“Dengan cara inilah kami memberi penghormatan kepada keluarga Rasul.”
Dilahirkan di Madinah sebelas tahun sebelum Hijriah. Nama lengkapnya Zaid bin Tsabit bin ad-Dhohak al-Anshory al-Khazrojy. Biasanya dipanggil Abu Khorojah. Digelari “Jami’ al-Qur’an al-Karim”(pengumpul al-Qur’an) dan syeikh al-muqiriin. Imam, mufti, di Madinah. Memberikan fatwa dan memutuskan perkara yang disengkatakan. Mengajarkan ilmu faroidh (pembagian harta warisan) Ayahnya meninggal dunia ketika beliau berumur enam tahun.
Beliau termasuk diantara sahabat yang cerdas dan pintar. Pada waktu Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau masuk Islam sedangkan umurnya baru sebelas tahun. Rasulullah pernah menyuruh beliau untuk belajar bahasa Suryaniah, bahasa orang Yahudi untuk membaca isi kandungan kitab Yahudi dihadapan Rasulullah. Beliau mampu belajar bahasa itu dalam sembilan belas hari.
Ketika terjadi perang Badr, beliau ikut ayahnya pergi berperang bersama sahabat lainnya. Hanya saja Rasulullah tidak memberikan izin beliau ikut berperang karena umurnya masih kecil dan tubuhnya terlalu muda.
Sejak wahyu diturunkan kepada Rasulullah, beliau berada dekat dengan Rasulullah untuk mengambil bagian dari orang-orang yang memberi peringatan. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah…”Dari sinilah beliau memulai lembaran baru dalam menyelami makna firman Allah. Dan menjadi tonggak permulaan dakwah bersama Rasulullah. Ketika wahyu Allah diturunkan kepada Rasul, Rasul membacanya dan menyampaikan kepada orang-orang beriman. Diantara orang-orang yang beriman itu tergerak hatinya untuk menulis kembali dalam kepinganan tulang dan daun-daunan. Ada juga yang menghafalnya. Masing-masing mengambil bagian menurut kemampuannya.
Setiap ayat yang diturunkan kepada Rasul mempunyai latar belakang dan sebab. Oleh sebab itu kenapa al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus (jumlatan wahidah) tapi beranggsur-anggsur. Itulah firman Allah yang sesuai dengan perkembangan manusia dan zaman. Ia akan selalu menjadi ‘penerang’ dimana dan kapanpun, dan menjadi ‘way o life umat manusia.
Diantara para sahabat yang dikenal sebagai penghafal al-Qur’an dan penulisnya adalah Ali bin Abu Tholib, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas dan Zaid bin Tsabit.
Setelah wafatnya Rasulullah umat Islam sibuk memerangi orang-orang murtad. Mereka adalah orang-orang yang tidak patuh terhadap ajaran Rasulullah. Pada waktu perang Yamamah banyak orang-orang Islam yang hafal al-Qur’an meninggal sebagai syuhada. Keadaan semacam ini membuat gelisah Umar. Hingga akhirnya Umar mengusulkan kepada Abu Bakar agar mengumpulkan al-Qur’an sebelum para penghafal al-Qur’an yang lainnya meninggal. Abu Bakar pun melakukan sholat istikharah meminta petunjuk kepada Allah. Dan setelah bermusyawarah dengan sahabat lainnya, akhirnya Abu Bakar memangil Zaid bin Tsabit. “Kamu adalah pemuda yang cerdas dan pintar. Kami kira itu bukan suatu pujian.” Akhirnya beliau diperintah Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qu’ran. Ketika itu beliau menjawab, “Demi Allah, sekiranya kalian perintahkan aku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, niscaya perkara itu lebih mudah ketimbang mengumpulkan al-Qur’an.” Atas pertolongan dan izin Allah, beliau berhasil melaksanakan misi itu dengan baik.
Karena takwanya kepada Allah, beliau dipercaya Umar untuk memimpin umat Islam di Madinah ketika Umar bepergian atau keperluan ke luar Madinah. Ibn Abbas meski dikenal sangat pandai dan banyak memahami tentang ajaran Islam, tidak segan-segan datang ke tempat belau untuk menimba ilmu. Ibn Abbas berkata; “Ilmu itu dicari bukan datang sendiri.” Ada suatu kisah yang patut kita jadikan tauladan dan ibrah di masa sekarang. Suatu hari Zaid sedang berjalan kaki. Di tengah jalan beliau Zaid berjumpa dengan Ibn Abbas yang sedang membawa kendaraannya. Dengan santunnya, Ibn Abbas mempersilahkan Zaid untuk naik ke kendaraannya. Hanya saja Zaid menolaknya dengan halus. Ibn Abbas berkata; “Dengan cara inilah kami diperintah untuk memberi penghormatan kepada ulama kita.” Mendengar ucapannya itu beliau mengangat tanggannya dan menciumnya sambil berkata; “Dengan cara inilah kami memberi penghormatan kepada keluarga Rasul.” Orang alim adalah orang yang tawadhu’, rendah diri, tidak merasa besar dan tidak senang dipuji. Apalagi meminta untuk dipuji dan dihormati.
Selama berjuang dengan Rasulullah beliau telah meriwayatkan kurang lebih 93 hadits. Diantara hadits riwayatnya itu, diceritakan bahwa pada suatu malam di bulan puasa kami makan sahur bersama Rasulullah. Setelah itu kami sholat. Zaid bertanya; “Berapa lama antara waktu sahur dengan waktu sholat? Rasulullah menjawab, “Kurang lebih lima puluh ayat.”(HR.Bukhori Muslim).
Mengenai kedalaman ilmunya, Ibn Abbas berkata; “Sebagaiman diketahui bahwa para penghafal al-Qur’an dari kalangan sahabat dan Zain bin Tsabit termasuk orang-orang luas ilmunya.”(lihat Ishobah). Meskipun sibuk dengan urusan agama, beliau tidak pernah melupakan tugas sebagai suami dalam keluarga. Sebagaimana Rasulullah sabdakan, “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang baik dengan istrinya. Dan saya lah orang yang baik dengan istri.”(HR.Bukhori Muslim). Dari Tsabit bin ‘Ubaid berkata; “Zaid bin Tsabit adalah manusia paling ceria dengan keluarganya.”s
Beliau wafat pada tahun 45 Hijriah di Madinah. Setelah wafatnya Hassan bin Tsabit meratapinya. Abu Hurairah berkata, “Hari ini orang yang paling alim di umat Islam telah wafat, semoga Allah memberikan ganti dari keluarga Ibn Abbas.” Beliau meninggalkan seorang anak bernama Khorijah bin Zaid, salah seorang ahli fiqh tujuh yang terkenal di Madinah. Anaknya termasuk dari golongan tabi’in yang sangat berpengaruh.
No comments:
Post a Comment