Penulis:Azizah Hefni
“Belum tidur, Fit?†suara ibu menyapaku lembut malam ini. tangannya menyentuh pundakku.
“Sudah malam lho, nak…Agih, sono, tidur, besok malah telat masuk sekolah…â€
Aku yang sedari tadi sendiri di depan jendela kamar cuma menggeleng. “Nanti saja, Bu…Dia belum datang…†lemah sekali suaraku terdengar. Serak dan terkesan amat berat. Mataku yang membesar akibat keluarnya bendungan air mataku Tadi, membuatku lunglai, seperti orang tanpa daya. Lebih dari 3 jam aku menangis. Mulai dari tenggelamnya matahari bakda salatul maghrib, sampai pukul 9 malam. Cukup lama untuk ukuranku. Benar sajalah kalau mata sipitku termanifestasi sebesar BEKEL, mungkin!
“Dia? Siapa maksudmu, Nak,†tanya Ibu sedari mengambil posisi duduk di sampingku.
“Malaikat post…†jawabku datar tanpa menoleh ke face ibu.
“Malaikat post? Maksudmu?â€
“Mau kirim surat buat Bapak, Bu…ini suratnya. Sebentar lagi malaikat post pasti datang…â€
Ibu terkesima mendengar penuturanku. Bulir-bulir kristal yang tersimpan kini perlahan muncul. Tangannya menutup mulut dan dadanya.
“Kau kenapa lagi, Fit…kenapa kamu selalu seperti ini? Kenapa jiwa dan pikiranmu selalu menghayal yang tidak-tidak. Kau tidak gila kan, Fit? Kau sadar kan dengan apa yang kau pikirkan sekarang, Nak?â€
Aku mengangguk apa adanya.
“Aku tidak gila, Bu…Fitri yakin, sebentar lagi pasti malaikat post datang. tenang saja, salam Ibu sudah Fitri cantumkan di surat. Pasti Bapak senang nanti. Ibu ndak usah khawatir…percaya sama Fitri deh, pasti Dia datang nganter surat ini…â€
Roman muka Ibu semakin merah. Memang, setiap kali Ibu menangis, pasti memerah. Mungkin karena pengaruh kulit putihnya. Tak seperti aku, kulit coklatku tak bisa membuat wajahku memerah saat menangis. Aku bukan mirip Ibu, tetapi mirip Bapak. Dulu, aku dan Bapak bagai pinang dibelah dua. Mirip. Mirip sekali. Bedanya aku kecil, sedang Bapak besar. Orang bilang, aku ini manis, istilah jawanya SEDAP dipandang mata. (maaf…ini jujur lho!) karena itulah realita, Bapak memang laki-laki yang tampan. Tapi itu dulu, ketika Bapak masih hadir di tengah-tengah keluarga kami. Ketika Bapak masih bisa membelai rambutku, rambut Ibu, juga Rini, adikku. Sekarang…sudah tidak! Bapak udah LULUS menempuh hidup. Bapak udah SUKSES menjalani hidup. Dua minggu yang lalu, bapak wisuda. Diwisuda malaikat Izroil. Mungkin mau di antar ke Maha Pemilik Kaum, Maha segala Maha…melaporkan hasil kuliah hidupnya selama di dunia. Dan tidak semudah itu, Bapak bisa berani dan TENANG ketika Izroil menuntunnya ke Dekan makhluk alat jagat ini. Butuh perjuangan berat. Yah…pantas sajalah lha wong ketika Bapak hidup itu ndak pernah absen salat kok, nggak pernah berbuat jahat dan yang tak bermanfaat, ndak pernah punya musuh, ndak pernah mengeluh soal nasib, pokoknya THE BEST banget. Dan satu…yang paling bisa kami rasakan, Bapak ndak pernah menelantarkan kami. Bapak “ngopeni†kami dengan sangat sempurna. Kerja ini itu, melakukan ini itu, tapi yang halal dan tidak nylenong dari syariat Islam. Jadi…tentu saja, Bapak lulus hidup dengan nilai baik.
Bapak pergi pas lagi tidur…kalau dipikir, aneh! Tidur kok tiba-tiba meninggal. Padahal Bapak kan tidak sakit.
Yah…itulah Bapak! Yang nggak pernah ngrepotkan orang. Sampai akhir hayatnya saja, Bapak nggak nyusahin. TIDUR. Sederhana sekali bukan? Cenderung amat mudah! Terkesan tenang sekali…apalagi Bapak meninggal setelah salat isya’. Aku haru Pak…
Berhubung Bapak pergi tanpa pamit, aku sengaja mengirimkan surat pada Bapak. Yah…sekedar say: “Kangen, Pak!†sebentar lagi pasti ada malaikat post yang mau mengantar suratku. Bermodal YAKIN dan PERCAYA, itu saja! Itu sudah menjadikan perangko bernilai tinggi. Banyak orang menganggapku gila, mungin. Tapi aku tak peduli. Karena keyakinanku akan datangnya malaikat X yang mau mengantarkan risalahku kuat sekali.
Ibu mengambil surat beramplop putih tanpa perangko postku…diiringi isak tangis karena prihatin denganku, Ibu membuka dan membaca surat yang akan kukirimkan kepada Bapak…
Jangan khawatir, Pak…ini bukan surat dinas, tagihan telpon atau air…ini cuma surat ala ngawur karangan tangan jahil Fitri saja kok. Sifatnya santai dan kental dengan unsur KERINDUAN…
Menjumpai,
Anggota BARZAH terbaru…
Bapak Yang Baik…
Seperti biasa…awal surat pasti pakai salam…jangan takut aku masih menerapkannya kok Pak.
Assalamualaikum…
Bagaimana kabar, Bapak? Apa masih bugar seperti dulu? Masih sehat seperti dulu? Pasti dong…masak di tempat enak seperti tempat Bapak di sana Bapak bisa sakit? Bukankah di sana lebih nyaman dibandingkan dengan di dunia, tempat bapak dulu? Ah…Fitri yakin, walau tak bisa melihat Bapak dengan mata telanjang, Bapak pasti segagah Bapak dulu…Bahkan mungkin lebih gagah.
Pak…sebulan nggak ketemu Bapak rasanya rindu sekali…apa Bapak juga rindu sama Fitri? Sama Ibu? Sama Rini? Wah…jangan-jangan Bapak keenakan bermain-main di sana sampai lupa keluarga. Waduh…jangan ah, Pak, masak rindu kita bertepuk sebelah tangan? Kayak nyanyian group dewa saja, “Baru kusadari…cintaku bertepuk sebelah tangan…â€
Bapak masih ingat nadanya kan? Halah…masak lupa sih, itu lho lagunya group band kesukaan Bapak. Lagian Fitri masih ingat betul ketika bapak nyanyikan itu duet bareng Ibu di depan TV.
Wis…pokoknya Fitri yakin, Bapak pasti rindu juga…
Pak…Result yang baru saja Fitri lacak, hampir membuat Fitri kaget…bagaimana tidak, lha wong bendungan air mata Ibu, saya juga ade’ Rini jebol! Gara-gara Bapak yang pergi meninggalkan kami…
Ibu nangis berat saat Bapak pergi. Ndak tau berapa galon air mata yang dikeluarkan. Yang pasti buuuaaanyak. Kalau dalam ilmu matematika pasti pakai lambang ~ yang artinya tak hingga. Hehehe…pokoknya Fitri ingat betul waktu itu Ibu pingsan dan baru sadar ketika malam menggantung. Mungkin shock, pasangan hidupnya LULUS tahun…itu tandanya Ibu cinta mati sama Bapak…Bapak ingat nggak, Bapak kan pernah bilang waktu itu.
“Ssst…Fit! Lihat ibumu itu. Pergi ke pengajian saja pakai bedak dan lipstik. Padahal di sana kan niatnya ngaji, bukan mejeng…†Aku ingat betul Bapak bilang begitu ketika Ibu berada di depan cermin sambil membawa GINCU.
“Lho, Pak, wanita itu memang serba dandan. Lagian seharusnya Bapak bangga punya istri kayak Ibu. Cantik, performance oke, baiiikk…lagi!â€jawabku renyah.
Orang-orang menyangkaku GILA. Apalagi sejak aku kesurupan. Mereka mengira aku mikir hal-hal mistis dan ghoib. Padahal kan aku biasa aja tuh…
Halah…apa salahnya percaya sih, kalau sebentar lagi ada malaikat post yang bakal nganter suratku? Nggak ada ayat-ayat Al-Qur’an yang nglarang kok! Atau…hadits, ijma, qiyas, atau yang lainnya. Yang ku tau, di UUD 45 pasal 28 menyerukan kita untuk bebas mengeluarkan pendapat, bebas berpikir, juga NGARYA. Ini namanya KREATIFITAS PIKIR, tul nggak?
Cuek aja lagi, biar aja mereka ngowar-ngowar, nertawain tindakanku. Yang penting ini kan aku. AKU ya AKU bukan MEREKA. Terserah aku mau ngirim risalah atau tidak, kok repot! Seandainya ada jaringan telpon di tempat Bapak, Fitri pasti telpon. Berhubung nggak ada ya udah pakai surat aja. Dan aku yakin, pasti Malaikat X itu datang malam ini.
Pak waktu Bapak pergi, aku sering sakit. Pingsan, sadar, terus pingsan lagi. Hehehe…ndak tau aku kok seperti ini. Sakit-sakitan. Lha wong Bapak kan tau sendiri, aku sama si Rini, kurusan aku. Dulu Bapak sering mengejekku KUNTET atau nggak bisa ngembang.
Ngomong-ngomong kabar si Rini baik. Malahan dia mau naik kelas III SMP. Udah gede. Waktu Bapak pergi, dia nangis nggak henti-henti.
Oh, iya…Aku baru sembuh tiga hari lalu. Aku baru mulai sekolah kembali hari ini dan kemarin dua hari lalu aku dari Doktor Imam, Psykologis terkenal di kota ini. Dia bilang saya mengalami shock sedikit. Jadi sering ngelindur. Dia tanya macam-macam ke Fitri. Terutama tentang apa yang dipikirkan Fitri juga hal-hal aneh yang dialami Fitri. Senangnya saat dia bilang daya imajinasi Fitri itu bagus dan tinggi banget. Cuma Fitri diberi pesan nggak boleh mikir aneh-aneh lagi. Khususnya Bapak. Fitri mesti berorasi pikir, berkarya, dan melakukan aktifitas yang padat. Biar sama orang-orang nggak dibilang ANEH lagi, gitu. Intinya Fitri udah sembuh! Padahal Fitri nggak tau sembuh dari penyakit apa. Kata orang-orang sih…penyakit JIWA. Busyeett!
Duh…udah banyak banget basa-basinya. Bapak pasti capek membacanya! Diakhiri dulu ya…nanti Fitri bakal nulis surat lagi buat Bapak. Tunggu saja tanggal mainya, di episode yang berbeda!
Salam dari Ibu, jaga diri baik-baik. Tenang saja, Ibu masih cinta sama Bapak kok. Truuss…salam dari Rini, kangen berat, seberat badannya. Eh, nggak ding, kurang berat! Khusus dari saya, Bapak mesti senang di sana, nggak boleh sedih. Doain cita-cita Fitri jadi penulis kondang tercapai ya…Do’ain Fitri supaya sembuh…Ok!
Terakhir, kami sekeluarga mau mengucapkan…
“SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE 63 TAHUNâ€
Semoga Bapak tenang dan damai di sana. Percaya saja, Insya Allah kita bakal kumpul diharumnya firdaus nanti…Amiin….
Maaf, kami nggak bisa ngasih ciuman di kening buat Bapak, nanti di Qada’ di nirwana saja yah…Sabar saja okey!
Salam buat para muslimin muslimat di sana, buat para pemilik hati PERMATA…buat para dermawan, Ulama’, teman-teman Bapak di sana…khususnya Sang Revolusioner akbar, Nabi Pemberi Petunjuk.
Satu! Teruntuk Sang Maha Segala Maha, Yang Tengah Duduk Di Singgasana Arsy Yang Gemerlap. Bersamalah kami selamanya…Aku, juga seluruh keluarga mencintai mu…
Wassalamualaikum….
Hormat Ananda,
“Bangga sih bangga, Fit, tapi nanti kalau terlalu cantik, trus ada cowok kesetrum gimana hayoo…berabe dong!†hahaha…roman Bapak waktu itu tampak takut dan khawatir sekali.
“Hayo…Bapak cemburu ya…suit..suit..! Dasar Bapak, hahaha…ketahuan, Bapak cembokur…!†aku melenggang di depan Bapak waktu itu.
“Sstt…! Jangan keras-keras nanti ibumu dengar lagi. Nanti GR!â€
“Halah…Bapak kayak anak muda aja…hahaha.â€
“Lho…Bapak sayang sama Ibu. Bapak cinta sama Ibu. Cinta bapak ke Ibu itu benar-benar cinta mati. Makanya Bapak cemburu kalau ibumu dilirik orang lain…â€
“Cieee…ngaku niye…suit…suit…â€
Rasanya peristiwa itu masih kental…seperti baru kemarin terjadi. Kadang nyetrum ke pikiran, dan itu membuat aku NGELAMUN, mereview peristiwa itu lagi…dan kalau sudah NGLAMUN, udah! Nggak ada juntrungannya! Aku pernah diajak main ke tempat aneh, yang mana ada banyak makhluk nagak NGGENEH. Ada yang telinganya buesaar, mata sebesar piring, badan setinggi pohon cemara, ada yang nggak punya badan, cuma kepala doang, bahkan ada lagi yang cebol tapi hidungnya buueesaarr…! Hi…! Lucu-lucu menakutkan gimana gitu!
Kata orang-orang, termasuk Ibu dan Rini sendiri, aku kesurupan, alias kemasukan jin! Hi…! Ndak tau juga itu benar atau tidak. Tapi mungkin saja mereka benar. Soalnya JUJUR, saat mereka ngajak aku main, aku seperti berada di dunia lain yang berbeda.
Pak!
Dunia kita beda jauh, tak bisa ditempuh dengan jet tercanggih pun. Kupikir penyatuan bathin adalah transportasi terbaik. Aku cuma modal yakin dan percaya mentok! Makanya aku berani ngirim surat buat Bapak. Hehehe…aneh ya…imajinasiku terlalu MULUK-MULUK. Maklum…aku kan pingin jadi penulis imajinasi yang handal.
Ibu melipat kembali surat yang baru saja kutulis tiga jam yang lalu dan meletakkan di bibir jendela dekat posisiku.
“Fitri…apa kau yakin, surat ini akan dibaca Bapak?†nada suaranya berat sekali, duet dengan melodi isaknya.
“Yakin sekali…†ucapku mantap.
“Tapi, Nak, Bapak itu nggak ada di sini. Jauh…jauh, Nak…ngak akan bisa terjangkau surat ini…â€
Tiba-tiba angin berhembus kencang…dan surat yang ada di bibir jendela milikku untuk Bapak itu TERBANG!
“Suratku…suratku…!†aku berdiri menatap lembar itu yang tengah meliuk di sela hembusan malam. Surat itu terbawa angin…jauh…ke atas…lalu hilang dari pandangan mataku…
“Bu…†ucapku lirih. “Malaikat postnya baru saja datang…suratku dibawa Bu…suratku terkirim…!†Aku girang memeluk Ibu.
Ibu cuma diam, meneteskan kembali air matanya…PRIHATIN melihat keadaanku. Di selip kalbunya Ibu membantin…
Ya Allah …sembuhkan anakku…
Sedang aku? Tentu saja bahagia. YESS! Suratku bakal sampai ke tangan Bapak di dunia BARZAH, PIKIRKU…
No comments:
Post a Comment