Home » » BUJANG SEMBILAN

BUJANG SEMBILAN

BUJANG SEMBILAN
Penulis:Arlen Guci

“Mulutmu memang besar! Pintar berkabar! Kau keruk saja isi seisi danau ini kalau begitu!?” salah seorang berpakaian nelayan geram tiada tertahan.

“Perlu kalian ingat, sejak alam terkembang, dari jaman nenek moyangku dulu sampai sekarang, akulah satu-satunya nelayan terkaya di kampung ini!” cengir lelaki itu, berukirkan senyum kecongkakan.
Ini untuk kesekian kali, ia membanggakan diri, di antara sesama nelayan yang lainnya.

Sang surya perlahan tenggelam. Menyelinap sekilas meninggalkan bekas, lalu hilang di balik bukit. Pulang ke peraduan sambil menyisakan gurat kilau keemasan. Tak lupa membiaskan sisa sinarnya ke tengah-tengah danau Maninjau.

Kelok 44 tampak dari Muko-Muko. Sedang Batang Antokan pun mengalir anggun. Percik airnya liar memukau, lalu meluncur dari PLTA danau Maninjau. Berselimut gumpalan kabut memagut. Berarak dari panorama Ambun Pagi. Sepi nian, tapi menari.

Beku mendekap sekujur badan tak saya hiraukan, tenggang dari Puncak Lawang. Jam Gadang di Bukittinggi semakin jauh kami tinggalkan. Tapi, di hati saya masih bertanya-tanya.
“Apa yang terjadi, Bu!?” desak saya pada ibu, di atas bus Harmoni yang kami tumpangi. Tiada saya hirau wajah Ibu yang mengeruh sejak dari Payakumbuh.

“Jangan banyak jua tanya! Nambo sekeluarga menanti kita!”
Nambo adalah panggilan untuk kakek di kampung itu.
“Ibu...Ayah? Apa yang terjadi sebenarnya!?” mata saya tajamkan. Kening saya kerutkan.
Namun, hanya bayu yang tengah berlalu menyapu keingintahuan saya, apa sesungguhnya yang sedang terjadi di sana.

Tiada kabar berita sebelumnya. Hanya diminta datang segera. Ayah, Ibu dan saya harus ke Maninjau secepatnya. Dalam petang tengah merambang. Di sepanjang jalan, atas ketidakjelasan apa yang terjadi di sana sebenarnya, semakin menebar sangka, pikiran saya makin betah merajalela, dan...terus bertanya-tanya.

Lepas di kelokan terakhir, Kelok 44. Kerumunan orang itu tampak kian nyata di mata. Saat bus Harmoni tumpangan kami mulai pelan hendak berhenti, lepas sedikit dari Pekan Akad.
Di simpang tiga. Dekat masjid Bayua. Kami bergegas turun bertiga.

Ada apa dengan kerumunan ini? Gamis putih yang saya kenakan, sekali-sekali mengibas lepas, di terjang angin danau Maninjau. Songkok kepala berwarna putih penelungkup kepala, saya kencangkan.
Suara sahut menyahut terdengar samar. Semakin lama, makin nyata. Bahkan, kini ada sela isak tangis segala. Semula, saya kira isak tangis itu pertanda duka biasa. Tak dinyana, malah berubah bak kelebat kiamat tiba-tiba.

“Pergi…pergiii... dari tanah kami!” hujat orang-orang meriuh rendah.
“Usir…usir mereka semuaaa...!” maki yang lain sambil mengacungkan golok, melayangkan parang, serta aneka senjata tajam lainnya.

“Haramlah tanah kami buat kalian!” cetus beberapa orang dari mereka. Mereka bergerombol. Kadang berpencar. Bergerak maju-mundur tak teratur. Mencipta riak gelombang raksasa.
“Bunuh…bakar…semuaaa!!!” Mereka makin buas. Ganas!
Histeris! Pontang-panting! Berlarian tak tentu arah, tunggang langgang! Ditingkahi pekik serta jerit membelah langit. Berupaya menyelamatkan diri. Sampai bulu kuduk saya berdiri, menerima pemandangan maut ini.

“Ibu! Ayah.....!?” mata saya berkaca seketika. Dada saya luruh gemuruh.
“Masuklah cepat ke rumah gadang nambo!” tangan saya bak kilat disambar ibu.
“Tidak…saya takkan masuk. Kenapa orang-orang di sini saling hujam, saling tikam? Kenapa saling....!?”
Kemudian, saya dihadapkan pada beberapa tubuh, satu persatu bertumbangan, bergelimpangan, dalam kubang darah segar membuncah! Saya terima semua di mata nyalang.
“Cepat…cepatlahlah masuk, Buyuang!”
“Uwaiak…mana uwaiak!?”

Uwaik adalah sapaan untuk nenek di kampung itu.
Tarikan paksa tangan ibu, tak saya hiraukan. Pemandangan maut ini, sontak menyentak di ulu hati.
“Tenanglah kamu, Buyuang! Kita harus menjauhi tempat ini! Apa kamu….!?” bahu saya diguncang kencang oleh ibu. Sedang ayah seketika tak lagi tampak.
“Bagaimana saya akan tenang, Bu? Sesama kita macam harimau!?”
“Diamlah! Kamu masih kecil!”

Mata ibu menghujam tajam tepat menusuk mata saya. Saya dibalut iba.
Saya sudah kelas tiga, bangku Tsanawiyah. Di mata ibu, seumur itu masih disebutnya anak kecil. Kecil-dewasa seseorang, diukur dengan tingkat pendidikan sekolah oleh ibu. Benarkah begitu?
“Sudah habiskah mereka di tanah kita?” suara Etek Nurda, salah seorang sanak famili di sana, menanya dalam dada naik turun tak terkira. Bagi saya, serasa mengiris-ngiris hati. Habis? Apanya yang habis? Siapa yang disebut Etek Nurda dengan... mereka?

Tak seberapa lama, orang-orang mulai meninggalkan padang tak bertuan itu. Tempat dimana saya saksikan gelimpangan mayat-mayat penuh luka.
“Ayo, lekaslah turun, Buyuang!” imbau ibu parau.

“Cepat…cepatlah kemari!” pinta ayah terdengar memayah. Entah darimana ayah munculnya.
Kami bertiga bergerak. Sigap berpacu dalam langkah seribu, menuju rumah bercat putih. Letaknya agak terpencil, berjarak beberapa lantak dengan rumah penduduk lainnya. Tapi, paling pepat terasnya, menjilat bibir danau Maninjau.

Setiba di sana, kami di sambut temali awan berenda gelap. Dan...Ibu menghambur lebih dulu ke tengah-tengah rumah. Di situ, tubuh-tubuh itu telah kaku.
“Oi…diak kanduang!” lolong Ibu memecah senyap di malam yang baru merayap.
“Supiak….! Ondeh Supiak…cepat benar kau tinggalkan kami,” isaknya berat menyekat. Mendekap erat si mayat.

“Tuan….mengapa Tuan akhiri seperti ini?” suara ayah tertahan lari ke dalam.
Kemudian, tubuh itu dibujurkan, walau masih menyisakan darah segar menggenang.
Ibu merengkuh ke pelukan dalam-dalam. Mata ibu membuncah sudah. Sedu ibu berpacu. Saya lihat ayah mewajah payah, membatu. Bisu!

Tubuh saya menggigil hebat. Seakan tak lagi berpijakkan bumi. Dimana saya berdiri kini? Benarkah pandangan mata ini? Tiga sosok yang kucinta, telah menjemput maut! Telah berubah jadi gelimpangan mayat. Satu keluarga, seorang bapak, ibu, dan seorang anak gadisnya, usai sudah meregang di tengah ruang, rumah mereka.

Mata saya sapu untuk kesekian kali. Nafas menyeruak hingga rongga dada. Tak percaya dengan apa yang ada ini. Tak percaya dengan apa yang saya pandang.

“Ya, Tuhan! Apa arti semua ini? Innalillahi.......!” saya biarkan mata menganak sungai sampai usai.
Saya geser tegak ke tubuh Pak Etek. Ia telah menyimbah penuh darah. Saya alihkan pula badan ke tubuh Etek Supiak. Ia terlentang tembilang dalam darah segar berkubang. Sedang Wega, puteri mereka satu-satunya. Terpejam dengan leher luka menganga. Saya amati lamat lagi, sepupu saya itu, lebam membiru membujur beku. Kaku!

“Apa salah Pak Etek, Bu? Apa salah mereka Ayah!?” tubuh saya dingin, menggigil sudah. Suara pun berat terbata.
“Apa salah Wega? Apa salah Etek Supiak, Ayah?”
Belum selesai tanya saya, ibu tumbang!
Ayah sedari tadi dingin pasi. Mengusap muka berulang kali.
“Hidup di rantau orang. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, Buyuang. Kamu camkan ini, bila kamu besar nanti!” Ayah menggeleng tak percaya. Masih menyisa berat rasa, menerima musibah berdarah, di senja yang tengah menjemput malam itu.
Kepala saya anggukkan. Jiwa berkelebat tambah menghebat, sambil mengenang petuah Minang,

“Hati-hati menyeberang, jangan sampai titian patah
Hati-hati di rantau orang, jangan sampai berbuat salah” *)

“Astaghfirullah!” lenguh Ayah mendesah payah, “besok kamu ikut ayah ke Tanah Genting!”
Pohon kamboja, musim bunga. Lautan hitam-hitam, menyelimuti sekeliling pemakaman Tanah Genting.
@@@
Tak bisa terpejam mata saya semalam.
Etek Supiak, Pak Etek serta Wega membayang jelas di pelupuk mata. Semasa hidupnya, keluarga itu menyandarkan hidup sebagai nelayan.
Baruang-baruang, karamba, adalah lumbung uang buat mereka sekeluarga. Pukek, jalo, biduak, dayuang adalah seperangkat alat nelayan Pak Etek mengarungi riak danau Maninjau, yang pada masa lalu disebut orang Telaga Biru.

Wega masih duduk di bangku kelas satu SMA. Ia selalu akrab bertemankan buku-buku fiksi islami. Maka dari itu, selalu saya kirimkan dari Padang. Tapi kini.......
Palai Rinuak, masakan khas Maninjau, bila di tangan Etek Supiak berasa tiada ada lawannya. Tapi kini, entah kemana lagi dapat saya temui? Bahkan untuk selamanya, takkan pernah saya temui lagi!
“Tidurlah, Buyuang!” Ibu menyentuh pundak saya.
“Telah larut!” Ayah telah pula berada di samping saya.

“Hidup hanya sekali! Kepada Allah jualah semua yang hidup akan kembali,” sayup suara nambo mencoba menghapus luka, seakan berupaya tegar mengubur duka.
“Entahlah, hidup di jaman kini...masalah periuk nasi, orang rela menjemput mati,” Uwaik melepas takuluak, kain penutup kepalanya.

Kepala saya kadang tergeleng. Masih tak percaya akan kehilangan mereka bertiga. Sedang dengan air mata, rasanya tiada guna! Kalau menangis sudah saya coba, hati yang iba, mau saya apakan?
Seekor anak itik putih, menyisir pensi, sejenis kerang kecil, di tepi-tepi danau Maninjau.
Ingin rasanya hidup seperti anak itik itu, damai di alamnya tanpa murka! Batin saya menembus pekatnya malam.

Saya lepaskan pandang berulang. Menyapu sekeliling danau Maninjau. Kerlap-kerlip cahaya listrik yang dimainkan PLTA Maninjau, seakan kunang-kunang jalang yang tengah menari di kelam malam. Lampu-lampu dilepaskan nelayan ke Karamba. Semua menambah daftar tanya di kepala. Sayang, Wega terlalu cepat pergi!

Biasanya, saya akan sebiduk dengan sepupu saya itu. Saat lebaran tiba, kami ke Karamba, memberi makan ikan-ikan ke tengah danau. Bila tiba masa memanen, ikan-ikan itu mahal harganya. Kami menjualnya, di Pekan Rabaa dan Pekan Akad.

Orang-orang yang dekat di hati saya, satu persatu mulai beranjak ke peraduan. Saya terus menghamunkan lamunan. Di jenjang rumah gadang. Jorongnya tepat menghadang gagah ke tengah danau Maninjau.
Lamun saya seketika mencabik malam!
“Ia hanya keluar sekali sehaji!”
“Oh ya, Pak Etek!?”
“Iya! Mereka keluar hanya sekali. Musim hari Raya Haji saja.”
“Kok…begitu? Ada apa memangnya dengan mereka?”
“Ikan setan julukannya!”
“Hah? Ikan setan!?” mulut saya ternganga.
Cerita mitoskah lagi yang akan saya dapati malam ini?
“Ikan itu benar-benar ada!”
“Besarnya...!?”

“Sebesar meja!”
“Dimana dapat melihatnya, Pak Etek? Di Sungai Batang!?”
“Bukan! Kalau Sungai Batang untuk labuhan biduak!”
“Lalu…dimana saya dapat melihatnya?”
“Agak ke tengah danau! Dan lagipula...ada tandanya!”
“Apa tandanya?”
“Bila riak danau besar. Musim tak menentu. Kadang sedang musim kemarau panjang, saat matahari terik memanggang bumi, seketika disiram hujan di tengah hari.”
“Oh ya...!?”
“Kadang di tengah-tengah danau seperti ada gumpalan-gumpalan hitam berlumpur.”
“Hah…!”
“Biasanya riak tambah kencang, air danau Maninjau bergelombang-gelombang seperti mau pasang!”
“Rinuak-rinuak, Bada-bada, Ikan jompo, akan berlarian menjauh.”
“Kenapa mereka menjauh!?”
“Ikan setan mengeluarkan roman benar-benar tak bersahabat!”
“Ikan setan sombong!” umpat saya menyirat tak suka, “padahal satu tempatkan!?”
“Yah…begitulah, kalau ia datang atau bertemu dengan ikan-ikan lainnya, penghuni seisi danau!”
“Banyak mereka, Pak Etek?”
“Tidak, tidak banyak!”
“Berapa kira-kira?”

“Jumlahnya sedikit. Tetapi, betul-betul membuat iri penghuni danau lainnya.”
“Tak ada cara membunuhnya, atau ...kalau bisa dimusnahkan sekalian!?”
“Jangan gampang saja menghabiskan makhluk-Nya.”

“Bunuh saja, abis perkara?” angguk saya tak habis pikir dengan makhluk aneh itu.
“Bunuh? Tak mungkin, Buyuang! Ikan itu benar-benar piawai. Kalau disamakan kepada orang, dialah si pembual, mulut besar, yang membuat orang iri! Ia suka pamerkan diri, merasa paling semuanya, badannya besar, tapi tak ada arti, tak pernah ada kabar, orang hendak memakannya sama sekali.”
Saya tercenung, melewati malam-malam perih di tepian danau Maninjau.

“Buyuang, Pak Etek pintar berkabar,” Nambo memecah rasa saya seketika itu.
“Kalau memang benar? Sesuai dengan kenyataan...!?”
“Sedang kenyataannya…tak pernah ada, hanya bualan saja. Iri hatilah orang-orang pendatang. Maka, mereka menghabisi Pak Etek kamu sekeluarga! Kini berbalik, penduduk asli sini yang mengusir mereka. Para pelaku, pembunuh sekeluarga itu!”
“Tapi, kenapa mesti dengan cara sekeji itu!?”
“Makanya jaga lidah kalau bercerita! Lidah ini berbisa, Buyuang! Lidah ini bisa lebih tajam dari pisau! Terdorong kapal ke tengah lautan, dapat berbelok, Nak. Tapi....kalau kata terdorong, apakan daya!?”
“Dari mana asal mereka, Nambo?”
“Tak pernah jelas, hanya kelompok mereka bernama Bujang Sembilan!”
“Bujang Sembilan? Kenapa dinamakan begitu?”
“Karena jumlah mereka memang sembilan orang!”
Saya biarkan perih hanyut menyusup. Menyisir malam yang kian memagut kabut.
Kini, terngiang pula kata kata almarhum Pak Etek. Makin lama makin lantang,
“Nama ikan itu, Bujang Sembilan!” (AaG)
@@@
15/10/04 13:07:48
Persembahan dari hati buat seorang adik,
Iwan Nanda Agusti Widodo, di Tabing, Padang.
Alam terkembang jadikanlah guru, sayang!

Share this article :

No comments:

Popular Posts

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Selamat Datang - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger