Home » » Permintaan Rizal

Permintaan Rizal

Permintaan Rizal
Penulis:Diana Roswita (Juara Hiburan LMCPI VI Annida)

Rizal minta nikah! Padahal dia kan baru kelas 3 SMU. Coba, bagaimana Mak dan Ayah tidak bingung!
“Peu kah ka pungo? Masih seumur jagung sudah minta kawin. Kawin itu tidak gampang, tau!” bentak Ayah, ketika malam itu Rizal mengungkapkan keinginannya.

“Rizal tahu, Yah. Tapi, insya Allah Rizal siap menanggung segala resiko kalau Rizal menikah nanti,” sahut Rizal, mantap.
Aku geleng-geleng kepala. Rizal, Rizal…Ayah sedang marah-marah malah dijawab. Seperti tidak tahu saja sifat Ayah. Kalau sedang marah dijawab, beliau bisa tambah naik darah.

“Mana mungkin kamu siap! Uang SPP-mu saja masih Ayah yang tanggung! Kalau sudah kawin nanti, mau makan apa istrimu, hah? Makan batu?” Tuh kan, Ayah tambah marah-marah.

“Sudahlah, Yah. Jangan marah-marah dulu. Nanti bisa kena sakit jantung,” Mak menengahi. Untunglah. Hanya dengan suara Mak yang lemah lembut, Ayah dapat dibuat tenang.

Mak lantas menoleh ke arah Rizal. “Zal, Mak tahu, kamu bukan anak-anak lagi. Tapi untuk menikah pun, kamu belum cukup umur, Nak. Rizal kan masih sekolah. Apa tidak sebaiknya memikirkan sekolah dulu sampai lulus, baru setelah itu berumah tangga?”

Rizal tertunduk. “Memang, Mak, sebenarnya Rizal bukan mau menikah sekarang. Saat ini Rizal sedang belajar dulu untuk menghadapi EBTANAS. Rizal cuma mau minta izin saja sama Mak dan Ayah. Kalau Mak dan Ayah mengizinkan Rizal untuk menikah, barulah Rizal akan semakin mempersiapkan diri.”

Mak tersenyum lega. “Nah, Ayah, sudah dengar sendiri, kan? Rizal bukannya ingin menikah sekarang.”
Ayah mengangguk-angguk. Aku pun tanpa sadar ikut menghembuskan nafas, satu kebiasaan kalau aku merasa senang melihat keadaan kembali membaik.

“Jadi…kapan, Zal, rencananya kamu menikah?” tanyaku.
Rizal tersenyum cerah. “Insya Allah tiga bulan lagi, Kak. begitu Rizal tamat SMU,” jawab Rizal dengan sumringah.
“Apa!” Aku, Mak, dan Ayah lemas seketika.
***

Siang yang terik. Aku baru pulang dari pasar Peunayong, membeli kebutuhan dapur, ketika kulihat Ayah mencuci labi-labi tua kesayangannya di depan rumah.

“Aneuk hana thee droe. Baru kemarin datang ke dunia, sudah berani mengajar orangtua,” kudengar suara Ayah menggerutu.

“I pikee mangat mita eng? Aku yang sudah setua ini saja, masih harus banting tulang mencari nafkah! Huh, memang anak kalau disekolahkan bukannya makin patuh pada orangtua, malah jadi sok pintar!” Ayah terus menggerutu dalam bahasa Aceh. Padahal sudah tiga hari ini, sejak Rizal mengutarakan keinginannya untuk menikah, Ayah tidak mau berbicara dengan Rizal. Tapi kalau Rizal sedang tidak ada, Ayah terus mengomelinya. Kalau Ayah sedang marah-marah seperti ini, sebaiknya menghindar saja. Biar aman…

Aku menyelinap lewat pintu samping. Di dapur kelihatan Mak sedang duduk sambil memijat-mijat kepalanya.
“Mak, kenapa? Mak, sakit ya?” tanyaku cemas.
“Tidak, cuma kepala Mak…rasanya pusing sekali,” Mak tampak gundah. “Sedari tadi Mak kebingungan memikirkan adikmu, si Rizal.”

Rizal lagi? Hm…aku geleng-geleng kepala. Tampaknya aku memang harus secepatnya bicara empat mata dengannya, begitu dia pulang sekolah nanti!
***
“Kak Ira tidak merasakan bagaimana sulitnya menjaga pandangan,” Rizal mengeluh dalam pertemuan empat mata kami. “Di mana-mana terlihat perempuan berbaju ketat. Memang katanya di Bumi Serambi Mekkah ini wajib memakai jilbab…Tapi kalau cuma menutup kepala, sedangkan yang lainnya tidak dijaga, ya sama saja dengan tidak pakai…”
“Jadi kamu mau nikah karena…?”

“Rizal mau menjaga keimanan Rizal dengan pernikahan ini,” angguk Rizal.
Aku menghela nafas. “Ok, Zal, Kakak ngerti. Tapi, belum tentu dengan Mak dan Ayah. Mereka tentu tidak dapat begitu saja menerima alasan kamu mau menikah karena ingin menjaga hati.
“Kakak mau Rizal MBA?”

Aku tersenyum. “Zal, kamu anak baik dan pintar. Dari kecil rajin ke masjid, di sekolah selalu rangking pertama. Langganan juara lomba pidato, azan dan cerdas cermat. Aktif di Rohis dan Remaja Masjid. Apalagi yang kurang? Bagaimana Mak dan Ayah bisa percaya kalau kamu bakal berbuat yang tidak-tidak?”

“Tapi, Kak, Rizal kan bukan malaikat. Rizal takut, suatu saat Rizal akan tergelincir.”
Aku terdiam. Rizal tampak sangat bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
“Kak, menikah itu kan sunnah Nabi. Apalagi bagi pemuda yang sudah “butuh” seperti Rizal, hukum menikah itu bisa jadi wajib lho, Kak,” lanjut Rizal ketika melihatku cuma diam.
“Iya, Kakak tahu. Tapi seperti kata Ayah, menikah itu berat. Kamu sudah siap dengan segala kosekuensi yang harus kamu tanggung sebagai kepala rumah tangga nantinya?”
“Insya Allah. Bukankah Allah sudah berjanji, akan memampukan kita dengan karunia-Nya?” Rizal malah balik bertanya dengan pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban dariku.

“Tapi, Zal, sulit meyakinkan Mak dan Ayah soal itu,” kembali kukemukakan alasanku.
“Rizal tahu. Makanya Rizal mau minta bantuan Kak Ira. Kakak kan anak kesayangan Ayah. Bagaimana kalau Kakak saja yang coba bicara dengan Ayah? Nanti Rizal coba juga bicara dengan Mak.”
Aku berpikir sejenak. Tampaknya Rizal sangat mengharapkan kesediaanku.
“Hm…Kakak coba, deh.”

Senyum Rizal terkembang. “Terima kasih, Kak.”
“Tapi, ngomong-ngomong kamu sudah punya calon belum, Zal?”
“Belum, Kak. Tapi itu sih gampang…yang penting dapat izin Mak dan Ayah dulu,” jawab Rizal santai.
“Gampang? Memangnya mudah mencari calon istri yang masih SMU?”

“Lho, Rizal tidak keberatan kok menikah dengan akhwat yang lebih tua,” jawab Rizal. “Kak Ira mau bantu kan mencarikan teman Kakak yang sudah siap nikah?
“Hah?” aku melongo.
***
Sore itu Ayah tampak lelah. Hhh…kasihan Ayah, seharian mengemudikan labi-labi berkeliling kota Banda Aceh, sedangkan penghasilan yang diperolehnya tidak seberapa. Terkadang Ayah tidak mendapatkan banyak penumpang. Selain karena tidak punya kenek, labi-labi milik Ayah juga sudah terlalu tua dan sering mogok, membuat tidak banyak orang yang mau menaikinya.

Segelas teh manis dan sepiring timphan isi srikaya kesukaan Ayah telah kusiapkan. Bahkah, begitu Ayah duduk melepas lelah di kursi, aku langsung mengipas-ngipasi dan mengelap keringat Ayah yang mentes di dahinya.

Ayah menatapku curiga.
“Sedang butuh uang? Kan uang kursus menjahitmu sudah Ayah berikan minggu lalu?”
“Tidak, Yah,” aku menggeleng sambil sibuk berpikir kira-kira bagaimana cara membuka percakapan tentang Rizal. Sementara itu aku pindah ke belakang Ayah, lalu mulai memijati bahunya.
Ayah semakin curiga.

“Jadi? Kenapa tiba-tiba jadi baik amat sama Ayah?”
“Ya, Ayah. Memangnya sekali-sekali Ira tidak boleh jadi anak yang berbakti, Yah?” aku merajuk.
“Kalau cuma sekali-sekali, ya tentu saja tidak boleh! Tapi kalau selalu, baru boleh!” kata Ayah dengan suara keras.

Aku mengkeret.
Tidak lama kemudian Ayah tertidur.
Aku urung menyampaikan maksudku pada Ayah.
Sementara itu Rizal juga mengadakan pendekatan pada Mak. Setelah mendengarkan dengan sabar sampai rizal selesai mengemukakan semua alasannya, akhirnya Mak bicara.
“Zal, dalam udeep nyoe, kita harus punya prioritas. Dulu, sewaktu Mak masih gadis Mak punya prioritas harus bisa menjahit dulu sebelum menikah. Tujuannya supaya Mak bisa membantu suami mencari nafkah setelah berumah tangga kelak. Apalagi Mak tidak sekolah tinggi, cuma tamat SR saja. Jadi, cuma menjahit satu-satunya kemampuan Mak yang dapat Mak andalkan.”

Mak terdiam sejenak.
“Sedangkan ayahmu…yah, sebenarnya beliau bercita-cita tinggi, ingin jadi insinyur pertanian. Tapi, kondisi ekonomi juga yang membuat semuanya tidak memungkinkan. Ayah pernah bekerja menjadi pembantu rumah orang, dan sebenarnya pemilik rumah orang yang baik, mau membantu membiayai sekolah ayahmu. Tapi, malangnya beliau cepat dipanggil Tuhan, sehingga ayahmu pun terpaksa putus sekolah sewaktu SMA.

Mak menghela napas sesaat, kemudian menatap Rizal.
“Beranjak dari pengalaman pahit itulah, Mak dan Ayah bertekad akan menyekolahkan kalian berdua setinggi mungkin. Kakakmu Ira cuma dapat kami biayai sampai SMU. Tapi untukmu Zal, Ayah dan Mak akan berusaha sekuat tenaga. Kalau perlu rumah ini pun akan kami jual untuk biaya kuliahmu. Karena itu, Mak harap, jangan patahkan harapan Mak dan Ayah, Zal…”
Rizal cuma tertunduk, tanpa sepatah kata pun.

Sejak itu Rizal tidak pernah menyinggung-yinggung lagi masalah pernikahan. Sebaliknya ia semakin giat belajar menghadapi ujian. Sesuatu yang melegakan Mak dan Ayah.
***
Suatu hari Rizal pulang membawa kabar baik. Dia diterima di fakultas ilmu komputer UI! Tentu saja kami semua sangat gembira mendengarnya. Ayah tidak henti-hentinya melakukan sujud syukur. Mak bahkan sampai meneteskan air mata karena terharu.

“Pokoknya, Zal, untuk biaya kuliah dan hidupmu di Jakarta nanti, Ayah akan jual sawah warisan Abusyhik di desa. Yang penting cita-citamu yang setinggi langit harus tercapai, Neuk!” Baru sekali itu Ayah memanggil Rizal dengan sebutan “Neuk”.
Rizal mengangguk sambil mencium tangan Ayah dengan takzim. “Insya Allah, Yah. Ayah doakan Rizal, ya,” ucap Rizal.

Seisi rumah diliputi rasa bahagia. Tapi…ada yang mengganjal di sudut hatiku. Rizal akan tinggal di Jakarta? Ah, godaan di sana jauh lebih berat daripada di sini. Akankah Rizal sanggup bertahan?
***
Tanpa rasa sudah lima tahun Rizal pergi merantau meninggalkan rumah. Selama itu dia tidak pernah pulang ke Banda Aceh, dan sebaliknya kami pun tidak pernah datang menjenguk Rizal. Biasa, masalah biaya. Namun Rizal rutin mengirim surat ke rumah. Melalui berita-berita yang disampaikannya melalui surat, kekhawatiranku yang sempat timbul dulu perlahan pupus. Rizal berada dalam komunitas muslim yang baik. Insya Allah , sedikit banyak dapat membantunya mempertahankan iman.

Tidak lama lagi Rizal akan diwisuda, dan sesuai janjinya segera setelah itu dia akan kembali ke Tanah Rencong. Ah, kami sangat bahagia dapat segera bersua kembai dengan Rizal. Apalagi ada sesuatu yang juga akan semakin menambah kebahagiaan kami selain kepulangan Rizal…Ya, sebentar lagi insya Allah aku akan segera menikah. Calon suamiku seorang sutadz dan masih ada hubungan famili.
Beberapa waktu menjelang kepulangan Rizal, pada suatu malam tanpa sengaja aku mendengarkan percakapan Mak dan Ayah.

“Ayah, masih ingat tidak permintaan Rizal sewaktu dia hampir tamat SMU dulu?” lirih suara Mak.
“Permintaan yang mana/”

“Itu…soal minta izin kita, buat dia menikah.”
Sunyi sejenak. Kemudian Mak meneruskan, “Mak merasa bersalah juga karena menghalangi permintaan Rizal. Apalagi karena alasan dia baik, yaitu untuk menjaga diri. Mak selalu khawatir dan takut berdosa karena membiarkan Rizal pergi seorang diri ke Jakarta. Mak takut dia mengalami kejadian seperti anak Bu Maini.”

“Anak Bu Maini yang gadis itu, Maksud, Mak?”
“Iya, dialah. Meskipun masih gadis, tapi sebentar lagi dia akan punya anak. katanya itu akibat cara bergaul dia yang terlalu bebas.”
“Ah, Mak nyoe, yee that. Anak kita tidak seperti itu.”
“Memang Mak juga yakin Rizal tidak seperti itu, tapi Ayah jangan terlalu senang. Apalagi dia tinggal jauh dari kita, bagaimana kita tahu kalau dia tidak berbuat macam-macam?”
Ayah cuma diam.

“Pokoknya kalau Rizal pulang nanti, kita jangan lagi menghalang-halangi keinginannya buat menikah. Makin cepat makin baik. Tidak usah menunggu dia dapat kerja dulu pun tak mengapa.”
Karena Ayah masih diam, Mak pun langsung bertanya, “Bagaimana, Ayah? Kan bagus kalau nanti acara Intat Linto si Ira kita sekaliankan dengan Tueng Dara Baro Rizal. Bisa menghemat biaya.”
Ayah menghela nafas sejenak. Kemudian bersuara, “Ya…memang selama ini pun, sejak Ayah rajin pergi ke masjid, Ayah pernah dengar Teungku Imuem bilang kalau pemuda yang sudah mampu itu sebaiknya segera menikah. Bahaya kalau ditunda-tunda.”

“Jadi, Ayah setujulah dengan Mak?”
“Ya…begitu Rizal pulang nanti, Mak bilang sama dia kalau Ayah sudah izinkan dia untuk menikah.”
“Alhamdulillah…senang Mak mendengarnya.”
Alhamdulillah, ulangku dalam hati. Berita baik buat Rizal telah menunggunya kelak, begitu dia kembali ke rumah.
***
Hari ini Rizal pulang. Aku, Mak, dan Ayah sudah menunggu sejak pukul tujuh pagi di Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya. Sebenarnya masih lama Kapal Sangiang yang kami nanti kedatangannya muncul, tapi Ayah bersikeras, kami sudah harus tiba di pelabuhan sepagi mungkin.
Untung Ayah punya labi-labi ini. Kita harus bersyukur, tidak perlu berdesakan naik labi-labi punya orang,” ucap Ayah.

Aku mengangguk, lalu berhamdalah dua kali dalam hati. Sekali karena apa yang dikatakan Ayah, dan yang kedua karena aku senang melihat Ayah telah banyak berubah. Ayah jadi lebih alim dan tidak cepat marah lagi sekarang.

Ketika KM Sangiang mulai tampak di kejauhan, Ayah langsung berdiri dari tempat duduknya.
“Dalam kapal itu ada anakku! Anakku yang baru pulang jadi sarjana di Jakarta!” teriak Ayah lantang, menarik perhatian orang-orang.

Saat kapal merapat, para penjemput termasuk kami bergegas mendekat. Sulit mencari sosol Rizal di tengah lautan manusia seperti ini. Apalagi aku yain, lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mengubah penampilan seseorang.

Mata kami masih sibuk mencari-cari ketika seorang pria berjenggot tipis, berbaju koko dan berpeci menghampiri kami. Dia ditemani seorang wanita berjilbab yang menggendong seorang anak berusia sekitar satu setengah tahun.
Pria itu menghampiri Ayah.

“Ayah, ini Rizal, Yah,” ucapnya tanpa disangka-sangka. Kami seketika terperangah.
“Ri…Rizal?” tanya Ayah memastikan.
Rizal mengangguk.

“Dan…ini?” Ayah mengedarkan pandangan ke arah wanita di samping Rizal.
Rizal tertunduk. “Maafkan Rizal, Yah. Diam-diam, tanpa memberitahu Ayah dan Mak, Rizal telah menikah sejak semester satu dulu. Rizal terpaksa melakukannya, demi menjaga iman Rizal. Dan sekaligus Rizal ingin membuktikan, bahwa Rizal memang telah mampu menjadi kepala keluarga. Tapi Rizal belum berani menyampaikannya kepada Ayah dan Mak…Rizal cuma berusaha sekuat mungkin, agar bisa lulus kuliah tepat pada waktunya. Dan selama ini Rizal juga telah bekerja dengan cara mengamalkan ilmu yang Rizal miliki. Semua ini sebagai bukti akan janji yang pernah Rizal ucapkan dulu, Yah.”

Sunyi. Tidak terdengar jawaban Ayah dan Mak. Rizal mengangkat wajah, dan seketika raut mukanya berubah. Mak sedang mengusap-usap bahu istri Rizal, dan Ayah dengan suka cita menggendong anak Rizal, cucu Ayah dan Mak.
Untuk beberapa saat Rizal masih menatap dengan takjub, kemudian dia mengalihkan pandangan ke arahku.

“Kak Ira…?” dia seperti minta penjelasan.
Tapi aku cuma tersenyum. Penuh arti.

Keterangan:
-Peu kah ka pungo: apa kamu sudah gila
-Labi-labi: angkot
-Aneuk hana thee droe: anak tidak tahu diri
-I pikee mangat mita peng: dipikirnya mencari uang itu gampang
-Timphan: kue khas Aceh
-Udeep nyoe: hidup ini
-Abusyhik: kakek
-Neuk: nak (anak)
-Mak nyoe yee that: mak terlalu khawatir
-Intat linto: upacara menyambut mempelai pria
-Tueng dara baro: upacara menyambut mempelai wanita
-Teungku imuem: imam masjid

Share this article :

No comments:

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Selamat Datang - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger