Oleh: Azzahra
Hudzaifah.org - Awalnya aku malu mempunyai ibu sepertinya. Warna kulit yang gelap dan wajah yang pas-pasan. Ibu sangat berbeda dengan ayah, kulit yang putih, tubuh yang gagah dan wajah yang lumayan tampan menurutku. Aku tak mengerti kenapa ayah memilih ibu sebagai pendamping hidupnya. Aku tidak menyalahi takdir-Nya, cuman aku heran dengan semua ini. Ayahku berasal dari kota sedangkan ibu sebagai anak desa yang tidak mempunyai apa-apa. Pendidikannya pun hanya tamatan Sekolah Dasar saja. Setiap aku bertanya kepada ayah kenapa dulu memilih ibu, beliau berkata, �Itu sudah takdir, mungkin ini yang terbaik untuk kita semua.�
Ayah memiliki usaha yang lumayan sukses di kota, setiap seminggu sekali ayah pulang untuk menjenguk kami di desa, bahkan selalu membelikan apa saja yang kami minta, sehingga kami makin bangga pada beliau. Aku anak ke empat dari lima bersaudara. Kehidupan keluargaku tergolong paling kaya di desa. Ketika masih banyak rumah yang terbuat dari bilik, maka rumah kami sudah terbuat dari tembok. Bahkan pertama kali ada televisi, keluarga kamilah pelopor adanya televisi di desa. Aku masih ingat pertama kali ada di rumahku, semua orang berduyun-duyun kerumah untuk menonton televisi bersama-sama. Sampai-sampai ayah menyediakan tempat untuk warga yang ingin nonton televisi.
Kemewahan materi tidak selalu identik dengan kebahagiaan. Itulah yang akhirnya aku rasakan. Ketika itu aku masih SMA, disinilah ketabahan ibu semakin terlihat di mataku. Bagaimana tidak, ayah menikah lagi dengan seorang gadis yang berasal dari kota. �Dia sangat cantik dibandingkan denganmu Sum, dia namanya Ayuni�, kata salah satu pamanku yang ikut bekerja dengan ayah kepada ibu ketika bertanya tentang istri baru ayah. Secara tidak sengaja aku mendengar perbincangan mereka. Apa yang ibu katakan sangat mengagumkan, �Dari dulu aku sudah siap jika ini terjadi mas, mungkin ini cobaan supaya aku semakin tabah.� Tapi waktu itu aku masih tidak terlalu mengerti kenapa ibu berkata seperti itu. Banyak orang khususnya perempuan di desaku yang tidak ingin dimadu, bahkan yang lebih ekstrim lagi mereka lebih baik bercerai dari pada harus dimadu walaupun sudah mempunyai anak.
Keluargaku menjadi pembicaraan di desa khususnya di kalangan ibu-ibu. �Pantas saja Sumiati dimadu, mungkin saja wanita itu lebih cantik dibandingkan dia. Kalau aku seperti itu, aku langsung minta cerai demi harga diri.� Hatiku perih mendengar perkataan seperti itu. Mereka tidak tahu betapa cantik dan baiknya hati ibu Ingin rasanya aku menampar orang yang berkata seperti itu, namun aku masih punya perasaan. Aku langsung berlari kerumah mencari penyejuk hati dan aku melihat ibu sedang bersujud diatas sajadahnya...
***
Ayah mulai jarang pulang, yang tadinya seminggu sekali sekarang sebulan bahkan pernah dua bulan tidak pulang. Tetapi ayah tetap mengirimkan uang untuk kami semua, bahkan jumlahnya lebih dari cukup. Kebanggaan pada ayah mulai berkurang tapi aku masih tetap menghormatinya. Kekagumanku pada ibu semakin bertambah, ibu selalu terlihat tabah dalam menghadapi cobaan. Itu terlihat di wajahnya yang teduh. �Kini aku bangga padamu Bu, aku juga tidak malu lagi mempunyai ibu sepertimu. Aku ingin perlihatkan pada dunia bahwa engkau adalah ibuku agar semua tahu betapa indahnya akhlakmu,� batinku berkata. Setiap kali adikku menanyakan tentang ayah, ibu pun menceritakan yang sebenarnya tanpa menjelekan sedikit pun tentang ayah. Satu lagi poin untuk mengagumimu yaitu kejujuran.
Bulan berganti tahun, kami sudah mulai besar, bahkan kakakku sudah menikah semua, tinggal aku dan adik yang tinggal bersama ibu. Kerutan di wajah ibu pun sudah mulai terlihat. Kini aku sudah memasuki bangku kuliah dan berada di semester dua. Aku di terima di perguruan tinggi negeri dan ambil jurusan manajemen sesuai dengan cita-citaku. Aku tinggal di kota, sebulan sekali pulang ke desa untuk melepas rinduku pada keluarga. Ibu membuka warung di depan rumah untuk menghidupi kami karena hampir satu tahun ayah tidak mengirimkan uang. Untuk membantu ibu, aku berjualan pakaian yang di tawarkan pada teman-teman disamping kesibukan kuliah. Hasilnya pun lumayan untuk meringankan beban ibu.
Ayah terserang stroke dan harus di rawat dirumah sakit sedangkan usahanya kini sudah bangkrut. Istri mudanya kabur entah kemana bersama anak hasil perkawinannya dengan ayah. Kini ibu yang selalu berada di samping ayah. Dengan kesabarannya, ibu merawat ayah dengan ikhlas. ketika ayah membutuhkan sesuatu, ibu selalu siap siaga untuk membantunya. Tanpa berbicara pun, sudah terlihat ada rasa penyesalan di wajah ayah. Kini ku tahu betapa mulianya hatimu ibu. Apakah aku sanggup seperti itu?
***
Kini aku sudah mempunyai dua anak, Muhammad Fahri dan Zakiya Azzahra namanya. Aku menikah dengan seorang lelaki yang amat sholeh menurutku. Dia yang selalu membimbingku dalam segala hal terutama dalam masalah agama. Dia merupakan figur seorang ayah yang baik untuk anak-anak. Jika kesabaranku sedang di coba dengan kenakalan anak-anak, maka dia selalu mengingatkan untuk selalu menahan amarah. Oh ya.. yang sangat mengagumkan, kini aku sudah memakai penutup aurat, ini juga atas hidayahNya yang sangat tak terhingga selain bimbingan suami.
Aku teringat ketika meminta izin untuk menikah pada orang tua terutama pada ibu. Bukan berapa gaji calon suamiku yang ditanyakan, tetapi yang pertama kali di tanya oleh ibu adalah apakah solatnya sudah benar atau belum. Awalnya aku tak mengerti tentang itu. Ibu menjelaskan bahwa orang yang tidak pernah meninggalkan solat dalam keadaan apapun itulah yang seharusnya aku cari Insya Allah akhlaknya juga akan baik karena dia merasa Allah selalu mengawasinya. Pendapat yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Jawaban yang sangat luar biasa yang terucap dari seorang yang hanya tamatan sekolah dasar.
Kenangan-kenangan manis bersamamu akan selalu aku ingat bu. Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu dan meluaskan kuburanmu begitupun dengan ayah. Ibu meninggal seminggu setelah ayah tiada, ketika itu ibu berada di sampingku. Sebelum meninggal ada pesan yang masih teringat di benakku. �Jaga adikmu baik-baik, dan yang paling penting jangan pernah kau tinggalkan Allah karena Allah akan meninggalkanmu.� Sebelum meneruskan kata-katanya, ibu mengucapkan dua kalimah sahadat dan orang yang sangat aku hormati pun menghembuskan napas terakhirnya�
Ibu telah tiada tetapi jasa-jasanya akan selalu teringat dalam kalbuku. Engkau mengajarkan aku tentang sebuah kesabaran. Engkau adalah sosok ibu yang terbaik di mataku meski engkau bukan ibu kandungku� []
Hudzaifah.org - Awalnya aku malu mempunyai ibu sepertinya. Warna kulit yang gelap dan wajah yang pas-pasan. Ibu sangat berbeda dengan ayah, kulit yang putih, tubuh yang gagah dan wajah yang lumayan tampan menurutku. Aku tak mengerti kenapa ayah memilih ibu sebagai pendamping hidupnya. Aku tidak menyalahi takdir-Nya, cuman aku heran dengan semua ini. Ayahku berasal dari kota sedangkan ibu sebagai anak desa yang tidak mempunyai apa-apa. Pendidikannya pun hanya tamatan Sekolah Dasar saja. Setiap aku bertanya kepada ayah kenapa dulu memilih ibu, beliau berkata, �Itu sudah takdir, mungkin ini yang terbaik untuk kita semua.�
Ayah memiliki usaha yang lumayan sukses di kota, setiap seminggu sekali ayah pulang untuk menjenguk kami di desa, bahkan selalu membelikan apa saja yang kami minta, sehingga kami makin bangga pada beliau. Aku anak ke empat dari lima bersaudara. Kehidupan keluargaku tergolong paling kaya di desa. Ketika masih banyak rumah yang terbuat dari bilik, maka rumah kami sudah terbuat dari tembok. Bahkan pertama kali ada televisi, keluarga kamilah pelopor adanya televisi di desa. Aku masih ingat pertama kali ada di rumahku, semua orang berduyun-duyun kerumah untuk menonton televisi bersama-sama. Sampai-sampai ayah menyediakan tempat untuk warga yang ingin nonton televisi.
Kemewahan materi tidak selalu identik dengan kebahagiaan. Itulah yang akhirnya aku rasakan. Ketika itu aku masih SMA, disinilah ketabahan ibu semakin terlihat di mataku. Bagaimana tidak, ayah menikah lagi dengan seorang gadis yang berasal dari kota. �Dia sangat cantik dibandingkan denganmu Sum, dia namanya Ayuni�, kata salah satu pamanku yang ikut bekerja dengan ayah kepada ibu ketika bertanya tentang istri baru ayah. Secara tidak sengaja aku mendengar perbincangan mereka. Apa yang ibu katakan sangat mengagumkan, �Dari dulu aku sudah siap jika ini terjadi mas, mungkin ini cobaan supaya aku semakin tabah.� Tapi waktu itu aku masih tidak terlalu mengerti kenapa ibu berkata seperti itu. Banyak orang khususnya perempuan di desaku yang tidak ingin dimadu, bahkan yang lebih ekstrim lagi mereka lebih baik bercerai dari pada harus dimadu walaupun sudah mempunyai anak.
Keluargaku menjadi pembicaraan di desa khususnya di kalangan ibu-ibu. �Pantas saja Sumiati dimadu, mungkin saja wanita itu lebih cantik dibandingkan dia. Kalau aku seperti itu, aku langsung minta cerai demi harga diri.� Hatiku perih mendengar perkataan seperti itu. Mereka tidak tahu betapa cantik dan baiknya hati ibu Ingin rasanya aku menampar orang yang berkata seperti itu, namun aku masih punya perasaan. Aku langsung berlari kerumah mencari penyejuk hati dan aku melihat ibu sedang bersujud diatas sajadahnya...
***
Ayah mulai jarang pulang, yang tadinya seminggu sekali sekarang sebulan bahkan pernah dua bulan tidak pulang. Tetapi ayah tetap mengirimkan uang untuk kami semua, bahkan jumlahnya lebih dari cukup. Kebanggaan pada ayah mulai berkurang tapi aku masih tetap menghormatinya. Kekagumanku pada ibu semakin bertambah, ibu selalu terlihat tabah dalam menghadapi cobaan. Itu terlihat di wajahnya yang teduh. �Kini aku bangga padamu Bu, aku juga tidak malu lagi mempunyai ibu sepertimu. Aku ingin perlihatkan pada dunia bahwa engkau adalah ibuku agar semua tahu betapa indahnya akhlakmu,� batinku berkata. Setiap kali adikku menanyakan tentang ayah, ibu pun menceritakan yang sebenarnya tanpa menjelekan sedikit pun tentang ayah. Satu lagi poin untuk mengagumimu yaitu kejujuran.
Bulan berganti tahun, kami sudah mulai besar, bahkan kakakku sudah menikah semua, tinggal aku dan adik yang tinggal bersama ibu. Kerutan di wajah ibu pun sudah mulai terlihat. Kini aku sudah memasuki bangku kuliah dan berada di semester dua. Aku di terima di perguruan tinggi negeri dan ambil jurusan manajemen sesuai dengan cita-citaku. Aku tinggal di kota, sebulan sekali pulang ke desa untuk melepas rinduku pada keluarga. Ibu membuka warung di depan rumah untuk menghidupi kami karena hampir satu tahun ayah tidak mengirimkan uang. Untuk membantu ibu, aku berjualan pakaian yang di tawarkan pada teman-teman disamping kesibukan kuliah. Hasilnya pun lumayan untuk meringankan beban ibu.
Ayah terserang stroke dan harus di rawat dirumah sakit sedangkan usahanya kini sudah bangkrut. Istri mudanya kabur entah kemana bersama anak hasil perkawinannya dengan ayah. Kini ibu yang selalu berada di samping ayah. Dengan kesabarannya, ibu merawat ayah dengan ikhlas. ketika ayah membutuhkan sesuatu, ibu selalu siap siaga untuk membantunya. Tanpa berbicara pun, sudah terlihat ada rasa penyesalan di wajah ayah. Kini ku tahu betapa mulianya hatimu ibu. Apakah aku sanggup seperti itu?
***
Kini aku sudah mempunyai dua anak, Muhammad Fahri dan Zakiya Azzahra namanya. Aku menikah dengan seorang lelaki yang amat sholeh menurutku. Dia yang selalu membimbingku dalam segala hal terutama dalam masalah agama. Dia merupakan figur seorang ayah yang baik untuk anak-anak. Jika kesabaranku sedang di coba dengan kenakalan anak-anak, maka dia selalu mengingatkan untuk selalu menahan amarah. Oh ya.. yang sangat mengagumkan, kini aku sudah memakai penutup aurat, ini juga atas hidayahNya yang sangat tak terhingga selain bimbingan suami.
Aku teringat ketika meminta izin untuk menikah pada orang tua terutama pada ibu. Bukan berapa gaji calon suamiku yang ditanyakan, tetapi yang pertama kali di tanya oleh ibu adalah apakah solatnya sudah benar atau belum. Awalnya aku tak mengerti tentang itu. Ibu menjelaskan bahwa orang yang tidak pernah meninggalkan solat dalam keadaan apapun itulah yang seharusnya aku cari Insya Allah akhlaknya juga akan baik karena dia merasa Allah selalu mengawasinya. Pendapat yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Jawaban yang sangat luar biasa yang terucap dari seorang yang hanya tamatan sekolah dasar.
Kenangan-kenangan manis bersamamu akan selalu aku ingat bu. Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu dan meluaskan kuburanmu begitupun dengan ayah. Ibu meninggal seminggu setelah ayah tiada, ketika itu ibu berada di sampingku. Sebelum meninggal ada pesan yang masih teringat di benakku. �Jaga adikmu baik-baik, dan yang paling penting jangan pernah kau tinggalkan Allah karena Allah akan meninggalkanmu.� Sebelum meneruskan kata-katanya, ibu mengucapkan dua kalimah sahadat dan orang yang sangat aku hormati pun menghembuskan napas terakhirnya�
Ibu telah tiada tetapi jasa-jasanya akan selalu teringat dalam kalbuku. Engkau mengajarkan aku tentang sebuah kesabaran. Engkau adalah sosok ibu yang terbaik di mataku meski engkau bukan ibu kandungku� []
No comments:
Post a Comment