudah ada yang pernah mengambil kursus bahasa Arab. Sehingga pembahasan ayat-ayat Al-Quran dengan pendekatan “kata per kata” dan mendalami makna ayat-ayatnya dengan mendalami makna dari setiap kata menjadi daya tarik tersendiri.

Hari pertama saja, ketika saya menjelaskan kata ‘aamanuu’ pada ayat “yaa aayuhalladzina aamanuu laa tuqaddimuu……dst”, mengambil waktu yang cukup panjang untuk menjelaskan semua makna yang terkait dengan kata itu. Dimulai dari kata “amina-ya’manu-amnun” yang berarti “aman”, hingga “aamana-yuuminu-I’maan wa amaanah” yang berarti “amanah” atau kepercayaan.

Duduk di salah satu sudut ruangan yang tidak terlalu luas itu, seorang gadis bule. Wajahnya putih bersih dan penuh senyum, tapi menampakkan sikap pemalu. Sesekali gadis itu menyelah seolah-olah membenarkan penjelasan saya, atau menguatkan argumentasi-argumentasi yang saya berikan.

Saya memang agak terkejut. Apalagi gadis ini belum saya kenal dengan baik. Maka, dalam sebuah sesi hari Sabtu itu saya Tanya, “may I ask you?”

“Yes sir!” jawabnya sopan.

“Do you speak Arabic?”, tanyaku.

“Oh no!”, katanya malu-malu. “But I took some course on Arabic”, lanjutnya.

"Di mana anda mengambil kursus Arab, dan bagaimana tingkat bahasa Arab mu?" tanyaku.

Dengan sedikit tertawa dia mengatakan, “Jujur saya malu mengatakannya. Saya baru pemula.”

“Saya juga pemula! Jawab saya sambil bercanda.

Menjelang akhir kelas, dua Sabtu lalu, Katherine, demikian dia mengenalkan diri, seperti ingin sekali mengatakan sesuatu tapi sepertinya sangat malu, atau sepertinya berat untuk disampaikan. Sesekali ingin mengatakan sesuatu, namun setiap kali saya pancing untuk berbicara, jawabannya “am..amm never mind!”, seperti gaya anak remaja yang cuwek.

Setelah kelas bubar, barulah Katherine mendekat dan meminta waktu untuk berbicara. Oleh karena waktu saya singkat, saya katakan, apakah dia perlu waktu panjang?

“Tidak, hanya perlu waktu anda beberapa menit saja,” katanya.

Saya kemudian meminta izin untuk menyelesaikan beberapa hal yang perlu saya selesaikan. Beberapa saat kemudian saya memintanya untuk masuk ke ‘conference room’. Katherine masuk ke ruang conference dan berencana menutup pintu, tapi saya memintanya untuk tetap pintu terbuka. “It’s fine, don’t close it”, kata saya.

“Alright Katherine! Adakah hal yang bisa aku bantu?”, saya memulai percakapan siang itu.

“Iman (maksudnya Imam), are you familiar with Imam Latif?”, tanyanya.

“Latif yang mana yang anda maksudkan? Aku mempunyai beberapa nama Latif dalam memori ku”, kataku merujuk kepada kenyataan bahwa saya mengenal beberapa teman yang kebetulan bernama Latif atau Abdul Latif.

“I think he is the Imam at the NYU”, jawabnya.

“Oh yeah, he is the Muslim Chaplain at the NYU and as well the Muslim Chaplain for the NYPD”, jelasku.

Saya kemudian bertanya, ada apa dengan Imam Khalid Latif (nama lengkap Chaplain yang dimaksud) itu. Barulah kemudian saya tahu kalau Katherine itu adalah mahasiswa S3 di NYU, yang ternyata sedang menulis disertasinya dalam perbandingan madzhab Maliki dan Syafi’i.

"Aku telah menghadiri sebagian dari ceramah kuliah dan kutbahnya." (maksudnya Khutbah)”, katanya mengenai Imam Latif.

Saya kemudian bertanya, kenapa ingin berbicara ke saya siang itu? Dari percakapan itu ternyata Katherine sudah meneliti Islam, khususnya fikih dan perbandingan fikih dalam hukum Islam. “For me, it’s simply amazing!” (bagiku itu benar-benar mengagumkan), katanya mengenai diskusi-diskusi atau perdebatan-perdebatan yang terjadi di antara pada ulama Islam. Menurutnya, semakin dia dalam perberdaan pendapat para ulama itu, semakin sadar bahwa Islam itu begitu menjunjung tinggi ilmu dan semangat pencarian (inquiries). Dia bahkan mengetahui betul bahwa semangat inilah yang pernah menjadikan Islam jaya dalam segala lini kehidupan manusia.

“And so, what I can do for you?”, tanya saya. Maksud saya, barangkali ingin mendiskusikan sesuatu yang berhubungan dengan disertasinya. Atau mungkin ingin mengklarifikasi tentang sesuatu dalam penelitian yang dilakukannya.

Katherine terdiam dan bahkan menunduk beberapa saat. “Saya berfikir untuk memeluk Islam,” katanya seraya meneteskan airmata.

Tanpa terasa saya hanya langsung mengucapkan “alhamdulillah!”. Bagi Katherine tentu kata ini bukan sesuatu yang asing lagi. Mendengar itu dia hanya tersenyum seraya mengusap airmatanya.

“Are you sure, Katherine?”.

“Yes, I am sure. Pada dasarnya, saya telah memikirkan tentang dalam waktu yang cukup lama,” katanya.

Saya kemudian mencoba menjelaskan kembali makna berislam. Bahwa beislam itu bukan sekedar mengetahui kebenaran ini, tapi dari itu merupakan komitmen hidup untuk melakukan perubahan internal maupun eksternal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Saya memang tidak berpanjang lebar lagi berbicara kepada Katherine. Saya tahu Katherine sebenarnya tahu banyak tentang Islam, dan bahkan mungkin lebih banyak tahu dari ‘average Muslims’ yang terlahir dari orang tua Muslim. Apalagi memang dia telah meneliti hukum Islam, khususnya mengenai fikih Islam.

“Are you ready?”, kembali saya tanya.

“Yes!”, jawabnya tegas.

Saya meminta ke resepsionis untuk mencarikan dua orang saksi. Setelah saksi hadir di ruang pertemuan itu, saya memulai menuntun Katherine mengikrarkan:

“Laa ilaaha illa Allah-Muhammadan Rasul Allah”.

Diikuti pekik Allahu Akbar, saya mendoakan semoga Katherine dikuatkan dan bahkan menjadi da’iyah di jalanNya. Alhamdulillah! [www.hidayatullah.com]

New York, April 18, 2008

Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com


Richelle Santos, Gadis Filipina

Semenjak kecil, dia hidup dalam keluarga Katolik yang ketat. Ia bahkan dimasukkan sekolah biarawati. Tapi Allah berkehendak lain. Ia justru lebih memilih Islam
Oleh: M. Syamsi Ali

Masih ingat sekitar setahun lalu, the Islamic Forum kedatangan peserta baru yang hampir saya sangka seorang santria dari Indonesia. Seorang gadis pendiam dengan kerudung rapi ala Indonesia duduk di salah satu sudut ruangan dengan malu tapi selalu tersenyum.

“Sorry, are you….from Indonesia?”, tanyaku suatu ketika.

“Oh no! I am an American”, jawabnya dengan pelan dan suara lembut.

“Tetapi anda terlihat sangat Asia. Jadi, apa latar belakang sukuan asli anda?” tanyaku lagi.

“Saya asli Filipina. Saya datang ke sini ketika masih berusia 5 tahun bersama ibu saya, ” jelasnya.

Demikianlah Richelle Santos memulai pengenalan dirinya
dengan kami di Islamic Center. Richele masih relatif muda, tapi saat ini sudah bekerja di sebuah perusahaan sebagai finance analyst.

Alumni New York City University ini tinggal sendiri karena ibunya kemudian menikah lagi dan nampaknya suasana rumah tangganya tidak kondusif baginya untuk tinggal bersama.

Sekolah Biarawati

Selepas sekolah dasarnya, Richelle yang ibunya beragama yang Katolik sangat kuat memasukkannya ke sebuah sekolah pelatihan menjadi biarawati. Richelle bercerita, ketika dirinya berumur sekitar 11 tahun, ibunya sangat mengkhawatirkan bahwa dirinya akan jatuh dalam pergaulan yang salah. Untuk itu, dia disekolahkan di sebuah sekolah Katolik pelatihan biarawati di kota Manhattan.

Richelle menceritakan bagaimana ketatnya peraturan saat dia menimba ilmu di tempat tersebut. “Saya hampir tak bertahan dalam beberapa hari”, katanya.

Saya jadi teringat di hari-hari pertama tinggal di pondok pesantren. Hingga hari ini selalu saya sebut sebagai “a divine jail” (penjara suci) karena betapa susahnya menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Apalagi jika memang seseorang sudah di set dengan dunia tertentu.

“Dan akhirnya Anda menyelesaikan sekolah itu?” tanyaku suatu ketika.

“Not really…saya hanya tinggal lebih dari dua tahun di sekolah tersebut, jujur saja, aku tidak pernah serius di dalam studi ,” katanya.

Setelah saya tanya lebih jauh, ternyata jawabannya adalah karena dari pagi hingga sore dia diindoktrinasi dengan konsep-konsep yang dia sendiri tidak pernah yakini. “All those did make sense at all to me”, katanya singkat.

Maka setelah dua tahun bertahan di sekolah Katolik pendidikan biarawati, Richelle meminta kepada ibunya untuk sekolah di sekolah umum. Untuk pertama kali ibunya menolak, tapi setelah Richelle menjelaskan banyak hal, termasuk beberapa bentuk pergaulan di asrama yang sama sekali tidak masuk akal, ibunya menuruti.

Demikian dari Sabtu ke Sabtu Richelle mengikuti dialog di Islamic Forum. Walaupun sangat pintar, tapi tidak pernah mengajukan pertanyaan kecuali jika dipancing. Mungkin darah Asia-nya masih sangat kental sehingga nampak sekali sangat malu dan sopan santun.



Beberapa kali Richelle juga menghadiri acara yang dilakukan di masjid Al-Hikmah, milik masyarakat Muslim Indonesia di New York. Salah satunya di saat masjid Al-Hikmah menjadi tuan rumah bagi tamu pembicara terkenal, Sr. Aminah Assilmi, mantan penganut Kristen radikal yang memeluk Islam dan saat ini menjadi seorang muballiggah yang go international.

Saat itu nampak Richelle menyimak kata per kata yang keluar dari mulut Sr. Aminah Assilmi. Bahkan nampak mencatat poin-poin penting yang disampaikan oleh beliau. Setelah selesai ceramah, sambil bercanda saya bertanya: “Apakan Anda akan menirunya di masa depan?”. Richelle hanya menjawab dengan senyuman.

Big Day for me

Tiga minggu lalu, Richelle hadir agak pagi ke Islamic Center. Saya sendiri biasanya sibuk dengan weekend school tidak terlalu menghiraukan. Tapi sepintas saya melihat kepadanya dan nampak seperti gelisah. Menjelang shalat Zuhur saya bertanya: “what happens Richelle? I saw you a kind of …..”.

Rupanya, belum tuntas saya bertanya kepadanya, Richelle sudah menjawab: “Oh no! I am fine”, jawabnya seolah menyembunyikan sesuatu.

Shalat Zuhur dimulai. Richelle hanya duduk sendirian di kelas. Rupanya siang itu tidak terlalu peserta Islamic Forum yang mengikuti kelas. Saya memulai kelas siang itu dengan bahasa Arab (membaca Al-Quran), dilanjutkan dengan tafsir Q.S. Al-Hujurat. Richelle nampak serius mencatat hampir semua poin-poin penting yang saya sampaikan.

Tiba-tiba saja, di saat saya memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya, Richelle nampak mengalirkan air mata, sambil tersenyum malu, mengatakan: “Imam Shamsi, I want to convert!”. (Ustad, saya ingin pindah agama!)
Semua yang hadir langsung terperanjat. Biasanya, keinginan untuk masuk ke Islam itu disampaikan setelah kelas, atau datang sendiri. Kali ini Richelle menyampaikan di tengah-tengah kelas masih berlangsung.

Lansung saja yang keluar dari mulut saya: “Alhamdulillah Richelle! Saya benar-benar sangat berbahagia mendengarnya. Akhirnya Allah menunjukkan hatimu dan sekarang iman itu sedang kamu temukan."

Saya kemudian mengalihkan pembahasan siang itu dari Q.S. Al-Hujurat dan menjelaskan apa makna berislam. Saya yakin penjelasan saya sudah didengar berkali-kali oleh Richelle selama ini, tapi saya ingin untuk mengingatkan kembali.

Saya kemudian bertanya sekali lagi kepada Richelle. “"Anda telah bersama kita hampir dua tahun. Apa yang sesungguhnya anda temukan di dalam agama ini ?"

“Oh, aku pikir aku harus jujur. Dari sangat semula aku bergabung di kelas mu, aku telah dibuat kagum oleh pengajarannya. Aku tidak memiliki hal untuk menentangnya.", jelasnya.

“But what really makes you take too long to decide?”, tanyaku lagi.

"Aku berpikir aku hanya merencanakan sesuatu dengan pasti bahwa aku dengan penuh kesadaran akan segala sesuatu memerlukanku sebagai seorang Muslim. Aku perlu untuk mengetahui tentang larangan dan perintah. Maka Saya dapat mencoba untuk mengikutinya dalam kehidupan ku", jelasnya.

Langsung saja saya meminta kepada hadirin untuk menjadi saksi. Tapi tidak lupa saya sampaikan ke Richelle bahwa Allah in the best witness. Seraya mebiarawatiduk, Richelle dengan berlinang airmata mengikuti ikrar tauhid:

“Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasul Allah”.

Yang saya rasakan adalah ketulusan dan kemantapan hati dari Richelle dalam menerima Islam. Siang itu, ruangan kelas the Islamic Forum memang terharu. Hampir semua yang hadir ikut meneteskan airmata karena tersentuh dengan linangan airmata Richelle. Dia hanya sempat menyelah sambil mengusap airmata: “Today is a big day for me!”.

Semoga engkau, Richelle, dikuatkan dan selalu dijaga dalam menjalani agamaNya. [www.hidayatullah.com]

New York, 14 April 2008

Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com

Kisah Islamnya Syeikh Yusuf Estes

Awalnya ia bekerja sebagai musisi di gereja sekaligus penginjil. Namun kini, ia berkeliling dunia dan telah banyak mengislamkan orang

ImageHidayatullah.com--Dr. Yusuf Estes lahir tahun 1944 di Ohio, AS. Tahun 1962 hingga 1990 ia bekerja sebagai musisi di gereja, penginjil sekaligus mengelola bisnis alat musik piano dan organ. Awal 1991 ia terlibat bisnis dengan seorang pengusaha Muslim asal Mesir bernama Muhammad Abd Rahim. Awalnya ia bermaksud meng-Kristenkan pria Mesir itu. Namun akhirnya ia justru memeluk Islam diikuti oleh istri, anak-anak, ayah serta mertuanya. Ia menguasai bahasa Arab secara aktif, demikian juga ilmu Al-Quran selepas belajar di Mesir, Maroko dan Turki. Sejak 2006, Yusuf Estes secara regular tampil di PeaceTV, Huda TV, demikian pula IslamChannel yang bermarkas di Inggris. Ia juga muncul dalam serial televisi Islam untuk anak-anak bertajuk “Qasas Ul Anbiya” yang bercerita tentang kisah-kisah para Nabi.

Yusuf terlibat aktif di berbagai aktifitas dakwah. Misalnya, ia menjadi imam tetap di markas militer AS di Texas, dai di penjara sejak tahun1994, dan pernah menjadi delegasi PBB untuk perdamaian dunia. Syekh Yusuf telah meng-Islam-kan banyak kalangan, dari birokrat, guru, hingga pelajar. Berikut kisah Syekh Yusuf sebagaimana dituturkannya di situs www.islamtomorrow.com. Di bawah ini adalah penuturannya.

***

Nama saya Yusuf Estes. Saat ini dipercaya memimpin sebuah organisasi bagi Muslim asli Amerika. Kini sepanjang hidup saya berikan untuk Islam. Saya berkeliling dunia untuk memberikan ceramah dan berbagi pengalaman bagaimana Islam hadir dalam diri saya. Organisasi kami terbuka untuk berdialog dengan berbagai kalangan. Misalnya para pemuka agama seperti pendeta, rabi (ulama kaum Yahudi-red) dan lainnya dimanapun mereka berada.

Kebanyakan medan kerja kami adalah kawasan institusional seperti pusat militer, universitas, hingga penjara. Tujuan utama adalah untuk menunjukkan Islam yang sebenarnya dan memperkenalkan bagaimana hidup sebagai seorang Muslim. Meskipun Islam saat ini berkembang sebagai salah satu agama terbesar kedua setelah Kristen, namun masih banyak saja terjadi misinformasi tentang Islam. Misalnya Islam selalu diidentikkan dengan hal berbau Arab.

Banyak orang bertanya pada saya bagaimana mungkin seorang pendeta atau pastur Kristen bisa masuk Islam. Padahal tiap hari kami menyampaikan kebenaran Kristen. Belum lagi dengan berita-berita negatif tentang perilaku buruk Islam di media. Pasti tidak ada orang yang tertarik dengan Islam. Pernah seorang pria Kristen bertanya pada saya melalui e-mail kenapa dan bagaimana saya meninggalkan Kristen dan masuk Islam. Saya berterima kasih pada semua yang bersedia mendengar kisah saya berikut ini. Semoga Allah ridha.

Keluarga Kristen taat

Saya lahir di Ohio, besar dan bersekolah di Texas. Dalam tubuh saya mengalir darah Amerika, Irlandia dan Jerman hingga sering disebut WASP (white anglo saxon protestant). Keluarga kami adalah penganut Kristen yang sangat taat. Tahun 1949, ketika masih di bangku SD kami pindah ke Houston, Texas. Saya dan keluarga sering hadir secara rutin ke gereja. Malah saya dibaptis pada usia 12 tahun di Pasadena, masih Texas.

Sebagai seorang remaja, saya punya keinginan untuk bisa berkunjung ke banyak gereja di berbagai tempat guna menambah pengalaman dan pengetahuan Kristen. Kala itu saya benar-benar haus untuk mempelajari ajaran Kristen. Tidak hanya ajaran Kristen, bahkan ajaran Hindu, Budha, Yahudi,hingga Metafisika juga saya pelajari. Hanya satu ajaran yang saya tidak begitu serius dan bahkan tidak menaruh perhatian sama sekali, yakni Islam.

Saya suka musik terutama klasik. Hingga saya sering dapat undangan menyanyi di berbagai gereja. Di kisaran tahun 1960-an saya mengajar musik dan tahun 1963 punya studio sendiri di Laurel, Maryland yang saya beri nama “Estes Music Studios.” Hingga tahun 1990 atau hampir 30 tahun lamanya saya bersama dengan ayah mengelola bisnis entertainment. Kami juga punya toko alat musik piano dan organ di Texas, Oklahoma hingga Florida.

Ayah dulu pernah aktif dalam aneka kegiatan gereja. Dari sekolah minggu hingga aktifitas penggalangan dana bagi pengembangan sekolah Kristen. Dia sangat menguasai Bibel dan juga terjemahannya. Melalui ayah pula saya belajar Bibel dalam berbagai versi dan terjemahan.

Ayah saya, seperti kebanyakan pendeta lainnya, selalu mendapat pertanyaan:”Apakah Tuhan yang menulis Bibel?” Biasanya jawabannya adalah: “Bibel adalah rangkaian kata inspirasi seorang lelaki yang berasal dari Tuhan.” Itu bermakna, menurut saya, manusialah yang menulis Bibel. Tentu saja, selama bertahun-tahun, jawaban itu menimbulkan banyak tanggapan bahkan penolakan. Namun ayah selalu menambahkan,”Akan tetapi (Bibel) itu tetap kata dari Tuhan yang diilhamkan kepada manusia.” Begitulah.

Mencari Tuhan

Beranjak dewasa dan memiliki usaha sendiri, akhirnya saya “menyerah”. Saya tidak mungkin jadi seorang pendeta. Saya takut bermental hipokrit. Saya belum bisa menerima tentang konsep Tuhan itu satu namun pada saat yang sama Dia menjadi “Tiga” atau Trinitas. Saya selalu bertanya-tanya, jika Dia “Tuhan Bapa” bagaimana mungkin pada saat yang sama juga menjadi “Anak Tuhan?”

Selama bertahun-tahun saya mencoba mencari Tuhan dengan berbagai cara. Saya pelajari dan cek dalam agama Budha, Hindu Metafisika, Taoisme, Yahudi dan banyak lagi. Bertahun-tahun saya pelajari hingga mendekati usia ke-50 saya belum menemukan siapa Tuhan yang sebenarnya. Lalu saya mencoba bergaul dengan banyak kalangan, termasuk dengan para evangelis dan penginjil yang punya pengalaman di berbagai tempat dan negara. Kami sering melakukan perjalanan jauh. Namun tidak ada jawaban yang memuaskan. Tidak ada yang mau menjawab siapa yang menulis Bibel sebenarnya, kenapa Bibel banyak versi padahal bukunya sama, kenapa banyak sekali terdapat kesalahan versi terkini dengan versi terdahulu. Dan, bahkan, dalam berbagai versi Bibel, saya tidak menemukan satupun kata “Trinitas.”

Kolega saya akhirnya tidak mampu meyakinkan saya. Mereka lelah mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan “nyeleneh” tersebut. Sampai akhirnya datanglah satu kejadian yang merupakan awal perjumpaan saya dengan Islam. Kejadian yang akhirnya meruntuhkan semua konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang telah membebani saya selama bertahun-tahun. Solusi dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya datang justru dengan cara, yang menurut saya, aneh dan ganjil.

Jumpa pria Mesir

Ceritanya, awal 1991 ayah mencoba menjalin bisnis dengan seorang pengusaha dari Mesir. Ia meminta saya untuk bertemu dengan pria Mesir itu. Bagi saya inilah kali pertama mengadakan kontak bisnis internasional. Yang saya tahu tentang Mesir adalah piramid, patung Sphinx, dan sungai Nil. Hanya itu. Lalu ayah menyebut bahwa pria itu seorang Muslim.

Apa? Islam? Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Menjalin hubungan dengan orang Islam? Spontan batin saya menolak. Tidak, no way! Saya mengingatkan ayah agar membatalkan kontak dengan pria itu dengan menyebut hal-hal negatif tentang orang Islam. Orang Islam teroris, pembajak, penculik, pengebom, dan entah apa lagi. Saya sebut juga mereka (orang Islam) tidak percaya dengan Tuhan, tiap hari kerjanya mencium tanah lima kali sehari, dan menyembah kotak hitam di tengah padang pasir (maksudnya Ka’bah-red.). Tidak! Saya tidak mau jumpa orang itu.

Ayah tetap mendesak. Ia menyebut orang itu sangat ramah dan baik hati. Akhirnya saya menyerah dan bersedia bertemu dengan pengusaha Islam tersebut. Tapi untuk pertemuan tersebut saya buat semacam “aturan” khusus. Antara lain; saya mau bertemu dengannya pada hari Minggu setelah kegiatan di gereja, sehingga punya “kekuatan” kala bertemu nanti. Saya musti bawa Bibel, pakai baju jubah dan peci ala gereja bertuliskan “Yesus Tuhan Kami.” Istri dan kedua anak perempuan saya juga harus datang di saat pertemuan pertamakali dengan orang Islam itu.

Tibalah hari H. Ketika saya masuk toko, langsung saya tanya pada ayah mana orang Islam itu. Ayah menunjuk seorang laki-laki di dekatnya. Mendadak saya dilanda kebingungan. Ah sepertinya pria itu bukan si Islam yang dimaksud. Hati saya membatin. Penampilannya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Laki-laki asal Mesir itu tidak berjanggut, bahkan tidak punya rambut sama sekali alias botak. Ia tidak bersorban dan tidak pula berjubah. Malah pakai jas.

Spontan saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Mengamati orang-orang yang hadir. Saya mencari-cari orang yang pakai jubah dengan surban melilit di kepalanya, berjenggot lebat serta alis mata tebal. Khas orang Arab. Namun tidak ada seorangpun yang memenuhi kriteria saya. Yang lebih mengejutkan, pria itu malah menegur saya dengan sangat ramah. Ia menyambut dan menjabat tangan saya dengan hangat. Namun saya tidak terkesan dengan tingkahnya itu. Hanya ada satu pikiran, yakni bagaimana meng-Kristenkan pria Mesir itu.

Interogasi

Selepas perkenalan singkat, saya pun mulai “menginterogasi” pria Mesir tersebut. Anda percaya dengan Tuhan? tanya saya mengawali. Pria itu menjawab ya. Saya mencocornya lagi dengan rentetan pertanyaan lain seperti keyakinan Islam kepada Nabi Adam, Ibrahim. Musa, Daud, Sulaiman hingga Isa Al-Masih. Saya dibuat terpana kala mendengar jawabannya. Ia menjelaskan Islam percaya dengan Nabi-Nabi yang saya sebut tadi. Bahkan makin ternganga kala diberitahu Islam juga beriman dengan salah satu Kitab Allah yakni Injil dan Nabi Isa adalah salah satu utusan-Nya. Fantastik!

Yang bikin saya syok adalah tatkala mengetahui ternyata Islam juga percaya dengan Almasih (baca: Nabi Isa). Dalam Islam ternyata Isa diimani; sebagai utusan Tuhan dan bukan Tuhan, lahir tanpa seorang ayah, ibunya adalah Maryam. Ini sudah lebih dari cukup bagi saya untuk mempelajari Islam lebih lanjut. Ah padahal sebelumnya saya sangat benci dengan Islam. Kini saya harus mempelajarinya? Bagaimana mungkin?

Akhirnya kami jadi sering bertemu dan berdiskusi terutama tentang keimanan. Pria ini sangat lain. Ramah, kalem, dan terkesan pemalu. Ia mendengar dengan serius setiap kata-kata saya dan tidak menyela sedikitpun. Lama kelamaan saya jadi menyukai pria itu. Namun waktu itu yang masih terpikir oleh saya adalah mencari cara untuk mengajaknya masuk Kristen. Orang ini sangat potensial menurut saya.

Menjadi mitra bisnis

Saya akhirnya setuju untuk menjalin bisnis dengan pengusaha Mesir itu. Kami sering mengadakan perjalanan bisnis di sepanjang kawasan Utara Texas. Sepanjang hari kami justru banyak berdiskusi hal keyakinan Islam dan Kristen ketimbang masalah bisnis. Kami bicara tentang konsep Tuhan, arti hidup, maksud penciptaan manusia dan alam serta isinya, tentang Nabi, dan banyak lainnya lagi.

Satu ketika saya dapat kabar Muhammad bermaksud pindah rumah. Selama ini ia tinggal bersama dengan seorang temannya. Ia berencana untuk tinggal di mesjid selama beberapa waktu. Saya dan ayah mengajaknya tinggal di rumah kami saja. Ia pun setuju.

Satu ketika salah seorang teman saya –seorang pendeta- mengalami serangan jantung. Kami membawanya ke rumah sakit terdekat dan tinggal beberapa saat disana. Saya pun musti menjenguknya beberapa kali dalam seminggu. Muhammad sering saya ajak serta. Rupanya teman saya itu tidak begitu suka. Bahkan ia dengan nyata menolak berdiskusi apapun tentang Islam. Hingga satu hari datang pasien baru. Seorang pria yang kemudian tinggal satu kamar di rumah sakit dengan teman saya. Ia menggunakan kursi roda. Saya berkenalan dengan pria itu. Sekilas tampaknya pria itu seperti sedang depresi berat.

Pria di kursi roda mencari Tuhan

Akhirnya saya tahu pria itu kesepian dan depresi berat serta butuh teman dalam hidupnya. Jadilah saya mencoba mengingatkan dia tentang Tuhan. Saya kisahkan tentang Nabi Yunus yang hidup dalam perut ikan. Sendirian dalam gelap namun masih ada Tuhan bersamanya.

Selepas mendengar kisah itu, pria berkursi roda itu mendongakkan kepalanya seraya meminta maaf. Ia menceritakan bahwa ada sedikit masalah yang melandanya. Selanjutnya ia ia ingin mengakuinya kesalahannya itu di hadapan saya. Saya berujar bahwa saya bukan seorang pendeta. Pria itu justru menjawab; “Sebenarnya saya dulu seorang pendeta.”

“Apa? Saya barusan menceramahi seorang pendeta ? Saya benar-benar syok kala itu. Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi dengan dunia ini sebenarnya?

Rupanya pendeta itu –namanya Peter Jacobs- adalah mantan misionaris yang telah berkeliling Amerika Latin dan Meksiko selama 12 tahun. Kini ia malah depresi dan butuh istirahat. Saya menawarkannya untuk tinggal di rumah kami. Dalam perjalanan ke rumah, saya berdiskusi dengan Peter tentang Islam. Saya sungguh terkejut kala diberitahu para pendeta Kristen juga belajar tentang Islam dan bahkan sebagiannya ada yang doktor di bidang itu. Ini hal baru bagi saya tentunya.

Sejak itu, Muhammad, Peter dan saya sering terlibat diskusi hingga larut malam. Satu ketika masuk ke masalah kitab-kitab suci. Saya takjub kala Muhammad menceritakan bahwa dari pertama diturunkan hingga saat ini atau selama 1400 tahun Al-Quran hanya ada satu versi. Al-Quran dihafal oleh jutaan Muslim di seluruh dunia dengan satu bahasa yaitu Arab. Sungguh mustahil. Bagaimana mungkin kitab suci kami bisa berubah-ubah dengan berbagai versi sementara Al-Quran tetap terpelihara?

Sang pendeta masuk Islam!

Satu hari pendeta Peter Jacobs ingin melihat apa yang dilakukan orang Islam di Mesjid. Ia pun ikut Muhammad. Sepulang dari sana saya bertanya pada Peter ada kegiatan apa di sana. Peter menyebut tidak ada acara apa-apa di mesjid. Mereka (orang Islam) cuma datang dan shalat saja. Tidak ada acara seremoni apapun. Apa? tidak ada ceramah atau nyanyian apapun?

Beberapa hari kemudian Peter minta ikut lagi ke mesjid. Namun kali ini lain. Mereka tidak pulang-pulang hingga larut malam. Saya khawatir sesuatu terjadi terhadap mereka. Akhirnya Muhammad kembali dengan seorang pria berjubah. Saya sungguh terkejut dengan laki-laki yang datang bersama Muhammad itu. Ia mengenakan jubah dan topi putih. Ah rupanya si Peter. Ada apa dengan kamu tanya saya. Jawaban Peter bak petir di siang bolong. Ia menyebut sudah bersyahadah. Oh Tuhan! Apa yang terjadi? Pendeta masuk Islam?

Saya benar-benar syok dan semalaman tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Saya ceritakan kejadian tersebut kepada istri. Istri saya justru menyatakan ia juga ingin masuk Islam, karena itulah yang benar. Oh Tuhan! Saya benar-benar tidak percaya.

Saya turun ke bawah dan membangunkan Muhammad seraya minta waktu diskusi dengannya. Sepanjang malam hingga subuh kami bertukar pendapat. Muhammad minta izin shalat Subuh. Ketika itu saya mendapat firasat, kebenaran telah datang. Saya harus membuat pilihan. Lalu saya keluar rumah. Persis di belakang rumah, saya memungut sepotong papan. Lalu saya letakkan papan itu menghadap ke arah orang Islam shalat. Saya pun bersujud menghadap kiblat dan meminta petunjuk-Nya.

Sekeluarga masuk Islam

Pagi itu, pukul 11, saya bersyahadah di hadapan dua orang saksi, mantan pendeta Peter Jacobs dan Muhammad Abd. Rahman. Alhamdulillah, di usia ke-47 saya jadi seorang Muslim. Beberapa menit kemudian istri saya juga ikut bersyahadah. Ayah baru memeluk Islam beberapa bulan kemudian. Sejak itu saya dan ayah sering ke mesjid terdekat di kota kami. Ayah mertua saya akhirnya juga mengikuti kami. Di usianya yang ke-86 ia memeluk Islam. Mertua saya meninggal persis beberapa bulan selepas bersyahadah. Semoga Allah ampuni dia. Amiin.

Adapun anak-anak saya pindahkan dari sekolah Kristen ke sekolah Islam. Setelah sepuluh tahun bersyahadah, mereka telah mampu menghafal beberapa juz Al-Quran.

Sejak itu saya habiskan waktu hanya untuk Islam. Saya berdakwah ke mana-mana, hingga ke luar Amerika. Banyak sudah yang memeluk Islam. Baik dari kalangan birokrat, guru, dan pelajar dari berbagai agama. Dari Hindu, Katolik, Protestan, Yahudi, Rusia Orthodok, hingga Atheis. Saat ini saya juga mengelola sebuah website yakni Islamalways.com yang punya motto terkenal, " where we're always open 24 hours a day and always plenty of free parking." (kami buka 24 jam sehari dan banyak tempat parkir gratis).

Islam telah mengubah cara saya melihat kehidupan ini dengan lebih bermakna. Semoga Allah pelihara hidayah yang sudah ada pada kita dan sebarkan hidayah itu ke seluruh alam. Amin. [Zulkarnain Jalil, kontributor www.hidayatullah.com di Aceh]

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Selamat Datang - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger