Home » »
Petualangan Rima

Petualangan Rima

Petualangan Rima
Penulis:Dian Suhesti

Wuiiih… akhirnya kesampaian juga cita-citaku selama ini. Ke Jakarta! Bayangkan, ke Jakarta! Kota yang selama ini hanya dapat aku lihat di peta tua milik sekolahku. Itu pun sudah pudar dan tak jelas warnanya, sehingga hanya terlihat bentuk kotak saja. Dan kini… aku benar-benar akan ke Jakarta!

Takzim kucium punggung tangan si Mak yang tampak terharu. Mata Mak memerah menahan tangis. Oalah, Mak… seperti aku mau pergi bertahun-tahun saja. Aku hanya sebentar kok, Mak! Candra, adikku yang duduk di taman kanak-kanak itu tampak bersembunyi di balik badan si Mak. Sesekali kepalanya menyembul, mengintip malu-malu.

“Sing ati-ati yo nduk…” lirih suara Mak seraya membelai kepalaku yang terbungkus jilbab mungil. Aku mengangguk pasti, meringis memperlihatkan gigi-gigiku yang kecoklatan, gupis.

Om Wisnu mengangkat tas punggungku yang penuh tambalan di sana-sini. Memasukkan ke dalam mobilnya. Tante Sundari menyalami si Mak seraya pamit. Jemari lentiknya menjawil pipi Candra yang gembil. Vena serta Ivan anak Om Wisnu dan Tante Sundari berlari menuju mobil seraya berteriak, “Hore…! Pulang…pulang!”. Tante Sundari merengkuh pundakku menuju mobil.

Weee… mobilnya semriwing, anyep! Ragu aku masuk ke dalam mobil yang mulus, bersih dan harum ini.
“Ayo Ima, masuk,” suara Om Wisnu membuatku tergagap, merapatkan mulutku yang sedari tadi terbuka. Terpana oleh mobil… apa itu namanya? Yang isinya bisa untuk kakek, nenek, tante, aa, teteh… wis pokoke koyo iklan sing ning tipi!

Cepat kulepas sepatu bututku yang tampak kumal. Takut mengotori isi mobil….
“Hahaha...” serta merta tawa Vena dan Ivan membahana sambil menunjuk-nunjuk ke arahku yang tengah mencopot sepatu.
“Lho, Ima, jangan dilepas sepatunya. Ayo dipakai lagi,” suara lembut Tante Sundari membuat merah di wajahku berangsur menghilang. Merah akibat malu pada Vena dan Ivan. Lha wong aku ndak tau, kok malah ditertawakan…?

Perlahan mobil bergerak menjauh. Terlihat si Mak melambaikan tangan seraya menyusut air mata dengan ujung kebayanya. Candra beserta anak-anak kecil lainnya berlari-lari mengikuti mobil yang kami tumpangi. Maklum, baru kali ini ada mobil bagus masuk ke desa kami. Biasanya hanya mobil bak terbuka milik Mbah Haji Karim yang kami lihat mondar-mandir untuk mengangkut hasil kebunnya ke pasar. Tubuh Mak dan Candra makin lama semakin terlihat kecil dari kejauhan.

“Bapak…! Itu Bapak!” teriakku begitu melihat Bapak dari kejauhan berjalan tertatih memikul singkong yang dipetik dari kebun Mbah Haji Karim. Aku segera berlari turun setelah Om Wisnu menghentikan mobilnya.

“Bapak…!” Bapak segera menurunkan pikulannya, mengangkat tubuhku tinggi-tinggi. Tawa khas Bapak yang lebar itu membuatku ikut tertawa. Lembut kupegang wajah hitam Bapak yang basah oleh keringat.

“Ojo nakal ning omahe Om Wisnu, sembahyang ojo nganti kelalen yo, nduk.” Aku mengangguk kecil mendengarkan nasihat Bapak yang selalu membuat hati mak nyess….
Om Wisnu yang sudah berada di dekat kami tersenyum dan menyalami Bapak. Aku melorot turun dari gendongan Bapak, melirik warung nasi Lik Warti.
Nampak Lik Warti melambaikan tangannya padaku sambil melayani beberapa pembeli. “Wah, enak’e yang mau ke Jakarta, jangan lupa oleh-olehnya ya, Ma.”
Aku hanya meringis kepada Lik Warti yang baik hati itu.

Segera kunaiki mobil setelah Om Wisnu menyelesaikan obrolannya dengan Bapak. Tak lupa kucium punggung Bapak yang kekar dan kasar itu. Teduh sekali mata Bapak, aku tak pernah bosan memandangi manik mata Bapak.

Mobil yang kami tumpangi berjalan perlahan meninggalkan desaku yang indah. Melewati jalanan berbatu yang becek bekas terkena siraman air hujan semalam. Vena dan Ivan sudah terlelap dengan mimpinya. Sedangkan aku tak bisa memejamkan mata membayangkan kota Jakarta yang sebentar lagi aku datangi. Wah… teman-temanku di sekolah pasti akan bengong mendengarkan ceritaku dari Jakarta. Kota yang selama ini selalu menjadi impian kami, anak-anak desa.
***

Haaah… mulutku menganga lebar menyaksikan bangunan besar di hadapanku. Rumah Om Wisnu! Guediii sekali rumahnya, bertingkat, pagarnya tinggi menjulang! Halamannya berumput hijau luas, terdapat kolam ikan besar di tengah-tengah taman yang penuh dengan bunga berwarna-warni itu. Halaman besar seperti ini di desaku sih untuk bal-balan. Tante Sundari merengkuh pundakku mengajak berkeliling.

Memasuki rumah aku lebih takjub lagi. Lantainya bersih, mengilap. Bisa buat becermin! Aku ingat rumahku yang tak berlantai, hanya tanah saja. Weeeh… kok Vena dan Ivan ndak membuka sepatunya lebih dulu? Buru-buru kucopot sepatuhku, kutenteng mengitari rumah yang perabotnya besar-besar. Aku tertawa kecil melihat benda besar di setiap sudut rumah ini. Kok tempayan dipajang? Kalau di desaku, digunakan untuk tempat air. Memang sih, tempatnya lebih bagus, langsing dan tinggi, berwarna-warni, berukir pula. Kalau tempayan di rumahku gendut, berwarna merah kecoklatan saja tak ada gambarnya.

Aku terkesima ketika memasuki halaman belakang. Ada kolam renangnya! Ayunan dan jungkit-jungkit ada di sisi kolam renang yang besar itu.

“Nanti Ima bisa berenang di situ dengan Vena dan Ivan,” ujar Tante Sundari seraya menunjuk kolam besar itu. Aku tersenyum, senang sekali. Aku meringis membayangkan halaman belakang rumahku yang sempit. Tidak ada kolam renang dan ayunan, yang ada hanya kandang ayam yang hampir roboh. Sehingga kalau harus ke halaman belakang mau tak mau hidung siapa pun pasti akan berkernyit, mencium bau kotoran ayam.

Kami menuju ke lantai atas. Mataku menerawang menatap langit-langit rumah yang tinggi sekali, terdapat lampu kristal berukuran besar menggantung. Beda sekali dengan genteng rumahku yang selalu bocor sewaktu hujan. Tante Sundari membuka pintu kamar, dan tambah melongo-lah aku. “Ini kamar Ima selama menginap di sini.”

Aku ragu-ragu untuk masuk. Tapi Tante Sundari mendorong tubuhku dengan halus. “Ima istirahat dulu ya, kalau butuh apa-apa panggil Bik Nah saja. Kamar Vena dan Ivan ada di depan kamar ini kalau kamu mau bermain sama mereka.”

Tante Sundari keluar kamar dan menutup pintu. Bola mataku berkeliling menatap perabotan di kamar ini seakan tak percaya. Kasur besar, lemari pakaian yang bisa memuat baju beberapa keluarga di desaku, meja belajar bertingkat, televisi… wis pokoknya banyak lagi! Aku melompat duduk di atas kasur. Dan terpekik kagetlah aku. Segera kujauhi kasur berukuran besar itu. Aku mental! Ada apa ya, mungkin ada sesuatu di bawah selimutnya. Kusibak selimut bercorak bunga-bunga itu dengan hati-hati. Tidak ada apa-apa! Dengan hati berdebar kusentuh kasur. Oalah…! Ternyata kasurnya empuk dan membal! Untuk beberapa menit aku duduk melompat-lompat di kasur. Aku tertawa geli, ingat dipan kayu reyot di rumahku yang biasa aku tiduri bersama dengan Candra. Tak lama, aku pun terlelap dengan senyum mengembang, bermimpi memakai gaun putih dan mahkota. Menjadi putri di istana yang megah.
***

Siapa yang menyangka aku akan ke Jakarta? Kalau bukan karena Om Wisnu mungkin aku tak akan pernah mendatangi kota impianku ini. Keluargaku mengenal Om Wisnu ketika tanah luas milik mbahku dibelinya. Untuk urusan bisnis katanya. Sehingga Om Wisnu seringkali mengunjungi desaku untuk menengok tanah yang kini menjadi miliknya. Terakhir Om Wisnu ke desaku beserta dengan keluarganya. Dan saat hendak pulanglah Om Wisnu mengajakku serta ke Jakarta untuk mengisi liburan.
Dengan wajah memelas menatap si Mak, akhirnya aku mendapatkan restu untuk ke Jakarta selama dua minggu. Toh, liburan kenaikan kelas masih lama berlangsung. Oh ya, aku berhasil naik ke kelas 5 SD dengan nilai tertinggi di kelas.

Keluarga Om Wisnu memang baik sekali, dan malam ini kami berada dalam mobil untuk berkeliling Jakarta!
Lagi-lagi aku heran menyaksikan kota Jakarta. Bayangkan, sekarang mobil yang kami tumpangi berada di atas jalan layang yang tinggi! Jalan layangnya bertingkat banyak! Kok bisa, ya?!
Wuiiih… Om Wisnu membelokan mobilnya memasuki bangunan besar yang indah. Banyak lampu menyorot, orang lalu lalang dan banyak sekali mobil yang diparkir. Kubaca perlahan tulisan besar yang terang oleh lampu. Mal Taman Anggrek. Ooo… ini tho yang namanya mal. Kata Pakde Karso yang pernah ke Jakarta, mal itu apik. Weeeh, ini sih apik tenan!

Memasuki mal tubuhku menggigil! Kok tempat tertutup begini anginnya anyep tenan? Semriwing! Walah! Kepiye iki? Kok tangganya mlaku sendiri! Vena dan Ivan berlari di atas tangga yang berjalan sendiri itu! Aku takut, aku hanya berdiri mematung melihat Om Wisnu dan Tante Sundari semakin menjauh ke atas. “Lho, Ima…?” Om Wisnu kembali turun begitu sadar aku masih di bawah.

Akhirnya Om Wisnu berhasil membujukku dengan susah payah. Dengan berpegangan kuat sekali pada sisi tangga aku meluncur ke atas. Oalah… lututku gemetaran semua menahan pipis. Aku takut jatuh! Akhirnya aku bisa bernapas lega begitu kami sampai di atas. Uh, kalau ingat kejadian tadi aku malu sekali. Kok aku kampungan sekali ya?

Luar biasa mal ini, semuanya ada di sini! Baju dengan berbagai macam model, jepit rambut, tas, jam tangan dan… sepatu. Mataku menatap sepatu di ruangan berkaca itu dengan takjub. Sepatu itu cantik sekali. Berwarna biru muda dengan pita di pinggirnya, dan talinya menjuntai. Perlahan mataku menatap ke bawah, memperhatikan sepatuku dengan senyum pahit. Ujungnya bolong, hingga kaus kaki yang kupakai tampak menyembul keluar.

Aku masih heran ketika kami sudah meninggalkan arena lapangan es batu yang besar itu. Kok bisa, es batu dibuat lapangan untuk meluncur. Apa namanya itu? Ice… ice skating. Ya, itu dia! Vena dan Ivan hebat sekali bermain ice skating. Aku? Ya jelas hanya duduk menonton.

Banyak sekali pasangan yang bergandengan tangan, sampai… hiii pelukan kok di tempat umum. Bajunya itu lho… ndak takut masuk angin apa ya? Hei, isin, Mas, Mbak! Ingin teriak kok ya lidahku kaku.
Kami masih berkeliling ketika jam berwarna pink yang dipakai Vena menunjukkan angka 18:10. Duh, Om Wisnu kok tidak mengajak kami untuk shalat Maghrib dulu ya? Mataku berkeliling mencari-cari ruangan bertuliskan mushala atau masjid. Aku semakin resah ketika jarum jam menunjukkan pukul 18:15 dan aku belum juga melihat tempat untuk shalat.

Tiba-tiba kami berbelok ke arah tempat makan. Kueja… Wendy’s. Banyak sekali pengunjung yang tengah makan maupun antri. Tante Sundari memilih tempat yang cukup nyaman. “Ima mau makan apa?” Tanya tante Sundari padaku yang tentu saja bingung. Lha, wong aku ndak tahu apa-apa kok. Sementara Vena dan Ivan dengan fasih mengusapkan pesanan tanpa melihat daftar menu yang terpampang.

“Sama seperti Vena saja, Tante,” akhirnya aku mengikuti Vena walaupun aku tak tahu apa itu cheese burger dan milkshake.

Sementara Om Wisnu mengantri, aku mencoba mengajak Tante Sundari mencari tempat shalat. “Wah, nanti saja dijamak di rumah, Ma. Nanti ngantri makanya lama lagi, mushalanya juga susah dicari,” ujar Tante Sundari sambil tersenyum.

Loh… kok dijamak? Kata Bu Muthmainah guru ngajiku di desa, kalau tidak sangat terpaksa shalat tidak boleh dijaman. Akhirnya aku ijin ke toilet untuk buang air kecil. Alhamdulillah, di samping toilet ada ruang ganti pakaian untuk para pegawai. Dengan ijin pegawai di situ aku pun shalat sendiri. Heran sekali aku, mal sebesar ini tak ada satupun tempat untuk shalat.

Aku bingung memperhatikan tombol seperti kran itu. Kok yang keluar saus sambal. Apa ada orangnya di dalam kran ngulek sambalnya ya? Wuuiih, ndak seperti di desa, sambalnya harus diulek sampai halus dulu.

Selama memakan hidangan, aku teringat keluargaku di desa. Pasti saat ini Bapak, Mak, dan Candra tengah memakan sayur daun singkong dan tempe. Susah kutelan makanan lezat ini. Rasanya aku ingin sekali membungkus makanan ini dan kubawa pulang untuk Bapak, Mak, dan Candra.
Asereje… reje… asereje… #$@&…. Walah-walah… lagu apa itu? Aku terbengong-bengong menyaksikan Vena, Ivan, dan Bik Nah bergoyang di depan televisi. Semua tangan, pinggul, lutut sampai kaki tak ada yang diam!

“Ayo, Neng Ima, ikut goyang,” seru Bik Nah begitu melihatku tanpa menghentikan badannya untuk bergoyang. Vena dan Ivan tampak hafal betul dengan gaya penari di televisi itu. Lha… lha… kok nyanyi pake baju begitu? Kurang bahan apa ya?

“Iya, Ma, ayo ikuti saja,” Vena menarik tanganku. Aku hanya menggeleng. “Yuhu! Tarik!” geli juga aku melihat Bik Nah yang bergoyang asal saja seperti orang mabuk!
Aku teringat teman-temanku di desa. Sore seperti ini pasti mereka sedang berlari-lari menuju surau untuk belajar mengaji. Kami selalu berebut untuk dapat duduk paling depan, dekat Bu Muth yang sabar itu. Aku jadi teringat percakapanku dengan Vena kemarin sore. “Kalau sore begini, aku pasti belajar mengaji di desa, Ven. Kamu belajar ngaji di mana?”
“Ngaji? Itu sih kerjaan ibu-ibu, Ma. Mending juga nonton VCD atau main PS, anak kota jarang ada yang ngaji.”
Ooo… aku hanya memonyongkan bibir seraya mengangguk-angguk.
***

“Ya, posisi tersebut memang sangat strategis. Kita dapat membangunnya di sana.”
Aku tak mengerti dengan percakapan Om Wisnu dengan beberapa om-om lainnya. Bajunya bagus-bagus seperti pemain sinetron di televisi yang sering kutonton di kantor kepala desa. Jas, dasi, dan telepon genggam yang sebentar-sebentar selalu berdering. Hanya saja ada yang aneh. Kok kerja pakai helm, biasanya yang pakai helm itu kan pengendara motor. Kata Tante Sundari, Om Wisnu dan teman-temannya yang memborong dan merancang bangunan-bangunan besar di kota Jakarta ini. Apa itu? kontraktor?

Aku ingat Bapak. Saat ini pasti Bapak sedang bergelut dengan kebun Mbah Haji Karim. Memetik singkong, ketela, sayur mayur lalu mengangkutnya dengan peluh bercucuran di bawah teriknya matahari. Membuat kulitnya bertambah kelam. Ah Bapak, tak bisa kubandingkan dirimu dengan om-om itu. Kau terlalu hebat untukku.

Seminggu di Jakarta sudah mulai membuatku rindu pada desaku yang sejuk. Memang kuakui Jakarta sangat modern, segalanya tersedia di sini. Bangunan-bangunan megah menghiasi sepanjang jalan raya yang penuh dengan kendaraan bermotor, yang langka sekali untuk ditemui di desaku. Paling-paling andong yang berjalan pelan karena jalanan yang licin karena tanah lihat yang basah. Kalaupun harus ke sekolah yang berkilo-kilo jauhnya kami bersama-sama berjalan kaki dengan telanjang kaki, menenteng sepatu agar sampai di sekolah sepatu kami tetap bersih.

Namun ada keceriaan di sana. Bersenda gurau dengan teman-teman atau sambil berjalan, kami berteriak-teriak menghafal surat Al-Quran. Banyak tanah lapang untuk bal-balan, ataupun untuk mengangon ternak. Terkadang aku bersama teman-teman menangkap kunang-kunang di pematang sawah bila malam tiba. Bila ada waktu senggang kami bersama-sama berenang dan menangkap ikan di sungai jernih dekat kaki bukit. Semua itu tidak aku dapati di sini.

Dan ketika Om Wisnu akan berangkat ke desaku rasanya aku ingin ikut saja. Tapi Tante Sundari melarangku. “Liburannya kan masih seminggu lagi, Ma, nanti saja ya bareng-bareng sama Tante, Vena, dan Ivan,” mana bisa aku membantah Tante Sundari yang baik hati itu. Akhirnya akupun tetap di Jakarta menunggu minggu berikutnya.
***

Bukannya aku tak gembira berada di Jakarta sehingga aku merasa senang sekali ketika hari ini aku akan kembali ke desa. Jakarta kota yang bagus, hebat dan luar biasa. Hanya saja aku rindu desaku. Rindu dengan mainan gobak sodor yang selalu kami lakukan di lapangan luas pada sore hari, rindu ke sekolah bersama teman-teman sambil berteriak-teriak menghapal Al-Quran, dan masih banyak lagi yang tidak bisa aku dapatkan di sini, di Jakarta.

Bagaimana bisa aku bermain dengan anak-anak lain di komplek perumahan tempat keluarga Om Wisnu tinggal, lha wong Vena dan Ivan saja tak mengenal anak tetangga sebelah rumah. Mau main gobak sodor… tak ada tanah lapang, yang ada hanya perumahan dan pertokoan. Menangkap kodok di pematang sawah? Ndak mungkin! Mandi di sungai? Walah… ya ora iso! Lah wong kaline butek kabeh!
Akhirnya aku akan kembali hari ini. Tunggu aku desaku tercinta. Akan kubawa sejumput cerita tentang Jakarta pada teman-teman dan tentu saja pada Bapak, Mak, dan Candra. Tentang hebatnya Jakarta. Yang berbeda dengan desa kami.

Perlahan mobil yang kami tumpangi memasuki gerbang desa, melewati kebun sayur Mbah Haji Karim yang terlihat tidak seluas dulu, dengan pemetik sayur tak sebanyak dulu. Kucari Bapak, tak terlihat.
Lapangan luas yang biasanya ramai terlihat lengang. Sepi. Tak ada anak-anak seusiaku yang bermain gobak sodor maupun mengangon ternaknya. Berganti dengan mobil-mobil besar yang terbuat dari baja dengan deru suaranya yang menggaung. Mengeruk tanah, membabat pohon-pohon di tepian lapangan.
Aku tak mengerti. Mengapa sawah-sawah dengan padinya yang mulai menguning itu diberi tali-tali panjang di sekelilingnya dengan patok-patok yang ditancapkan? Ke mana petani-petani yang biasa bergelut dengan lumpur dan kerbaunya?

Aku semakin tak mengerti ketika penduduk tak lagi berwajah ramah dengan senyum yang mengembang setiap harinya. Mengapa kesenduan yang menggayut di wajah mereka. Mak? Bapak? Ada apa?
Di tepi lapangan kulihat beberapa orang bergerombol. Om-om itu! Ya! Itu teman-teman Om Wisnu. Mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan mereka. Om Wisnu turun dengan senyum mengembang, berjabat tangan dengan teman-temannya. Aku tidak tahu, mengapa mereka ada di sini. Di desaku tercinta. Aku juga tidak tahu apa yang akan mereka lakukan.
Namun sempat kubaca tulisan besar pada map hijau yang dipegang Om Wisnu. PROYEK PABRIK, PERUMAHAN DAN PERTOKOAN DESA PERMAI SARI.

Ramadhan 1424 H
Teruntuk keponakanku tersayang M. Faqih Rabbani & Naura Adila Ramadhani
Tumbuhlah menjadi mujahid/mujahidah sejati!
Catatan:
Bal-balan: sepak bola
Kepiye iki: bagaimana ini
Kelalen: terlupa
Anyep tenan: dingin benar
Gendeng: genteng
Mlaku: berjalan
Isin: malu
Mengangon: menggembala
Gobak sodor: Galasin
Kaline: Kalinya
Omahe: rumahnya

Share this article :

No comments:

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Selamat Datang - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger