Home » » JEJAK HITAM BIDADARI BIRU

JEJAK HITAM BIDADARI BIRU

JEJAK HITAM BIDADARI BIRU
Penulis:Senandung Dindanie

Arum kaget dan gugup begitu Hikam muncul di toko busana muslim tempatnya bekerja. Hikam tak sendiri. Seorang cewek menawan dalam balutan busana muslimah ikut menemani—cewek berwajah riang yang tampak ramah. Berbilang bulan pelanggan setia ini tak datang lagi. Tiba-tiba ia muncul begitu saja seperti dari balik lantai.

“Assalamualaikum, Mbak Arum, ya. Saya Ilma, adiknya Mas Hikam,” ucap sang cewek mengejutkan Arum. Persis ketika Arum masih sibuk menerka-nerka, tiba-tiba cewek itu menghampiri sembari memberi salam, tersenyum seraya mengulurkan tangan.

“Iya…Waalaikum salam, ” Arum ikut senyum, tanggung dan canggung. Wajah putihnya langsung merah jambu. Sejenak ia lupa tugasnya sebagai pramuniaga. Mbak Shanti, pemilik toko yang sejak tadi memperhatikan tingkah Arum tersenyum maklum. Untungnya, Ilma yang berpembawaan riang merebakkan atmosfir santai dan ceria, sehingga dag-dig-dug-dernya Arum bisa teredam.

“Kamu tadi lucu, deh, Rum,” canda Mbak Shanti setelah kedua tamu tokonya pergi. “Oh, ya, yang tempo hari masih berlaku, tuh.”

Yang tempo hari…apaan, Mbak,” ucap Arum, nervous-nya masih membekas.
“Duh, adindaku bidadari biru. Itu lho, yang Mas Hikam minta ke kamu.”
“Oh…” wajah putih Arum yang tadi merona merah jambu mendadak sepucat bulan tua.

Adalah Hikam yang menjuluki Arum ‘bidadari biru’. Mungkin lantaran dara rupawan itu senang mengenakan busana biru. Arum sendiri miris dengan sebutan itu.

Yang mengherankan Mbak Shanti, kenapa wajah Arum selalu pucat pasi ketika dikabarkan ada cowok hendak meminangnya? Binar matanya mendadak pudar mendengar ada yang mau melamar. Apalagi cowok sekeren Hikam, yang telah mapan bekerja di perusahaan besar. Mbak Shanti sudah lama merasa, Arum yang sudah dianggap adik sendiri itu menyembunyikan sesuatu.

Arum memang selalu gelisah mendengar kalangan ikhwan tertarik ingin meminangnya. Tak satupun yang direspon positif. Arum menampakkan sikap acuh tak acuh. Kepada Mbak Shanti, ia selalu mengemukakan alasan yang sama; belum siap. Ya, dengan wajah memucat. Belakangan hadirlah Hikam yang begitu kesemsem pada Arum.

Hikam merasa belum mutlak ditolak mendengar Arum belum siap. Meskipun Mas Catur, suami Mbak Shanti, menyarankan agar Hikam mengalihkan pilihan. Mas Catur merasa, Arum yang sekedar lulusan SMP bakal kesulitan beradaptasi dengan keluarga besar Hikam yang terpelajar.

“Bukan mau merendahkan Arum. Tapi kita kan tahu corak keluarganya Hikam. Kasihan Arum nanti,” kata Mas Catur suatu kali pada Mbak Shanti. Namun Shanti yang kurang sependapat dengan suaminya itu bilang, “Kita serahkan Allah saja deh. Yang tidak baik menurut kita kan belum tentu tidak baik juga dalam pandangan Allah.”

Hikam sendiri tak peduli. Meskipun bagai menggapai tak jua sampai, ia rajin berkunjung ke toko. Memanjakan emosinya, sekedar menghirup angin yang bergetar oleh kapak sayap sang bidadari biru. Ada saja yang dibeli. Baju koko, peci, sarung, termasuk kerudung untuk adik perempuannya yang masih SMU di Bandung. Arum sendiri, yang berusaha tampil wajar, tak sepenuhnya berhasil meredam rasa gamang dengan kehadiran Hikam.

Malamnya, Arum rebah dalam deraan gelisah. Ketika getar emosinya membuncah, ia segera membenamkan wajah ke bantal yang lantas basah oleh campuran keringat dan air mata. Tubuhnya terguncang-guncang oleh gejolak dahsyat dalam dadanya, seperti orang terserang hebatnya demam. Tapi tangisnya hampir tak terdengar, kecuali isak halus bercampur kalimat istighfar terputus-putus. Arum selalu menyusupkan wajah ke bantal saat menangis. Ia tak ingin ada orang mendengar isaknya yang kadang menderu. Apalagi Mbak Shanti, jangan sampai tahu. Kamarnya yang menempel di belakang toko ada di pekarangan rumah Mbak Shanti.

Bayangan masa lalu yang hitam menghantuinya dengan seringai kelam. Jejak-jejak luka kembali terasa berdarah lagi, pedih dan perih. Ya Rahman…Ya Rahim…” Arum berusaha menggerakkan hati dan bibirnya menghayati Asma Allah. Hanya kepada Rabb-nya ia terbuka mengungkapkan segala.

Arum baru lulus Madrasah Tsanawiyah (SMP) ketika terbujuk mengadu nasib ke Batam. Orangtuanya, meskipun berat hati, terpaksa memberi restu. Mereka memang tak mampu lagi membiayai kelanjutan sekolah putri sulungnya itu. Lagi pula, siapa tahu kelak Arum bisa mencerahkan ekonomi keluarga. Bersama beberapa dara sebaya dari kabupaten yang sama, Arum diboyong tante Narie ke Batam. Janjinya, mereka akan dipekerjakan di restoran dengan gaji menggiurkan. Arum pun terbuai mimpi, terbang ke langit tinggi.

Kenyataannya ia terjerumus ke dalam kubangan lumpur. Tante Narie yang bermulut manis ternyata cuma gombal jalang yang licik. Para perawan desa itu tak bekerja di restoran seperti dijanjikan, melainkan dijual kepada seorang mucikari. Nurani perempuan itu telah binasa dengan memainkan sandiwara iblis yang penuh tipu daya ke desa-desa.

Para perawan bau kencur itu tak berdaya, hanya bisa menderaikan air mata. Mereka diancam dan dipaksa harus melayani syahwat lelaki bejat. Arum sampai sakit, demam tinggi beberapa hari sehabis dirajam nafsu biadab pemangsa anak ingusan asal Singapura di malam jahanam pertamanya.

Rumah berlantai dua dengan pagar tinggi tempat Arum dan teman-teman senasib tinggal tak ubahnya penjara. Gerak-gerik mereka diawasi ketat oleh beberapa lelaki kekar bertampang sangar. Bulan pertama dilalui Arum dengan setengah linglung. Sang mucikari yang merasa gagal membujuk Arum dengan semua jurus gombalnya acap uring-uringan lantaran Arum sering menangis dan sakit-sakitan.
Mungkin Arum agak beruntung, tak mendapat perlakuan kasar seperti pernah ia saksikan menimpa beberapa temannya, sampai kena tempeleng lantaran dianggap membangkang. Wajah cantiknya yang menawan, bibir sensualnya yang ranum, tubuh indahnya yang masih amat segar, membuat mucikari memperlakukannya dengan manis. Bagi sang mucikari, Arum adalah tambang emas yang harus dirawat dengan hati-hati.

Seiring dengan perguliran waktu, Arum mulai terbiasa dengan noda kehidupan yang melumurinya tanpa ampun. Helen, begitu nama Arum di keremangan Batam, menjelma menjadi primadona lelaki berhati belang yang tebal kantong. Pemilik tinggi semampai berkulit bersih, dengan segala daya pikat alaminya, memenuhi semua syarat untuk menjadi primadona. Mulailah Arum coba-coba belajar menyalakan bara api, membiasakan menghisap kepulan asap, belajar menikmati cairan memabukkan. Apalagi para seniornya, terus memasok semangat dan menularkan gairah. Tapi Arum tak sepenuhnya berhasil mengusir semua kegelisahan. Hatinya tak juga bisa tentram.

“Kita bisa apa? Sudah kepalang basah. Menyesal pun tak berguna. Lebih baik dibikin enjoy sajalah. Kalau terus susah hati kita malah rugi dua kali. Yang penting kita cari uang sebanyak-banyaknya, ditabung atau kirim ke kampung.”

“Tapi ini kan dosa, Kak.”
“Helen, aku ini dulu juga rajin salat. Mengaji pun tak kalah pandai dengan kamu. Sudahlah, pokoknya keluarga kita di kampung bisa bebas dari kemiskinan. Kamu pikir aku mau begini selamanya. Aku mau mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Dan kamu, orang secantik kamu bisa mandi uang di sini.”

“Kak Christine dan yang lainnya enak, bebas keluar rumah. Aku dilarang. Kalaupun diizinkan, pakai dikawal segala.”

“Bos takut kamu kabur. Dulu aku juga dikekang. Aku sudah empat tahun di sini. Kalau kamu baik-baik, nanti juga dibolehkan Bos keluar. Bisa jalan-jalan, nonton, belanja.”

Arum belajar banyak dari Christine, temannya yang paling akrab. Tapi nuraninya kerap meletup-letup, memberontak. Ia sempat mendadak pusing, limbung, dan berdebar tak karuan saat jalan-jalan di mal, mendengar lantunan ayat Quran dari sebuah toko VCD. Serta merta ia terkenang kedamaian kampung halaman, ingat keluarga, ingat teman-teman pengajian. Dua pengawalnya kaget dan segera memapahnya masuk mobil.

Meskipun telah berusaha cukup keras, Arum gagal meredam suara batin yang terus menghentak di bawah sadar. Mimpi buruk pun sering menerornya. Kadang ia merasa iri juga pada Christine dan rekan lain yang bisa menikmati keadaan. Malah bisa bersenda-gurau melewati malam jahanam dengan si hidung belang. Sering Arum berniat melarikan diri, tapi tak jadi-jadi. Cuma Christine yang tahu, kalau diam-diam, Arum kadang salat di kamarnya dan mengaji dengan suara lembut perlahan.

Kedekatan Arum dan Christine menumbuhkan rasa saling menyayangi. Christine pun memperlakukan Arum seperti adik kandung, selalu membela dan melindunginya, termasuk dari beberapa rekan seprofesi yang memendam iri dengki.

Melihat arum kian sering melamun dan sesunggukan saat curhat, serta tetap menyimpan keinginan pulang kampung, akhirnya Christine luluh. Ia pun nekat menyusun siasat untuk Arum melarikan diri. Christine mengurus tiket pesawat dan menjelaskan segala sesuatunya kepada Arum yang belum pernah menginjakkan kaki di bandara.

“Nanti kamu menyelinap keluar setelah Bang Dosor tidur, langsung naik taksi ke bandara. Pesawatmu jam lima. Bang Dosor itu selalu tidur kalau nonton film drama,” kata Christine berbisik sembari memeluk Arum di malam rencana pelarian itu dimatangkan. Wajahnya tampak sedih. Christine sudah hapal kelakuan Dosor si bodyguard “asrama putri” itu di bioskop, selalu tak kuasa menahan kantuk. Kecuali nonton film berjenis action, barulah matanya melotot.

“Kak Christine nanti gimana?” Arum ikut sedih, merasa akan kehilangan sahabat yang sudah seperti kakak sendiri.

“Kamu jangan pikirkan aku. Nanti kapan-kapan aku akan berkunjung ke kampungmu, ya,” Christine cepat menghapus air mata yang mulai meleleh sembari memberi isyarat agar Arum jangan menangis, khawatir mencurigakan.

Segala sesuatunya berlangsung mulus dan sesuai rencana hingga Arum tiba di Bandara Hang Nadim. Arum, meskipun cuma gadis desa, bukanlah keledai bebal. Meskipun agak nervous dan was-was, tapi ia cepat belajar dan menyesuaikan diri di bandara. Dengan topi pet dan kacamata hitam yang menyembunyikan sebagian wajahnya, Arum tinggal melirik calon penumpang lain dan mengikuti cara mereka.

Nasib baik rupanya belum berpihak, pesawat yang akan membawa Arum ke Jakarta delayed lantaran gangguan teknis. Bukan main gelisahnya Arum setelah mendapat penjelasan dari seorang calon penumpang, pesawat mengalami penundaan keberangkataan hingga dua jam. Calon penumpang yang tampak baik hati itu menyarankan agar Arum mencoba beli tiket pesawat dari maskapai lain, kalau memang tak boleh terlambat sampai di Jakarta. Anak muda itu malah bersedia membantu Arum mengurus tiket baru.

Sayang, semua pesawat yang berangkat sore itu penuh. Was-was Arum sampai ke tulang sumsum. Ia sempat limbung dan terduduk dengan wajah pias. Anak muda yang memperkenalkan diri bernama Johan itu terheran-heran.

Saking paniknya, Arum menghidupkan ponsel yang sudah diwanti-wanti Christine agar jangan dihidupkan sebelum sampai di Jakarta. Ia ingat pesan lain Christine, tetap tenang kalau ada yang mencurigakan, dan cepat lapor polisi atau menjerit saja minta tolong jika bahaya mengancam.

Ponselnya bertrilili…dari Dosor. Arum terhenyak, langsung mematikannya. Johan kian bingung dan penasaran mencermati ekspresi wajah Arum yang tak bisa menyembunyikan rona kegelisahan di balik topi dan kacamata hitamnya. Arum yang dikuasai hawa ketakutan seperti tak menyimak Johan yang berucap hati-hati menawarkan bantuan. Mata Arum menyapu ruang tunggu bandara.

Dan…jantungnya seperti berhenti berdenyut setelah ia melihat Dosor tergopoh-gopoh memasuki ruang tunggu. Kelihatannya ia sudah saling mengenal dengan petugas di pintu pemeriksaan. “Tolong, Bang, itu orang Jahat!” Johan tersentak mengikuti arah telunjuk Arum yang lantas pingsan. Secara spontan Johan memanggil petugas keamanan bandara. Sikapnya menarik perhatian banyak orang, termasuk Dosor.

Ruang tunggu bandara pun geger. Dosor mengaku sebagai kakak Arum dan berkeras membawa Arum pulang. Johan yang tak percaya menghalangi, minta Arum siuman lebih dulu. Aparat juga meragukan pengakuan Dosor. Belang Dosor pun ketahuan setelah Arum Siuman. Saking geramnya, Dosor memaki-maki Arum sebagai pelacur tak tahu diri. Sementara Arum sambil menangis, terbata-bata mengungkapkan jati dirinya.

Koran ramai memberitakan kasus itu. “Asrama puteri” digrebek aparat, sang mucikari beserta komplotannya ditangkap. Bersama Arum, beberapa gadis remaja yang senasib ikut dipulangkan aparat terkait ke kampung halaman masing-masing. Liputan pers menjalar sampai ke desa Arum.

Malam kian larut. Arum yang tenggelam di kolam kenangan yang arusnya berpusar-pusar itu sulit mengontrol emosinya. Isaknya yang mengharu-biru menembus dinding kamar. Ia benar-benar tak mendengar suara salam Mbak Shanti dari balik pintu. Begitu lamat-lamat ia mendengar ketukan di pintu kamarnya, barulah Arum menyadari kealpaannya.

Setelah membuka pintu, Arum langsung menghambur ke dalam pelukan Mbak Shanti.
“Ada apa, Rum? Kamu kenapa?” Mbak Shanti terhenyak. Dengan terbata-bata, di sela isaknya, Aruk akhirnya menceritakan segala sesuatu mengenai dirinya. Mbak Shanti sampai tersandar lemas mendengar penuturan Arum.

“Masya Allah …Arum,” air mata Mbak Shanti menetes. Ia sungguh tak menduga kandungan kisah rahasia yang selama ini disembunyikan Arum. “Bersyukurlah, Rum, Allah telah mengembalikan kamu ke jalan-Nya,” Mbak Shanti memeluk Arum sepenuh sayang. Malangnya Arum, semuda itu ia telah mengalami kegetiran hidup begitu dahsyat. Maklumlah Mbak Shanti, pantas saja Arum selalu kehilangan binar matanya di wajah yang memucat setiapkali dikabarkan ada ikhwan yang ingin meminangnya.

Para tetangga dan warga desa bersimpati dan merasa iba atas kemalangan yang menimpa Neneng, panggilan Arum di kampungnya. Mereka geram sekali kepada para bedebah laknat yang telah menghinakan hidup kembang desa yang baru mekar itu.

Hanya berselang satu dua bulan, simpati warga mulai tercemar. Cobaan rupanya belum hendak berhenti mendera Arum. Setelah hampir 6 bulan batinnya tersiksa dalam kubangan lumpur hina di Batam, cobaan lain hadir di kampung halaman. Arum yang lebih sering mengurung di rumah, dan belakangan sering menolak kunjungan teman cowok, rupanya membuat beberapa pemuda desa tersinggung.

Mulut mereka menjadi usil dan jahil. Arum yang tampil berkerudung dan aktif ikut pengajian yang diselenggarakan para muslimah sering diledek sok suci. Isyu pun merebak, bahwa Arum sebenarnya kena razia aparat di Batam dan dipaksa pulang kampung karena dianggap masih di bawah umur. Isyu itu dikaitkan dengan rumah orangtuanya yang telah berdinding batu sejak Arum kerja di Batam. “Mana mau si Neneng sama kita, pemuda desa. Dia sudah keenakan di Batam. Ngakunya dipaksa, tak betah, kok malah bangun rumah!” mereka tak percaya perbaikan rumah itu berkat bantuan paman Arum yang cukup sukses jadi pedagang sembako di Jakarta. Teror fitnah semakin menjadi-jadi setelah ia menolak lamaran seorang bandot tua, tokoh desa yang cukup berpengaruh, yang sudah beristri tiga.

Sakitnya hati Arum dengan segala cemooh dan fitnah itu. Ia lantas memutuskan ikut pamannya di Jakarta, sekalian bantu-bantu di toko sembakonya. Pikiran melanjutkan sekolah telah ia kubur, takut menjadi bahan olok-olok di sekolah.

Lingkungan tempat tinggal sang paman rupanya juga tak bebas isyu. Entah darimana kabar itu berhembus, tak sampai dua pekan, beberapa warga mulai bergunjing. Arum disebut-sebut bekas pelacur di Batam. Busana mulimah tak menghalangi sikap jahil beberapa pemuda untuk mencoba mengganggunya. Kalangan bapak-bapak pun kadang ikut menggombalinya. Kecantikan Arum, entah kenapa, lebih sering mengundang fitnah.

Risaunya Arum, ia sangat tertekan. Namun ia berusaha tabah dan tawakal. Hobi barunya membaca buku-buku Islam sejak pulang kampung, termasuk majalah remaja Islam, cukup membantu membeningkan hati dan pikirannya. Pamannya pun mengizinkan Arum mengikuti pengajian umum di masjid-masjid dengan dikawal sepupunya yang cowok. Meskipun Arum sebenarnya kurang cocok dan takut dengan sepupunya yang terasa mulai menyemburkan hawa bengal.

Saat mengikuti ceramah Aa’ Gym di masjid Al-Azhar, Arum berkenalan dengan Mbak Shanti. Entah kenapa, Mbak Shanti tertarik memperhatikan Arum yang tampak menawan, yang kelihatan sangat khusyuk ketika mengaminkan kalimat doa Aa’ Gym. Tahu kalau Arum bekerja di warung sembako, Mbak Shanti menawarkan bekerja di toko busana muslimnya.

“Kamu bisa tinggal di tempat saya kalau mau,” kata Mbak Shanti sambil menyodorkan kartu namanya. Perkenalan dengan Mbak Shanti telah memberi warna lain dalam kehidupan Arum. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Arum, bukan Neneng. Namanya memang Neneng Arumiati. Terlalu banyak kisah pahit yang disandang “Neneng”. Terlalu banyak orang yang mengenal “Neneng” sebagai bekas pelacur bocah di Batam.

Arum menyambut gembira tawaran Mbak Shanti. Apalagi lingkungan tempat tinggal pamannya tak kondusif. Rumah pamannya pun membuat gerah. Ia melihat ada bahaya yang mengintai dari sorot mata sepupunya. Bagaimanapun Arum punya pengalaman dengan lelaki. Akhirnya ia pamit pulang kampung. Ayahnya yang masih trauma mengantar Arum ke rumah Mbak Shanti, ingin memastikan putrinya ada di tempat aman.

“Mbak Insya Allah akan simpan rahasia ini, Rum,” ujar Mbak Shanti setelah Arum agak tenang. Arum sendiri merasa plong. Ia seperti baru saja terbebas dari himpitan benda berat yang selama ini menindih dadanya. Hampir 4 tahun ia simpan rapat rahasia itu pada Mbak Shanti.

“Mbak, soal berumah tangga,” ucap Arum malu-malu, “sekarang terserah Mbak Shanti deh. Mbak kan sudah tahu semuanya tentang saya.”

Mbak nggak akan berubah penilaian, Rum. Di mata Mbak, kamu tetap mar’atun salihah. Setiap orang punya masa lalu. Takdir masa lalumu memang getir. Tapi sudahlah, kamu nggak usah menoleh ke belakang lagi. Mulai sekarang kamu harus memandang ke depan ya.”

“Insya Allah, Mbak.”
“Mbak pikir, dengan latar belakang kamu yang seperti itu justru kamu harus segera menikah. Untuk menghindari fitnah.”

“Tapi…” Arum menunduk sembari menyeka sisa air matanya, “Calon suami saya harus tahu masa lalu saya kan, Mbak. Jangan sampai ia tahu dari orang lain.”

“Kita akan cari cara yang baik untuk menjelaskan soal itu. Yakinlah, Allah akan menolong hamba-Nya yang sabar dan selalu tawakal.”

Kokok ayam terdengar memecah pagi yang hening. Mbak Shanti tersenyum. Arum ikut tersenyum. Matanya yang tadi sesuram rawa-rawa kini bersinar bening.

Share this article :

No comments:

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Selamat Datang - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger