Home » » MAIPA DEA PATI

MAIPA DEA PATI

MAIPA DEA PATI
Penulis:Novia Syahidah

Suasana di sekitar istana raja Sumbawa terlihat ramai dan meriah. Istana megah dengan 99 tiang penyangga dan 40 anak tangga. Di halaman samping istana telah berkumpul para pemain raga , permainan paling terkenal di daerah Sumbawa. Ini adalah hari pertunangan Maipa Dea Pati , putri raja Sumbawa, dengan saudara sepupunya yang bernama Demung Alas.

“Ayolah, Dea Pati! Jangan berkurung diri terus di kamar. Lebih baik kita menonton pertandingan raga di luar.”
Maipa Dea Pati menggeleng. “Tidak, Bibi Dayang. Saya merasa sangat lemah dan letih.”
“Karena itulah, Dea Pati harus pergi menghibur diri. Agar penyakit yang Dea Pati derita itu terobati. Dea Pati harus bergembira, tidak boleh bersedih terus.” Sang dayang terus membujuk.

“Bibi Dayang, bagaimana saya tidak bersedih, padahal ini adalah hari yang saya benci. Saya tidak suka ditunangkan dengan Demung Alas!” Maipa Dea Pati menatap mata dayangnya dengan putus asa.
“Tapi bukankah Demung Alas itu tampan? Kenapa Dea Pati tidak menyukainya?”

“Bukan soal tampan, Bibi. Tapi soal hati! Saya menginginkan seorang suami yang bisa menjadi imam bagi saya. Dan hal itu tidak saya temukan pada diri Demung Alas. Sudahlah, saya ingin istirahat, Bibi. Bisa tinggalkan saya sendiri?”

“Baiklah. Tapi Dea Pati harus janji, tidak akan bersedih lagi dan harus kembali sembuh seperti semula.” Mata dayang sepuh itu setengah merajuk. Maipa Dea Pati hanya tersenyum. Baginya wanita tua itu sudah seperti ibunya sendiri. Sebab sejak ibu Maipa Dea Pati meninggal, dayang itulah yang paling memperhatikannya.

Suasana di luar istana kian meriah. Beberapa pemain raga terkenal telah menunjukkan kebolehannya di hadapan raja Sumbawa, Dea Rangang.
“Kini giliran pemuda miskin itu, Dea . Permainannya pasti akan jadi bahan tertawaan orang-orang.” Demung Alas berbisik di telinga Dea Rangang.

Dea Rangang mengangguk setuju. Inilah yang mereka tunggu-tunggu, yaitu saat muka pemuda yang duduk diam di sudut halaman itu merah padam karena malu.
“Hei, Datu Museng! Kini giliranmu!” Dea Rangang berseru lantang. Mendengar itu, pemain yang lain mundur ke pinggir, memberi kesempatan pada pemuda dari Lombok itu.

Datu Museng mengangguk. Perlahan ia melangkah ke tengah halaman, lalu memungut raga dengan tenang. Sejenak ia melirik Demung Alas yang nampak tersenyum sinis ke arahnya. Hatinya merasa, bahwa ini adalah rencana Demung Alas untuk menjatuhkan namanya.

“Bismillahirrahmaaniraahiim…” Datu Museng berbisik lirih sebelum memainkan raga di tangannya. Sesaat kemudian terlihat benda bulat dari anyaman rotan itu melayang setinggi tiga meter. Dan apa yang kemudian mereka saksikan adalah sebuah pertunjukan yang sangat menakjubkan. Semua penonton berdecak kagum. Bahkan tak sedikit yang menahan napas saking takjubnya.

Dea Rangang dan Demung Alas melongo tak percaya. Apa yang mereka lihat itu adalah sesuatu yang sangat diluar dugaan. Selama ini, baik Dea Rangang maupun Demung Alas, tak pernah mendengar bahwa pemuda itu bisa memainkan raga. Apalagi sehebat itu. Raga yang dimainkan Datu Museng tak sekalipun jatuh menyentuh tanah.

Sebagian penonton mulai bersorak menyemangati. Kecuali Dea Rangang dan Demung Alas tentunya yang kini hanya bisa memasang muka kecut. Gagal sudah niat mereka mempermalukan Datu Museng.
Maipa Dea Pati yang sedang berbaring di kamarnya jadi heran mendengar suara riuh di luar kamarnya. Apa yang mereka soraki sampai begitu riuh? Rasa heran itu membuatnya bangun perlahan. Lalu dengan perlahan pula ia mendekati jendela kamar yang berhadapan langsung dengan halaman samping, tempat orang-orang itu sedang berkumpul.

Matanya menatap terpaku ke tengah halaman, mengawasi pemuda yang sedang memainkan raga itu. Dan tiba-tiba…
Wuuusss! Raga itu melayang tinggi ke atas, melewati jendela tempat ia berdiri. Pada saat itulah dua pasang mata beradu pandang. Maipa Dea Pati terkesiap. Ia tak percaya akan apa yang dilihatnya. Secepat kilat ia mundur, menyembunyikan diri dari tatapan pemuda itu.

Datu Museng yang juga terkejut segera mengendalikan diri tepat ketika raga jatuh di hadapannya. Dea Rangang dan Demung Alas kian tak tenang. Hup! Datu Museng menangkap raga dengan sigap dan meletakkannya kembali di tanah. Ia telah mengakhiri permainannya dengan menakjubkan.
***
Maipa Dea Pati menatap cermin di depannya. Cermin yang memantulkan bayangan wajahnya yang cantik jelita meski dalam keadaan sakit. Di kerajaan Sumbawa ini, tak seorangpun yang mampu menyaingi kecantikannya. Tak heran, jika banyak pemuda yang memimpikannya, termasuk para pajabat Belanda ketika itu. Namun Maipa Dea Pati tak pernah menanggapinya.

Sampai kemudian Demung Alas menyatakan keinginannya untuk melamar Maipa Dea Pati. Ayahnya, Dea Rangang, langsung menyetujui. Sebab Demung Alas masih kerabat kerajaan Sumbawa yang bermukim di kampung Alas. Barulah Maipa Dea Pati merasa gusar. Hatinya terus gelisah dan memberontak, hingga akhirnya ia pun jatuh sakit. Baginya Demung Alas bukanlah sosok yang ia harapkan untuk menjadi suaminya. Bukan!

Sosok itu hanya ada pada satu nama. Datu Museng! Ya, dialah pemuda yang telah lama merebut hati Maipa Dea Pati. Pemuda yang pernah tinggal di Madinah cukup lama sebelum akhirnya pulang ke tanah air dan menjadi guru mengaji di Rinjani. Pada sosok itu pulalah Maipa Dea Pati pernah berguru. Belajar Islam dan ayat-ayat suci al-Quran.

Dea Rangang bukannya tak tahu perkembangan itu. Ia pun langsung melarang putrinya pergi ke Rinjani. Maipa Dea Pati hanya bisa menurut, namun hati yang telah tertambat amatlah sulit untuk dipisahkan.

Kini rencana pertunangannya dengan Demung Alas semakin dekat, tapi sakit yang dideritanya tak kunjung sembuh juga. Bahkan setelah pertandingan raga itu selesai, sakit Maipa Dea Pati malah semakin parah.
***
Hari-hari yang menyiksa terus berlalu. Kini sang putri berparas jelita itu sudah tidak mau makan apa-apa. Tubuhnya semakin kurus, dan hanya mampu berbaring di kamarnya.
Dea Rangang mulai panik. “Cari dukun terbaik dan panggil ke sini!”
Maka para pengawal kerajaan pun menyebar mencari dukun yang sakti untuk mengobati Maipa Dea Pati. Hampir tiap hari didatangkan dukun yang konon terkenal sakti di negeri itu. Sampai tujuh dukun yang mencoba mengobati, namun semuanya gagal.

“Saya rasa hanya ada satu orang yang bisa mengobati penyakit Dea Pati itu, Dea.” Seorang pengawal datang menghadap.
“Siapa? Cepat katakan!” Wajah Dea Rangang penuh harap.
“Seorang pemuda bernama Datu Museng yang tinggal di desa Jereweh.”
Dea Rangang terperanjat. “Apa??? Pemuda tak tahu diri itu?!”
“Tapi memang hanya dia yang memiliki ilmu pengobatan paling ampuh di negeri ini, Dea. Apa salahnya kita mencoba.”

Dea Rangang terdiam. Ya, apa salahnya mencoba? Yang penting Maipa sembuh dulu, nanti setelah itu baru pemuda itu yang diurus. Ia membatin sendiri.
“Baiklah. Panggil dia kemari!”
***
“Bukankah Dea sendiri yang mengatakan bahwa saya tidak pantas masuk ke istana ini?” Datu Museng berdiri tegak di hadapan Dea Rangang. Ia tahu betul, Dea Rangang tidak menyukainya hanya karena rasa suka Maipa Dea Pati terhadap dirinya. Sementara ia hanyalah orang biasa, bukan keturunan raja-raja.

“Sudahlah, Datu. Kita lupakan saja semua perselisihan itu. Sekarang kami sangat mengharapkan bantuanmu. Terutama putriku. Dia sudah sangat menderita.” Dea Rangang berusaha memembujuk Datu Museng.

Akhirnya Datu Museng tidak punya pilihan lain. Ketika langkahnya sampai di pintu kamar Maipa Dea Pati, ia pun berhenti. Ada rasa tidak patut baginya untuk terus melangkah masuk.

“Masuklah, Datu!” Dayang sepuh yang menjaga Maipa Dea Pati memanggil dari balik kain pintu yang terkuak. Datu Museng menarik napas lega, berarti Maipa Dea Pati tak sendirian di dalam. Perlahan ia pun melangkah masuk. Hatinya begitu miris melihat keadaan putri yang baik hati itu. Terlebih ketika Maipa Dea Pati menatapnya dengan sorot sedih.

“Datu, sebelum Datu mengobati saya, saya ingin menanyakan sesuatu,” kata Maipa Dea Pati dengan suara lemah.
“Silakan, Dea Pati.”
“Apakah dalam Islam, seorang gadis tidak berhak untuk menolak lelaki yang akan dinikahkan dengannya?”
Datu Museng diam sejenak. “Tentu saja ia berhak untuk menolak atau menerima. Tapi tentunya dengan alasan yang benar.”

“Apakah penolakan itu salah jika alasannya adalah karena ia lebih memilih laki-laki lain yang baik agamanya?” tanya Maipa Dea Pati lagi.
“Justru itulah alasan yang paling baik. Menghindari laki-laki yang buruk agamanya dan memilih laki-laki yang baik agamanya. Sebab laki-laki adalah imam bagi wanita.”

Jawaban Datu Museng itu membuat paras Maipa Dea Pati langsung berubah cerah. Inilah yang ia tunggu-tunggu. Sebuah kepastian yang bisa ia jadikan pegangan dalam melangkah.
“Datu memang orang yang arif. Sejak saya belajar mengaji pada Datu di Rinjani dulu, saya sudah yakin bahwa Datu adalah orang yang baik dan pantas menjadi imam saya.”
“Maksud Dea Pati?” Datu Museng mengerutkan alis.

“Datu, bawalah saya keluar dari istana ini. Tempat ini seperti neraka bagi saya. Saya tidak menyukai Demung Alas. Saya tidak mau menikah dengannya!”
Datu Museng tersentak. Melarikan Maipa Dea Pati? Sungguh, tak pernah terpikirkan hal itu olehnya.
“Jika Datu keberatan, saya tidak akan memaksa. Silakan tinggalkan kamar ini. Saya tidak butuh obat lagi! Dan biarlah ini menjadi pertemuan kita yang terakhir!” Tandas kalimat Maipa Dea Pati. Datu Museng masih terdiam bisu. Ia tak tahu harus berkata apa. Ini benar-benar mengejutkan. Permintaan Maipa Dea Pati itu seperti makan buah simalakama baginya.

“Apa lagi yang kau tunggu, Datu? Pergilah!”
Datu Museng tersentak lagi. Ia masih tak mampu berkata apa-apa ketika membalikkan badan dan melangkah tertunduk meninggalkan kamar Maipa Dea Pati.
“Maipa, apa yang Maipa katakan? Mengapa Maipa ingin melarikan diri dengan pemuda itu?” Dayang sepuh bertanya tak mengerti. Tampak kecemasan di wajah tuanya.
“Bibi Dayang, dialah orang yang saya maksudkan. Dialah pemuda yang saya harapkan akan menjadi suami saya. Tapi… dia telah menolak saya. Semuanya telah selesai,” desah Maipa Dea Pati sendu. Matanya mulai berlinang. Dayang sepuh membelainya penuh kasih. Hatinya ikut pilu. Ia sangat mengerti perasaan Maipa Dea Pati.

“Tapi dia benar, Dea Pati. Tidak patut baginya melarikan putri orang, apalagi putri seorang raja seperti Dea Pati ini. Itu akan membuatnya merasa bersalah pada kerajaan dan mencoreng nama baiknya. Dea Rangang bisa membunuhnya. Lagi pula, dia tampak sangat alim. Tentulah permintaan Dea Pati yang berlebihan itu terasa sangat sulit baginya.” Sang dayang berusaha memberi pengertian.
Maipa Dea Pati menatapnya tajam. Kalau begitu… berarti ada cara lain! Dan sesaat kemudian ia pun tersenyum. “Kau benar, Bibi. Tidak begitu seharusnya.”

“Berjanjilah pada saya, bahwa Dea Pati tidak akan punya pikiran seperti itu lagi.” Dayang itu membujuknya. Maipa Dea Pati hanya tersenyum tipis. Segalanya telah terang baginya kini. Ia tahu apa yang harus dilakukannya.
***
Sejak kedatangan Datu Museng ke istana, keadaan Maipa Dea Pati tampak membaik. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, ia sudah kembali terlihat ceria. Dea Rangang pun gembira, ia mengira putrinya telah diberi obat penawar oleh Datu Museng tanpa meminta imbalan apapun. Ya, Datu Museng memang tak mengatakan apapun ketika hendak pulang, hanya mukanya yang terlihat muram saat meninggalkan istana. Ia bahkan tak menyahut ketika salah seorang penjaga istana menawarkan hadiah. Benar-benar manusia yang aneh. Mengapa Maipa bisa jatuh cinta pada pemuda semacam itu? Dea Rangang membatin sendiri.

“Dea, saya ingin menyampaikan sesuatu.” Maipa Dea Pati mendekati ayahnya.
“Ada apa, Maipa putriku?” Dea Rangang tersenyum.
“Waktu sakit dulu saya telah berjanji. Jika saya sembuh, saya akan pergi mandi dengan ditemani oleh seluruh dayang istana. Nah, sekarang saya sudah merasa cukup sehat dan ingin segera menunaikan janji itu. Apakah Dea mengijinkan?”

“O, tentu saja. Semua orang akan senang melihatmu seperti ini. Ingat, sebentar lagi hari pernikahanmu akan tiba, jadi kau harus tetap sehat dan cantik. Baiklah, kumpulkan semua dayang untuk menemanimu malam ini.” Dea Rangang terlihat lega.

Maka malam itu dikumpulkanlah semua dayang istana. Masing-masing mereka menggenggam obor di tangannya untuk penerangan. Dan memang begitulah kebiasaan Maipa Dea Pati sejak dulu. Ia selalu mandi pada malam hari.

Tidak lama, tampaklah iring-iringan para dayang meninggalkan istana. Sinar obor yang berbaris-baris tampak menyusuri jalan setapak menuju Aik Awak, tempat mandi Maipa Dea Pati. Begitu sampai di tepi mata air, mereka pun berhenti.

“Tolong matikan semua obor itu! Saya tidak mau ada yang melihat saya mandi. Dan jangan ada yang menyalakannya sebelum saya suruh!” kata Maipa Dea Pati. Maka sesaat kemudian Aik Awak pun gelap gulita. Semua obor telah padam.
Waktu terus berjalan. Tak terasa sudah hampir satu jam Maipa Dea Pati mandi berendam, tapi belum juga terdengar perintah untuk menyalakan obor. Dayang sepuh mulai gelisah. Ia pun mencoba memanggil, tapi tak ada sahutan. Firasatnya mulai berkata lain.

“Nyalakan obornya! Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Maipa!” serunya panik. Para dayang pun kembali menyalakan obor mereka. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika menyadari Maipa Dea Pati sudah tidak ada di sana.

“Dea Pati nonda ! Dea Pati nonda!” Mereka berseru hampir serentak. Kepanikan pun terjadi.
Sementara di tempat lain, di sebuah jalan kecil menuju desa Jereweh, tampak sosok Maipa Dea Pati berkelebat. Kegelapan tak sanggup mematikan nyalinya, bahkan jarak yang begitu jauh pun tak mampu mematahkan semangatnya untuk terus memacu kuda tunggangannya sekencang mungkin. Orang-orang tentu tidak akan lupa bahwa Maipa Dea Pati adalah seorang penunggang kuda yang sangat mahir.
***
Kerajaan Sumbawa gempar. Demung Alas pun patah arang. Calon istrinya melarikan diri. Dea Rangang tak mampu lagi menahan kemarahannya. Seluruh pengawal istana diperintahkan menyebar ke seluruh wilayah kerajaan. Menyisir setiap garis pantai dan perbukitan. Dea Rangang benar-benar kalap, ia bahkan juga minta bantuan Belanda untuk mencari putrinya.

Imbalannya tak tanggung-tanggung, yaitu Maipa Dea Pati sendiri! Ia sudah tak peduli pada pertunangan putrinya dengan Demung Alas. Gubenur Belanda yang memang sudah lama menaruh hati pada putri kerajaan Sumbawa itu tersenyum senang. Ia pun jadi begitu bersemangat mengutus pasukannya ke Jereweh, desa pertama yang jadi sasaran pencarian mereka.

Rumah Datu Museng dikepung beramai-ramai. Seruan agar penghuninya segera menyerahkan diri, tak mendapat sahutan. Sepi.
“Dobrak pintunya!”
Maka dalam sekejap, pintu kayu itu pun roboh dihantam seorang anggota pasukan. Namun tetap sepi. Rumah itu kosong melompong. Jauh di ujung Timur pulau tersebut terlihat sebuah kapal bertolak menuju Makassar. Sebuah negeri yang kelak akan mengukir sejarah lain dalam kehidupan Datu Museng dan Maipa Dea Pati. (NoS)

Share this article :

No comments:

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Selamat Datang - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger